Selasa, 16 Desember 2008

IJTIHAD IMAM TIRMIZI DALAM MENENTUKAN KRETERIA HADIS HASAN

A. Latar Belakang Masalah
Hadis dalam pengertian kebanyakan ulama hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan serta hal ikhwal Nabi[1] merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Mengingat kedudukannya yang tinggi itu, memberikan suatu indikasi bahwa hadis yang mempuyai kualitas tinggilah yang dapat dijadikan sebagai landasan kedua setelah al-Qur’an.
Berbeda dengan al-Qur’an yang dilihat dari segi periwayatannya ber-langsung secara mutâwatir, hadis Nabi dalam periwayatannya, sebagian ber-langsung secara mutâwatir[2] dan sebagian yang lain berlangsung secara âhâd[3]. Karenanya, hadis yang berkedudukan âhâd, para ulama’ berbeda pendapat; sebagian mengatakan qat`î wurûd, dan sebagian mengatakan sebagai zannî wurûd[4]. Terlepas dari dua pendapat ini, yang jelas hadis âhâd berbeda dengan al-Qur’an yang secara seluruhannya adalah qat`î wurûd. Untuk itu, hadis yang memiliki derajat âhâd, perlu diadakan penelitian.
Ulama hadis dalam mencermati hadis, baik itu hadis mutâwatir maupun hadis âhâd, telah menetapkan kaedah-kaedah untuk menentukan kualitas hadis Nabi. Pada masa awal--untuk mengatakan masa sebelum Imam Tirmizî--ulama’ hadis telah menetapkan kaedah-kaedah suatu hadis. Mereka dalam menghadapi hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi hanya mengunakan dua istilah alternatif, yaitu; maqbûl, sahîh (yang diterima) dan mardûd, da’îf / saqim (tidak diterima)[5].
Untuk Istilah tehnis sahîh atau maqbûl, ulama hadis memberikan kaedah-kaedah dan batasan-batasan. Imam Syâfi’î (w. 204) ketika membicarakan tentang khabar al-Khassas (hadis âhâd) memberikan beberapa poin penting yang mendukung akan keberadaan hadis yang dapat diterima. Inti dari pemikiran Imam Syâfi’î itu adalah adanya penekanan terhadap sanad dan metode periwayatan. Kreteria sanad yang dapat dijadikan sebagai hujjah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaitan dengan persambungan sanad hadis[6]. Demikian juga, Imam Bukhârî (w, 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H), juga memberikan ketentuan yang sama, walaupun diakui ketiganya mempunyai standarisasi yang berbeda. Yang jelas, prinsip umum mengenai hadis sahîh masing-masing telah memenuhi persyaratannya.[7]
Demikian juga, dengan istilah tehnis mardûd atau saqim, ulama hadis juga menetapkan kriterianya[8]. Hadis dengan kreteria ini, tidak dapat dijadikan sebagai sebuah argumentasi dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan akidah, muamalah, hukum halal-haram, nikah dan riqaq, walaupun tetap diakui ada sebagai ulama yang memperbolehkan menggunakannya dalam persoalan yang menyangkut keutamaan amal[9]. Terlepas dari semua itu, yang jelas bahwa hadis yang mempunyai kualitas mardûd, secara logis harus dipertanyakan kredibilitas perawi hadisnya.
Sementara itu, para ulama mencermati bahwasanya adanya konsep tentang hadis sahîh dengan hadis da’îf adalah merupakan produk pemikiran manusia (ijtihad manusia). Artinya, bahwa istilah sahîh dan da’îf tidak ditetapkan secara langsung konsepnya oleh Nabi. Hal ini membawa implikasi bahwa bisa jadi seorang perawi yang termasuk dalam jajaran periwayat hadis sahîh itu turun derajatnya kederajat da’îf dan mungkin juga seorang perawi yang da’îf bisa mendekati kepada perawi yang sahîh dengan didukung dengan sejumlah mutâbi’ dan syâhid yang menguatkan keberadaannya[10].
Dengan memahami bahwa garis pembatas antara hadis sahîh dan da’îf adalah hasil pemikiran manusia (ijtihad manusia), maka boleh saja pergesaran pemikiran antar lintas waktu, baik antara generasi yang satu dengan generasi yang lain, antara mujtahid yang satu dengan mujtahid yang lain, itu terjadi dan mengalami perubahan. Salah satu contoh adalah Imam Tirmizî (w.279H). Dalam hal ini, ia berusaha untuk mengelaborasi-kan kedalam istilah tehnis yang belum menjadi standar.

Sebagai seorang mujtahid dalam bingkai pemikiran hadis, ia mencermati bahwa diantara sahîh dan da’îf ada celah yang dapat dimasuki. Celah yang belum dibahas oleh ulama yang sebelumnya, yang menyangkut pada kondisi perawi yang hanya memiliki “intelektual” tidak terlalu kuat serta dalam hadis mereka adalah mudhtharib (perawi yang memiliki pertentangan antara sesamanya)[11]. Keberadaan para periwayat yang seperti itu, oleh ulama sebelumnya dimasukkan kedalam wilayah yang tidak dapat diterima hadisnya, sehingga hadis mereka secara otomatis menjadi tertolak(mardûd).
Imam Tirmizî--menurut penuturan Ibn. Taimiyyah (w. 728 H)--adalah salah seorang pakar hadis yang membuat suatu metode baru dalam kajian hadis. Ia telah berhasil memetakan kualitas sanad hadis menjadi tiga bagian, yaitu sahîh, hasan dan da’îf. Ibn. Taimiyyah menambahkan, bahwa pada masa Imam Ahmad ibn. Hanbal (w. 241H) dan ulama-ulama hadis yang sebelumnya hanya membagi hadis menjadi dua bagian sahîh dan da’îf.
Pada wilayah hadis da’îf, Imam Ahmad ibn. Hanbal membaginya kedalam dua bagian, yaitu hadis da’îf yang tidak boleh diamalkan kerena perawinya dicurigai berdusta atau banyak salahnya dan hadis da’îf yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena perawinya bukan perawi yang berdusta atau melakukan kesalahan, melainkan hanya kurang cermat[12].
Posisi hadis hasan yang ditawarkan oleh Imam Tirmizî pada prinsipnya adalah berada pada wilayah hadis da’îf yang dikemukan oleh Imam Ahmad, tepatnya pada bagian yang tersebut terakhir. Hadis da’îf pada wilayah yang kedua, oleh Imam Tirmizî diberi nama hadis hasan. Para perawi hadis yang berada dalam kualitas da’îf, oleh Imam Tirmizî diangkat kepada derajat hadis hasan dengan dukungan para mutâbi’( j. tawâbi’), syâhid (j. Syawâhid).
Sebagai rujukan dari hadis-hadis hasan, Imam Tirmizî menyusun sebuah kitab yang diberi nama Sunan at-Tirmizî atau juga di kenal dengan jâmi` as-sahîh. Hal ini bukan berarti bahwa didalam kitabnya, ia tidak menyantumkan hadis-hadis sahîh ataupun derajat hadis yang lainnya.
Secara spesifik, Imam Tirmizî memberikan batasan-batasan atau kaedah-kaedah kritik sanad yang ada keterkaitannya dengan definisi tentang hasan. Yang harus diketahui adalah bahwa apa yang dikemukan oleh Imam Tirmizî tentang hadis hasan berbeda dengan definisi yang didefinisikan oleh para ulama hadis pada masa berikutnya.
Kitab jâmi` as-sahîh ini tidak hanya menyangkut tentang istilah hasan, akan tetapi juga terdapat kombinasi dari istilah hasan, yaitu hasan+sahîh, hasan+ sahîh+garîb, hasan+ garîb ataupun istilah sahîh+garîb[13]. Imam Tirmizî tidak memberikan pengertian secara pasti apa yang dimaksud dengan beberapa istilah itu[14]. Yang nampak dalam kitab al-`Illalnya, ia hanya memberikan dua istilah, yaitu hasan dan garîb. Sedangkan pengertian yang ada dan tersusun dalam kitab-kitab hadis lebih mengarah kepada interpretasi atau penafsiran dari para penulisnya[15].

Dengan latar belakang seperti itu, maka penulis berusaha untuk membahas dalam bentuk tesis dengan melihat beberapa masalah yang diajukan dalam butir-butir berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang diteliti dalam pembahasan tentang klasifikasi kualitas hadis menurut Imam Tirmizî dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Ijtihad Imam Tirmizi terhadap klasikasi kualitas hadis dalam wacana pemikiran Islam?
2. Bagaimanakah Imam Tirmizî dalam menjelaskan Klasifikasi hadis, terutama yang berkaitan dengan hadis hasan?
3. Bagaimanakah Implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Imam Tirmizî dalam studi hadis?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Ulama’ hadis dalam meneliti hadis Nabi telah menetapkan kaedah-kaedahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kaedah-kaedah yang diterapkan, baik itu kaedah-kaedah yang diterapkan pada masa sebelum Imam Tirmizî atau pada masanya.
2. Imam Tirmizî--dalam bidang kajian hadis--adalah seorang pioner dalam memunculkan istilah hasan yang kemudian dijadikan sebagai istilah standar. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan informasi yang akurat dan valid tentang Imam Tirmizî terhadap metode baru ( kaedah baru) dalam wacana hadis.
3. Penelitian ini mencoba melihat kaedah-kaedah dalam sanad, bukan sekedar sebagai pengujian kualitas sanad hadis, akan tetapi sebagai karya ilmiah yang dalam peredaran sejarah telah memberikan sumbangan yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, terlebih dalam kajian hadis.
4. Walaupun tesis ini, hanya tertuju pada klasifikasi kualitas hadis dalam wacana Imam Tirmizî, akan tetapi tampaknya hasilnya akan berguna terhadap pemetaan wilayah, baik itu wilayah sahîh , hasan dan da’îf.
D. Metodologi Penelitian
1. Sumber penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (Library Research). Untuk mendapatkan data guna menyelesaikan tulisan ini, diadakan pengkajian dan penelitian terhadap buku-buku yang ada hubungan dengan masalah yang dibahas. Ada dua sumber data yang dapat dikumpulkan, yaitu:
a. Data Primer
Sesuai dengan bahasan yang dikaji, yaitu: “IJTIHAD IMAM TIRMIZÎ DALAM MENENTUKAN HADIS HASAN”, maka stressing dari penelitian ini tertuju pada karya monomental Imam Tirmizî “ Sunan Tirmizî” juga dikenal dengan “al-Jâmi’ as-sahîh”, terutama pada bagian yang terakhir yang berisi sebuah kitab yang berjudul kitab al-`Illal.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari buku-buku hadis yang ditulis oleh ulama hadis, terutama karya-karya yang ada hubungannya dengan Pembahasan yang dimaksud. Data-data yang menunjang itu, diharapkan nantinya mampu mem-bantu dalam menganalisa permasalah yang ada. Data-data penunjang ini ber-hubungan dengan dengan kritik rijâl dan al-jarh wa at-Ta’dîl.
2. Metode pendekatan dan analisis
Karena obyek studi adalah tentang kredibilitas seorang perawi hadis serta masalah-masalah yang ada keterkaitan dengannya, maka pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu hadis--terkhusus pada ilmu kritik hadis.Sedangkan untuk menganalisa terhadap data yang telah terkumpul maka digunakan metode historis-filosofis dan diskriptif-analitik[16].Artinya bahwa data-data sejarah dan data-data yang berkaitan dengan ide-ide, struktur-struktur fundamental (Fundamental Structure) dari pemikiran Imam Tirmizî dalam bidang hadis yang terkumpul didiskripsikan, untuk kemudian dianalisa dan dicari kaitannya antara data sejarah dengan data pemikiran.



E..Isi Penelitian

1. Klasifikasi Kualitas Hadis Dalam Pandangan Imam Tirmizi

Berpijak pada prinsip-prinsip umum tentang kaedah-kaedah dalam menentukan hadis, Imam Tirmizî menetapakan status hadis dengan caranya sendiri, walaupun tetap diakui masih berpijak pada guru-guru yang telah berkecimpung dalam dunia hadis. Secara umum, Imam Tirmizî dalam menentukan status hadis berpijak pada buku kecil yang terletak pada akhir kitab jaminya, yang ia beri nama dengan kitâb al-‘illal as-sagîr. Setidaknya kitab ini memuat kaedah secara umum tentang status hadis dilihat dari kualitas seorang rawi yang disertai dengan istilah-istilah teknis yang berkaitan dengan sanad hadis.
Klasifikasi hadis disini dimaksudkan untuk mengetahui derajat atau tingkatan hadis yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî, baik itu menyangkut tentang klasifikasi berdasarkan kualitas ataupun berdasarkan pada kuantitas rawi (namun disini penulis tidak membahas masalah klasifikasi hadis berdasarkan pada pada kuantitas rawi, akan tetapi lebih mengacu kepada klasifikasi berdasarkan pada kualitas rawi). Dengan aspek yang pertama, maka kualitas rawi dapat diketahui, apakah seorang rawi itu mempuyai status sahih dengan kredibilitas yang tinggi, atau hasan dengan karrekteristik yang ringan hafalanya ataupun da’îf dengan standar dibawa kedua status sebelumnya.
Dengan diketahui klasifikasi hadis dengan berdasarkan pada kualitas rawi, maka akan diketahui mana hadis-hadis yang berkategori maqbûl( dalam arti sahih dan hasan) dan mana hadis yang berkategori mardûd ( dalam arti da’îf), atau berkaitan dengan ma’mûl (diamalkan) dan gair ma’mûl (tidak diamalkan). Selain itu juga akan diketahui juga, mana hadis-hadis yang layak dijadikan hujjah, dan mana hadis-hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Untuk melihat dan mencermati kenyataan ini, maka dibawah ini akan kami jelaskan tentang klasifikasi hadis berdasar pada kualitas rawi.
a. Hadis sahîh menurut Imam Tirmizî
sahîh secara bahasa adalah lawan dari kata as-saqîm (jamak siqâm yang berarti sakit--sick, ill, ailing, skinny[17] dll) Sedangkan secara Istilah, ulama hadis sepakat, termasuk didalamnya Imam Tirmizî dengan apa yang secara eksplisit dikemukan oleh Imam Syâfi’î dalam kitab Risâlahnya. Walaupun Imam Tirmizî secara eksplisit tidak mengemuka-kan secara khusus tentang definisi sahih, akan tetapi sebagaimana dituturkan oleh Dr. Nuruddîn ‘Itr, Imam Tirmizî nampak condong kepada apa yang dikemukan Imam Syâfi’î[18].
Imam Syâfi`î dalam kitab Risâlahnya memberikan batasan-batasan tentang hadis sahih dengan berpijak pada persyaratan khabar khassas, atau khabar Âhâd. Batasan-batasan itu adalah; 1)dapat dipercaya pengalaman keagamaannya; 2) dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita; 3) memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan; 4) mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan pada lafalnya; 5) mampu meriwayatkan hadis secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan hadis secara makna; 6) terpelihara hafalannya, bila ia meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatannya, jika dia meriwayatkan dengan kitabnya;7) apabila hadis yang diriwayatkanya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadis tersebut tidak berbeda; dan 8) terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis). Sedangkan yang terakhir adalah rangkaian riwayatanya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai pada kepada Nabi[19].
Persyaratan yang dikemukan oleh kebanyakan Jumur ulama, adalah merupakan batasan yang telah diberikan oleh imam as-Syâfi’î. Ibn Salâh misalnya, ia memberikan pengertian tentang hadis sahih tidak lepas dari batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh imam Syâfi’î. Ibn Salâh dalam memberikan pengertian hadis sahih mengandung batasan sebagai berikut:
1) al-‘Adâlah. Dalam hal ini, Imam as-Syâfi’î.menjelaskan:” dapat dipercaya pengalaman keagamaannya;dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita”.
2) ad-dabt. Ini mempuyai persesuaian dengan perkataan Imam Syâfi’î:” memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan; mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan pada lafalnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan hadis secara makna; terpelihara hafalannya, bila ia meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatannya, jika dia meriwayatkan dengan kitabnya”.
3) Al-Ittisâl. Dalam batasan Imam Syâfi’î termaktub:” rangkaian riwayatanya bersambung sampai kepada Nabi , atau dapat juga tidak sampai pada kepada Nabi”.
4) Tidak terdapat cacat yang sangat (al-‘Illah al-Qâdihah). Ini merupakan yang samar yang menentukan akan kesahihah dari hadis, karena pada kulit luarnya nampak tidak terjadi apapun. Dalam Ungkapan Imam as-Syâfi’î terdapat:” terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis)”. Karena hadis mudallas luarnya selamat, akan tetapi dalamnya terputus
5) Tidak ada kejanggalan-kejanggalan (Syuzûz). Batasan dalam per-kataan Imam Syâfi’î adalah:” apabila hadis yang diriwayatkanya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadis tersebut tidak berbeda”.[20]
Hadis apabila memenuhi lima persyaratan ini, maka hadis tersebut dinamakan dengan hadis sahih. Hadis sahih tidak dipersyaratkan memiliki banyak jalur periwayatan, akan tetapi hanya ditetapkan berdasarkan pada syarat-syarat yang telah disebutkan, meskipun periwayat hanya seoarang saja.
Demikian juga Imam Tirmizî meskipun tidak secara tegas menyatakan hal yang serinci ini, akan tetapi secara umum ia mengatakan persyaratan ini. Secara terpisah dalam kitabnya yang dikarang menyebutkan syarat-syarat seperti itu, misalanya;1) sanadnya bersambung; 2) siqât yang didalamnnya terdapat dua unsur, yaitu. Adâlah dan dabt 4) tidak Syaz dan tidak `illat ( bukan termasuk hadis Syaz dan meriwayatkannya bukan orang berada dibawahnya dalam bidang kredibilitasnya, minimal semisal dengannya)[21]
Yang jelas, Imam Tirmizî dalam menentukan hadis sahih tidak lepas dari pengaruh ulama yang menjadi gurunya. Akan tetapi bila melihat pengaruh yang terbesar dari guru-gurunya, maka Imam Bukhârî dan Imam Muslim[22] adalah guru yang banyak memberikan andil dalam wacana keilmuaannya. Sebagimana dialami oleh Imam Tirmizî, keduanya tidak secara tegas memberikan batasan dan definisi secara rinci tentang hadis sahih.
Yang perlu dikemukakan adalah bahwa bagaimanapun juga pengaruh ulama-ulama sebelumnya sangat berperan dalam menentukan kaedah-kaedah kesahihan sanad. Sebagimana dikemukan oleh Ahmad Muhammad Syâkir bahwa Imam Syâfi’îlah yang mula-mula menerang-kan secara jelas kaedah kesahihan sanad[23].Secara tegas dapat dinyata-kan bahwa langkah yang telah dilakukan oleh Imam Syâfi’î merupakan langkah seorang pioner yang berusaha merumuskan hadis dengan disertai metodologinya.
Dari penentuan status sanad ini pada tahab selanjutnya muncul konsep-konsep yang yang paling sahih, paling baik, paling lemah. Konsep-konsep tersebut merupakan ijtihad baik dalam mengemukakan ungkapan yang digunakan maupun eksistensi sanad itu sendiri, bahkan ada konsep tentang silsilah az-zahab (rantai emas) bagi sanad yang paling sahih
Imam Tirmizî dalam mengatakan hadis yang berkualitas sahih, dengan mengunakan juga.istilah Jayyid. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn. hajar al-Asqalânî (w.752 H) bahwa menurut para ahli hadis tidak ada perbedaan antara sahih dan al-jayyid. Hadis dengan mengunakan kata seperti ini, dapat ditemukan dalam kitab al-Jâmi` at-Tirmizî. Dalam pembahasan tentang at-tîb (kedokteran), ia menyatakan sebuah hadis dengan kualitas jayyid. Ia mengatakan bahwa hadis yang mengenai kedokteran mempuyai kualitas Jayyid hasan. Disamping itu, meskipun ulama masih memperdebatkan tentang penafsirannya, Imam Tirmizî mengunakan istilah sahih digabung dengan mengunakan istilah-istilah yang lain, misalanya; sahih +garîb, hasan+sahih, maupun dengan mengunakan istilah hasan +sahih+ garîb.
Adapun penyataan Imam Tirmizî yang secara langsung mengarah kepada istilah sahih, dalam berbagai tempat di kitab jâmi’nya banyak ditemukan. Salah satu contoh yang dapat dikemukan adalah hadis tentang durhaka kepada orang tua (`Uqûq al-Wâlidain).Secara lengkap dapat dicermati pada bagian dibawah ini:
حدثناقتيبه حدثنا اللبث بن سعد عن ابن الهاد عن سعد بن ابراهيم عن حميد بن عبد الرحمن عن عبد الله بن عمر قال قال رسول الله صلعم :"من الكبائر ان يشتم الرجل والديه قالوا: يا رسول الله وهل بشتم الرجل والديه؟قال: نعم, يسب ابا الرجل فيسب اباه, ويشتم امه فبشتم امه": هذا حديث صحيح[24]
(Telah memberitakan kepada kami Qutaibah, telah memberitahukan kepada kami al-lais ibn Sa`ad dari ibn. Al-Hâdi dari Sa`ad ibn Ibrâhîm dari Humaid ibn Abd. Ar-Rahmân dari Abdillah ibn Amr: ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:” Termasuk sebagian dari dosa besar adalah seorang yang mencela kedua orang tuanya”. Mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah adakah hal itu bisa terjadi? Nabi menjawab, ya. Yaitu Seseorang yang mencela ayah orang lain, kemudian ia kembali membalas mencaci ayahnya, dan seseoarang yang mencela ibu oarang lain, kemuadia orang lain kembali memabalas mencale ibunya” (H.R. Imam Tirmizî)

2. Hadis Hasan dalam Pandangan Imam Tirmizi

Hasan secara bahasa mempuyai pengertian yang dirindui nafsu dan yang disenangi. Sedangkan hasan secara etimologi Imam Tirmizî mempunyai pengertian:
كل حديث يروي لايكون في اسناده من يتهم بالكذب. ولا يكون الحديث شاذا, ويروي من غير وجه نحو ذلك"[25]
“setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang didalamnya tidak terdapat perawi yang tertuduh berdusta dan tidak pula syazz, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat”.
Uraian Imam Tirmizî ini bila dicermati dan diperhatikan terdapat tiga kriteria pokok tentang hadis hasan, yang ketiganya merupakan unsur-unsur yang membedakan antara kualitas hadis yang satu dengan yang lainnya, yang hasan dengan yang da`îf dan sahîh. Tiga kreteria itu adalah:
1). Pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh berdusta. Kriteria ini tidak memasukkan didalamnya para perawi yang berdusta.Yang termasauk dalam kriteria ini adalah perawi yang mempuyai daya ingat yang rendah[26], perawi yang disifati dengan salah dan keliru[27], hadis yang sanadnya terputus tetapi samar (hadis munqati`’)[28], atau hadis yang telah terjadi kerancauan karena bercampur dengan hadis lain atau setelah dicampurinya dengan perkataan yang lain[29], juga hadis seorang perawi yang muddalis yang meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an-‘anah (periwayatan dengan mengunakan banyak lafal ‘an)--karena ini mereka tidak dapat dituduh berdusta[30], juga perawi tidak dijelaskan dijelaskan al-jarh maupun at-ta’dîlnya, ataupun diperselisihkan al-jarh dan ta’dîlnya namun tidak dapat ditentukan antara keduanya.Yang juga masuk dalam kreteria hadis hasan, adalah perawi yang siqah, periwayat orang-orang yang jujur, akan tetapi tidak terlalu dabit. Perlu ditegaskan bahwa kategori siqah ini dalam hadis hasan tidak sehebat kategori siqah dalam hadis sahîh. Hal ini menunjukkan tingkatan yang lebih rendah akan hadis hasan, dibanding dengan derajat hadis sahîh.
2).Hadis tersebut tidak janggal (Syaz) Imam Tirmizî sebenarnya ingin menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi hasan harus tidak bertentangan dan selaras dengan perawi-perawi yang siqah dalam hadis yang sama, meskipun berbeda lafal (atau dengan kata lain riwayah bi al-Ma’nâ). Konsekwensi dari batasan ini adalah apabila hadis itu bertentangan dengan periwayat yang siqah, maka hadisnya ditolak(mardûd/da`îf)
3).Hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalur yang lain yang sederajat dengan hadis itu atau lebih tinggi tingkatannya. Dalam hal ini, terkesan bahwa Imam Tirmizî memberikan syarat dengan ta’adud ar-Râwî (berbilang-bilangnya rawi),[31] artinya bahwa hadis hasan harus diriwayatkan pula melalui sanad lain, baik satu atau lebih, dengan berprinsip pada persamaan derajat dengannya atau lebih kuat. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan satu dari dua kemungkinan, yaitu membuang yang lemah atau mengambil yang lebih kuat.
Melihat tiga kriteria yang yang telah ditetapkan oleh Imam Tirmizî, nampak, bahwa ia tidak memberikan batasan atas persam-bungan sanad. Boleh jadi, hadis-hadis yang memenuhi tiga kriteria itu, maka dapat dihukumi sebagai hadis hasan. Ambillah sebagai contoh adalah hadis munqati`[32]. Hadis munqati` bila ditinjau dari tiga kriteria yang telah ditetapkan, maka hadis ini dapat dikategorikan sebagai hadis hasan. Demikian juga mengenai seorang rawi yang mudallis yang tidak menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadis dengan samâ’,atau juga seorang rawi yang da’îf , akan tetapi keberadaanya masih dalam jajaran rawi yang diterima kehadirannya, masih dapat dikategorikan dalam hadis hasan. Yang jelas, menurut pandangan penulis, dua syarat terakhir itu harus dijadikan landasan berpijak, yaitu: hadisnya tidak janggal(Syaz) dan diriwayatkan pula melalui sanad yang lain yang sederajat atau lebih tinggi, baik dengan redaksi yang sama(bilafz) atau dengan maknanya saja(Bi al-Ma’nâ).
Yang terpenting dari pengertian yang dikemukan oleh Imam Tirmizî adalah berpusat pada definisi tentang hadis hasan bukan pada istilah-istilah yang lainnya. Istilah-istilah gabungan--nanti akan dijelaskan-yang digabungkan dengan istilah hasan tidak mendapatkan penjelasan secara pasti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Imam Tirmizî--sebagaimana penjelasan subhî sâlih--bahwa tidak dijelaskan-nya istilah-istilah itu dikarenakan bahwa istilah-istilah sudah difahami ulama hadis kala itu, demikian juga ia memberikan kemungkinan yang lain, bahwa istilah-istilah baru itu hanya sebagai tahab perkenalan saja atau karena dia sungguh tidak tahu tentang istilah hasan [33]. Istilah-istilah gabungan yang sudah terjelaskan sekarang adalah merupakan interpretasi dari ulama hadis, sedangkan Imam Tirmizî tidak memberikan penjelasan yang konkrit dan jelas.
Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, ta’rif(pengertian) hasan, semakin tersusun lebih sistematis, spesifik dan sedikit berbeda dengan pengertian yang diberikan Imam Tirmizî. Pengertian hasan pada masa berikutnya yang mempunyai batasan-batasn, yaitu sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh orang yang `âdil, juga kekuatan hafalan yang rendah (bila dibandingkan dengan rawi sahîh), tidak janggal (Syaz) dan tidak cacat(`Illat)[34]. Batasan-batasan seperti ini oleh para ulama diberi nama hadis hasan li zâtih. Sedangkan pengertian yang telah dikemukakan oleh Imam Tirmizî dengan batasan-batasannya dinamakan oleh para ulama sebagai hadis hasan ligairi.
3. Implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Imam Tirmizî dalam studi hadis
Sejak Imam Syâfi’î (w.204 H)--yang mendapat gelar nâsir as-Sunnah--menyatakan dan mendeklarasikan sunnah/ hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an,[35] secara otomatis kedudukan hadis menjadi sangat penting, bahkan dianggap sebagai teks-teks yang standar yang berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an dalam arti tibyan, baik itu ta’kid maupun tafsir.
Konsekwensi dari penyataan ini adalah, bahwa hanya hadis yang mempunyai derajat dan kualitas yang tinggi sajalah yang dapat dijadikan hujjah (atau dalam istilah ulama sebelum Imam Tirmizî adalah yang maqbûl atau sahih)
Persoalan yang muncul kemudian adalah, apakah hadis-hadis yang tidak mempuyai kualitas maqbûl tidak dapat dijadikan sebagai landasan hujjah dalam ajaran Islam, ataukah hadis-hadis dengan kualitas tidak maqbûl tidak mempunyai peran apapun dalam sumber ajaran Islam.? Lantas bagaimana status hadis yang telah dikemukan oleh Imam Tirmizî, status hasan misalnya, apakah juga tidak mempuyai peran atau tidak mempuyai kedudukan dalam sumber ajaran Islam.? Pertanyaan -pertanyaan ini, nampaknya tidak dapat dijawab secara serampangan karena hal ini menyangkut, kritik rijâl. Yang jelas, dalam persoalan-persoalan yang menyangkut akidah, hukum, muamalat, nikah , riqaq, memang harus ketat (tasyaddud), sedangkan yang menyangkut persoalan diluar itu dapat dipertimbangankan (tasâhul).
Untuk yang berkenaan dengan akidah, ulama berbeda pendapat tentang kehujahan hadis âhâd. Sebagian ulama menyatakan, hadis âhâd tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena hadis âhâd berstatus zannî al-Wûrûd. Alasannya, yang zannî tidak dapat dijadikan dalil .terhadap persoalan yang berkaitan dengan akidah (kenyakinan). Soal keyakinan harus berdasarkan dalil yang qat’î[36], baik wûrûd (subût) maupun dalâlahnya.
Sebagian pendapat lagi menyatakan bahwa hadis âhâd yang sahih dapat dijadikan hujah untuk masalah akidah. Ulama yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa hadis âhâd dapat saja menjadi qat’î al- wûrûd. Alasan yang diajukan cukup banyak, antara lain:
1. Sesuatu yang berstatus zannî mempuyai kemungkinan mengandung kesalahan. Hadis yang telah diteliti dengan cermat dan tenyata berkualitas sahih terhindar dari kesalahan. Karenanya, hadis yang berkualitas sahih, walaupun masuk dalam kategori âhâd, memiliki status qat’î al-wûrûd [37].
2. Nabi pernah mengutus sejumlah mubalig ke berbagai daerah. Jumlah mereka tidak mencapai ketegori mutâwatir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita yang berkategori mutâwatir, niscaya masyarakat tidak membenarkan menerima dakwah mubalig yang diutus Rasulullah[38]
3. `Umar ibn Khattâb pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika ia mendengar hadis Nabi yang disampaikan al-Bahâk ibn.Sufyân secara âhâd.[39].
Untuk upaya kompromi dan ihtiyât, dalam masalah akidah harus dibagi dua bagian, yaitu yang pokok dan cabang. Yang pokok harus berdasarkan yang qat’î, baik wûrûd maupun dalalahnya, sedangkan untuk yang cabang dapat juga hadis âhâd dengan kualitas sahih dijadikan hujah.
Adapun yang berkaitan dengan non-akidah, hadis sahih disepakti oleh ulama sebagai hujah. Untuk hadis hasan, ulama berbeda pendapat; sebagian pendapat menerima dan sebagian menolak. Yahyâ ibn Ma’in (w. 233H=848M) dan al-Bukhârî( w. 256H=870M) dapat digolongkan sebagai ulama yang menolak kehujahan hadis hasan. Dinyatakan demikian, karena kedua ulama itu menolak hadis da’îf, sedang hadis da’îf yang dibakukan pada masa mereka itu, sebagaimana dijelaskan oleh ibn Taimiyyah dimuka adalah kualitas asal dari hadis hasan dan hadis da’îf yang dibakukan pada masa Imam Tirmizî.
Kalau untuk hadis hasan dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai hujjah, maka untuk hadis da’îf, sebagai tingkat terakhir dari kualitas hadis, pada umumnya ulama menolaknya sebagai hujjah. Pendapat yang secara tegas menolak kehujjahan hadis da’îf, selain Yahyâ ibn Ma’in (w. 233H=848M) dan al-Bukhârî tersebut diatas adalah, ‘Alî ibn Hazm (w. 456H=1063M) dan Abû Bakr ibn ‘Arabî (w. 543H=1148M).
Terlepas dari hukum dari masing-masing kualitas hadis diatas, yang perlu dikemukakan adalah bahwa Imam Tirmizî telah memberikan sumbangan yang besar dalam pemikiran hadis, terlebih pengkayaan dan pengandaan dari tradisi-tradisi ulama hadis sebelumnya. Selain daripada itu, langkah yang dilakukan oleh Imam Tirmizî adalah merupakan psiko-terapi bagi kesadaran keislaman terhadap pemekaran sumber ajaran Islam--yang sebelumnya hanya terpaku pada dua hal saja, yaitu mutâwatir dan âhâd (dalam arti yang sahih sebagai landasan hukum). Kemudian, ia berusaha untuk menemukan sikap adil terhadap hadis sebagai sumber ajaran Islam, sehingga hadis-hadis yang menjadi standar bagi ulama sebelumnya, kemudian direformulasikan kedalam metodologi yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Implikasi dan konsekwensi dari pemikiran Imam Tirmizî terhadap hadis berkembang secara luas. Secara sederhana dapat dilihat tentang struktur fundamental tentang istilah-istilah tehnis yang belakangan muncul (untuk mengatakan masa sesudah Imam Tirmizî), seperti hasan lizâtih dan hasan ligairih, sahih li zâtih serta sahih ligairih. Istilah-istilah tehnis itu , menurut analisa penulis adalah konsekwensi dari pemikiran Imam Tirmizî tentang hadis hasan. Suatu pengandaian muncul dengan ungkapan: Adaikata Imam Tirmizî tidak memberikan istilah hasan dengan disertai konsepnya, mungkinkan akan terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dalam khazanah intelektual ? Bagimanapun juga, kemampuan yang telah dicurahkan oleh Imam Tirmizî membawa implikasi dan konsekwensi berpikir dan bertindak yang amat luas.
Setidaknya dengan mencontoh sejarah masa lampau, Imam Tirmizî sebenarnya telah memiliki program pengayaan budaya dengan keberaniannya mengakomodasikan budaya kritik hadis yang dahulunya hanya berputar pada persoalan maqbûl dan mardûd menjadi tiga kalsifikasi besar, yaitu; sahih, hasan dan da’îf.
Sebuah pergesaran paradigma (Shifting paradigm) dalam hal ini telah dilakukan dan bahkan telah dialami dikalangan para ulama hadis pada saat itu. Sebagaimana dikatakan Thomas S. Kuhn, bahwa sebuah pengetahuan atau kerangka keilmuan akan mengalamai suatu proses perubahan, ketika suatu pengetahuan itu ditemukan anomali-anomali (kejanggalan-kejanggalan), sehingga memungkinkan untuk adanya perubahan kepada arah yang lebih sempurna--Ia memberikan istilah dengan revolutionary science[40].
. Yang jelas, bahwa klasifikasi hadis yang berdasarkan kualitas perawi dilakukan Imam Tirmizî menjadi tiga bagian penting, yaitu: sahih, hasan dan da’îf. Usaha yang dilakukan oleh Imam Tirmizî berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya, ambillah sebagai contoh, Imam Bukhârî dan Imam Muslim. Keduanya hanya memberikan dua klasifikasi saja, yaitu menyangkut pada persoalan hadis sahih (maqbûl)dan «a’îf (mardûd). Persoalan selanjutnya adalah: apakah hadis yang mempuyai kualitas da’îf dapat terangkat kepada derajat yang lebih tinggi atau hadis yang dianggap sahih dapat turun derajat-nya kepada derajat yang dibawahnya, hasan misalnya?. Bila berpijak pada teori yang dikemukan oleh Imam Tirmizî, maka kemungkinan seperti itu akan terjadi. Kaedah Imam Tirmizî membawa perbedaan penting bagi kualitas hadis, baik itu berupa hadis sahih yang melalui jalur lain berubah menjadi ¥asan atau dari status da’îf didukung riwayat lain menjadi derajat hasan.
Imam Bukhârî dalam menentukan kualitas hadis sahih sangat ketat, yaitu seorang perawi yang memiliki kredebilitas tinggi, baik itu berkaitan dengan ka`âdilan, kedabtannya ataupun kesezamanan diantara periwayat hadis dalam satu rangkaian sanad. Hal semacam ini, juga dilakukan oleh Imam Muslim, untuk menetapkan hadis dengan kualitas sahih--walupun sedikit berbeda dalam persyaratannya, yaitu tidak disyaratkannya adanya pertemuan antara mereka. Yang penting antara mereka telah terbukti sezaman. Akan nampak jelas perbedaan, bila kita perhatikan dari skema dibawah ini:
Imam Tirmizî . Imam Muslim Imam Bukhârî






Dari tiga skema tersebut dapat dipahami bahwa ada tiga bentuk kaedah yang telah digunakan oleh ketiga imam tersebut. Imam Bukhârî masih melihat hadis dengan batasan dua klasifikasi dari peringkat yang teratas (perawai yang mempuyai kredibilitas yang tinggi) kemudian ke bawah. Sedangkan Imam Muslim dan Imam Tirmizî, juga berlainan pula dalam menetapkannya. Imam Muslim menetapkan kualitas sanad dari sanad hadis sahih yang terendah menuju kepada kualitas sanad hadis yang tertinggi. Bagi Imam Tirmizî, Kualitas sanad hadis yang telah dianggap tidak sahih oleh keduanya, diangkat kepada kualitas sanad yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Ia menta’dîl perawi-perawi itu dengan disertai dalil-dalil (qarinah-qarinah), syâhid serta Mutâbi’, sehingga keberadaan para rawi menjadi bergeser, yaitu dari kategori da’îf menjadi kategori ihtijâj (dapat dijadikan hujjah). Dalam hal ini dapat dipahami, bahwa istilah hasan yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî merupakan sebuah istilah bandingan dari hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Hadis yang mempuyai derajat ihtijâj yang tinggi dalam istilah Imam Tirmizî disebut dengan hasan+sahih. Sedangkan Hadis dengan derajat ihtijâj yang rendah(adnâ), maka ia sebut sebagai hasan. Hal ini dapat dilihat dari skema di bawah ini:


hasan sahih
dapat dijadikan
hasan hujjah (Yuhtajju bih)

hasan
Tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah (la yuhtajju bih)

Pengertian yang diberikan Imam Tirmizî terhadap hadis hasan ini berbeda dengan ulama sesudahnya. Ia dalam memberikan pengertian hasan dengan mengunakan kaedah yang longgar. Persambungan sanad dalam hal ini, tidak disyaratkan. Yang menjadi persyaratan adalah terhidar dari kejanggalan-kejanggalan (syuzuz) dan diriwayatkan melalui banyak jalur. Akan tetapi, ia masih mempunyai batas-batas yang ketat, yaitu batasan yang terendah, sebagimana dalam skema diatas.
F.. Kata Akhir
Sedikitnya ada lima kontribusi Imam Tirmizî dalam perkembangan hadis, yaitu: 1) pembagian kualitas hadis menjadi tiga bagian pokok, yang semula hanya dikenal dengan dua bagian saja, yaitu diterima atau ditolak; 2) penggunaan istilah hasan dalam berbagai tempat dalam kitabnya, sehingga menjadi terkenal dikalangan ahli hadis. Dengan demikian membawa implikasi kepada ahli hadis untuk memberikan spesifikasi tingkatan ini, yaitu sebagai tingkatan yang berada ditengah-tengah diantara dua tingkatan hadis sahih dan da’îf; 3) Imam Tirmizî berhasil memunculkan istilah gabungan yang beraneka ragam dalam khazanah hadis, sebagaimana terlihat dalam istilah yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî, seperti: hasan+ sahih, Hasan+ garîb dst.; 4) memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam kitab-kitab mustalah al-Hadîs. Hal ini membantu para ulama hadis, baik dalam istilah teknis maupun dalam segi riwayah dan ; 5) Imam Tirmizî adalah orang yang pertama menetapkan dan memberikan pengertian tentang berbagai macam istilah, seperti hasan+ garîb, sehingga andil dan saham yang besar bagi ulama hadis jelas terlihat dalam wacana hadis.

Akhirnya, inilah apa yeng telah disajikan oleh Imam Tirmizî sebagai seorang mujtahid dalam kritik hadis dan klasifikasi hadis. Sebuah usaha yang patut dihargai dalam wacana keilmuaan, kelebihan dan kekurangan merupakan sikap atau prilaku yang ada dalam pribadi manusia. Minimal apa yang telah dilakukakan oleh Imam Tirmizî memberikan kontribusi dalam kritik hadis, terlebih yang menyangkut konsepsi tentang hadis hasan. Perbedaan dalam menilai hadis kerena perbedaan sudut pandang dan ijtihad belaka.

























DAFTAR KEPUSTAKAAN

`Abdillah, Imâm al- Hâkim Abî Abdillah Muhammad, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-hadîs Kairo: Maktabah al-Mutanabî, [t.th.].

Abû Zahrah, Muhammad, As-Syâfi’î hayâtuhu wa Asruhu: Arâ’uhuh wa Fiqhuh. [t.tp], al-Dâr al-Fikr, [t.th].

Abû Zahrah, Muhammad, Usûl Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, [t.th.].

Adib sâlih, Muhammad , Lamahât fî usûl al-Hadîs Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1399H.

Al-Asqalanî, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar, Nazhah an-Nadr Syarh Nukhbah al-Fikr. Mesir: Matba’ah al-Istiqomah, 1368H.
--------------, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar, Had-y as-Sârî Muqaddimah fath al-Bârî. Beirut: Dâr al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, [t.th]., Juz. XIV
as-salâh, Abû ‘Amr ‘Usmân ib ‘Abd ar-Rahman, ‘Ulûm al-hadîs. al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972.

Al- Bahnasawî, Sâlim ‘Alî, as-Sunnah al-Muftara Alaiha. [t.tp], Dâr al-Bûhûs al-‘Ilmiyyah, 1979.

Al- hanbalî, Abd. Ar-Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim al-`Âlimî an-Najdî, Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah. Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th]. Juz I.

Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic; Arabic-English London: Macdonald&Evans LTD, 1980. Editor J. Milton Cowan, cet. ke-3

Al- Idlibî, Salâhuddîn ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn. Bairut: Dâr al-afaq al-Jadîdah, 1983.

Ibn. Kasîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ`îl, Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadîs, disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakîr dan diberi judul: al-Bâ’is al- hâsis fî Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadîs . Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th].

Al-Khattîb, Muhammad ‘Ajjaj, Usûl al-hadîs ‘Ulûmuh wa Mustalahuh.Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Al-Mubârakfurî, al-Imâm al–Hâfiz Abî`Alî Muhammad ibn ar–Rahîm, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwazî Syarh Jâmi’ at-Tirmizî. Beirut: Dâr al-Fikr. 1979.

An-Nawâwî, Abû Zakariyya Yahyâ, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî. Mesir: al-Matba’ah al-Misrîyyah, 1924. Juz. I.

Al-Qâdî, Al-Nu’mân `Abd. Al-Muta`âl, Al-hadîs as-Syarif Riwâyât wa Dirâyât. Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1975.

Al- Qayyim, Abû `Abdillah Muhammad ibn.Abî Bakr, I`lam al-Muwâqi`în . Beirut: Dâr al-Jili, 1973.

Ar-Rahîm, Hammâm Sa’îd, Al-Fikr al-Manhajî ‘Inda al-Muhaddisîn. [t.tp]; Kitab al-Ummah, 1408H.

S. Kuhn, Thomas, Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The Uneversity of Chicago Press, 1977.

sâlih , subhî, `Ulûm al-hadîs wa Mustalahuh. Beirut: Dar- lilmalayîn, 1988.
As- san`ânî, Al-Allâmah al-Bâri`wa al-hujjah al-Mutqin Muhammad ibn Ismâ`îl al-‘Amîr al-hasanî (w. 1182M), Taudîh al-Afkâr lima`ânî Tanqîh al-‘Anttâr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1947.

Ash. Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

As-Sibâ’î, Mustafâ , As-Sunnah wa makânatuh fî Tasyrî’ al-Islâmî [t.tp.], Dâr al- Qawwîyah, 1966.

Suriasumantri, Jujun S. , Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Mastuhu & M.Deden Ridwan (ed) . Bandung: Penerbit Nuansa, 1998.

As-Suyûti, Jalaluddîn Abd. Ar- Rahmân ibn Abî Bakr, Tadrîb ar-Râwî Syarh Taqrîb an-Nawâwî. Beirut: Dâr al-Ahyâ’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979., Juz. II

As-Syâfi’î, Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir. Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979. Juz. II.

Syaltût, Mahmûd , al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah. Kairo: Dâr al-Qalam, 1966.

As-Syaukanî, Muhammad ibn ‘Alî, Irsyâd al-Fûhûl. Surabaya: Salim ibn Sa’ad ibn Nabhan wa akhwatuhu Ahmad. t.th.

Syuhudi, M. Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.

At-Tahanawî, Ja`far Ahmad al-‘Usmânî , Qawâid fî ‘Ulûm al-Hadîs. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996.

At-Taimiyyah, Taqiyuddîn (w. 728H/1328M) dalam Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah . [t.tp]: Mathabi’ Dâr al-‘Arabîyyah, 1398H. Juz XVIII.

At-Tirmizî, Al-Imâm al-hâfiz Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Saurah, Sunan at-Tirmizî al-Jâmi’ as-sahîh.Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Juz. I








[1] Muhammad ‘Ajjâj al-Khattîb, ‘Usûl al-hadî£ ‘Ulûmuh wa Mustalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 27.
[2] Hadis Mutâwatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada tingkatan sanadnya, yang menurut tradisi, mustahil mereka sepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sebagian ulama ada yang menambahkan unsur penyaksian panca indera sebagai salah satu persyaratan hadis mutawatir tersebut. Lebih lanjut lihat, Jalaluddîn Abd. Ar- Rahmân ibn Abî Bakr as-Suyût î, Tadrîb ar-Râwî Syarh Taqrîb an-Nawâwî ( Beirut: Dâr al-Ahyâ’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979), Juz. II, hlm. 176.
[3] Hadis âhâd adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak mencapai derajat hadis mutawatir. Lihat, Mustafâ as-Sibâ’î, As-Sunnah wa makânatuh fî Tasyrî’ al-Islâmî ([t.tp.], Dâr al- Qawwîyah, 1966), hlm. 150.
[4] Salâhuddîn ibn Ahmad al-‘Idlibî, Manhaj Naqd al-Matn ( Bairut: Dâr al-afaq al-Jadîdah, 1983), hlm. 239-240.
[5]Imâm al- Hâkim Abî Abdillah Muhammad ibn Abdillah, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-hadîs ( Kairo: Maktabah al-Mutanabî, [t.th.]), hlm. 58-62.
[6] Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs as-Syâfi’î, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir(Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979), Juz. II, hlm. 369-371.

[7] Ada perbedaan yang prinsipil antara Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam menetapkan kualitas hadis, khususnya yang menyangkut hadis sahîh. Imam Bukhârî mengharuskan terjadi pertemuan antara para perawi dengan periwayat hadis yang terdekat dalam sanad, walaupun pertemuannya hanya satu kali saja. Dalam hal ini, Imam Bukhari tidak hanya mengharuskan terbuktinya kesezamanan saja, tetapi juga terjadi pertemuan antara mereka. Sedangkan Imam Muslim, pertemuan itu tidak harus dibuktikan; yang penting antara mereka telah terbukti kesezamanan. Lihat Ahmad ibn ‘Alî ibn ¦ajar al-Asqalanî, Had-y as-Sârî Muqaddimah fath al-Bârî ( Beirut: Dâr al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, [t.th]), Juz. XIV, hlm. 12 . Lihat juga, Muhyyiddîn Abû Zakariyya Yahya an-Nawawî, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawawî ( Mesir, al-Maktabah al-Misriyyah, 1942), Juz. I, hlm. 14-15.
[8] Al-Nu’mân `Abd. Al-Muta`âl al-Qâdî, Al-hadîs as-Syarif Riwâyât wa Dirâyât (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1975), hlm. 77-80. Lihat juga, Abû Zakariyya Yahyâ an-Nawâwî, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî (Mesir: al-Matba’ah al-Misrîyyah, 1924), Juz. I, hlm. 88.

[9] Abû `Abdillah Muhammad ibn.Abî Bakr ibn. Qayyim, I`lam al-Muwâqi`în (Beirut: Dâr al-Jili, 1973), Juz. I, hlm. 31.
[10] Hammâm Abd. ar-Rahîm Sa’îd, Al-Fikr al-Manhajî ‘Inda al-Muhaddisîn ([t.tp]; Kitab al-Ummah, 1408H.), hlm. 157. Mutâbi’(biasa juga disebut dengan istilah tâbi’ dengan jama’ tawâbi`’) adalah periwayat yang berstatus pendukung para periwayat yang bukan sahabat Nabi. Sedangkan pengertian Syâhid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawâhid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat.Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), hlm.52.
[11] Hadis Mudtarib ialah hadis yang berlawanan cara-cara periwayatnya, baik perawi-perawi cara itu, seorang atau banyak orang dengan syarat sebagiannya tidak lebih kuat dari sebagiaannya yang lain. M. Hasbi ash- Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits ( Jakar-ta: Bulan Bintang, 1987), Jilid I, hlm. 281.

[12] Abd. Ar-Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim al-`Âlimî an-Najdî al-hanbalî, Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah ( Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th]), Juz I, hlm. 251.

[13] Al-Imâm al-hâfiz Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Saurah at-Tirmizî, Sunan at-Tirmizî disebut juga al-Jâmi’ as-sahîh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), Juz. I, hlm. 7, 9, 10 dan 44 memuat istilah-istilah tersebut.

[14] Abû al-Fidâ’ Ismâ`îl Ibn. Kasîr, Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadî£, disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakîr dan diberi judul: al-Bâ’is al- hâsis fî Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadîs (Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th]), hlm.21-22.


[15] Ja`far Ahmad al-‘Usmânî at-Tahanawî, Qawâid fî ‘Ulûm al-Hadîs (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996) pada Notasi `Abd.al-Fattâh Abû Gunddah. hlm. 100-108.

[16] Jujun S. Suriasumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Mastuhu & M.Deden Ridwan (ed) (Bandung: Penerbit Nuansa, 1998), hlm.53.

[17] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic; Arabic-English (London: Macdonald&Evans LTD, 1980), Editor J. Milton Cowan, cet. ke-3, hlm. 416.


[18] Nuruddîn `Itr, Imâm Tirmizî, op. cit., hlm.160.

[19] Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs as-Syâfi’î, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir(Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979), Juz. II, hlm. 369-371.
[20] Abû ‘Amr ‘U£mân ib ‘Abd ar-Rahman ibn as-salâh(selanjutnya ditulis dengan ibn as-salâh), ‘Ulûm al-hadîs (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), hlm. 10.
[21] Pernyataan ini, dapat didukung dengan argumentasi tentang kreteria hadis serta tingkatan-tingkatannya dalam kitab jâmi’. Salah satu persyaratan yang jelas digunakan oleh Imam Tirmizî dalam menetapkan hadis kualitas tertinggi adalah hadis yang dapat dipastikan ke-sahîh-an, yaitu sesuai dengan kreteria yang dipakai oleh Imam Bukhârî dan Imam Muslim. Ini Jelas bahwa apa yang dimaksud oleh Imam Tirmizî dengan hadis sahîh tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukan oleh kedua Imam tersebut. Lihat al-Imâm al–¦âfi§ Abî`Alî Muhammad ibn ar–Rahîm al–Mubârakfurî, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwazî Syarh Jâmi’ at-Tirmizî ( Beirut: Dâr al-Fikr. 1979), jilid I, hlm. 362.
[22] Menurut hasil penelitian ulama, dalam menentukan hadis dengan kualitas sahih,, Imam Bukhârî dan Imam Muslim memberikan persyatan-persyaratan sebagai berikut: 1) rangkaian periwayat dalam sanad hadis harus bersambung mulai dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir;2) para periwayat dalam sanad hadis haruslah orang-orang yang siqât, dalam arti dâbt dan ‘Âdil;3) hadis itu terhindar dari cacat(‘Illat) dan kejanggalan (Syuzûz ); dan 4) para periwayat yang terdekat harus sezaman. Lihat Ahmad ibn ‘Alî ibn ¦ajar al-Asqalânî, Had-y as-Sârî Muqaddimah fath al-Bârî ( Beirut: Dâr al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, [t.th]), Juz. XIV, hlm. 8-10. Lihat juga, Muhyyiddîn Abû Zakariyya Yahya an-Nawawî, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawawî ( Mesir, al-Maktabah al-Misriyyah, 1942), Juz. I, hlm. 15,50 dan 60.

[23] Ahmad Muhammad Syâkir, op.cit., hlm. 369.
[24] at-Tirmizî, al-Jâmi` as-sahîh. Op.cit. Jilid. III, hlm.208.

[26] Salah satu contoh dari hadis hasan dengan perawi yang bercirikan buruk daya hafalannya adalah; hadis yang diriwayatkan melalui jalur Syu`bah dari (s. ‘an)`Âsim ibn `Ubaidillah dari(s. `an) `Abd. Allah ibn `Âmir ibn Rabî`ah dari Ayahnya, berkata: Sesungguhnya seorang perempuan dari bani Farâzah menikah dengan maskawin dua sandal, maka Rasulullah bertanya: Adakah engkau rela menganti jiwamu dan hartamu dengan maskawin dua sandal” Perempuan tadi menjawab: Ya (mau). Imam Tirmizî mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan. Dalam jalur yang lain diriwayatkan melalui; Abû Hurairah, `A’isyah dan Abî hadrad serta jama’ah selain mereka juga meriwayatkannya. Akan tetapi bila dilihat dari kredibilitas ¡im ibn `Ubaidillah, Jumhur ulama telah men«a’îfkan dan mereka memberikan sifat kepadanya dengan buruk hafalannya(sû’ al-Hif§), Ibn Uyainah merasa tidak pernah meriwayatkan atas Syu’bah riwayat itu. Dalam hal ini Imam Tirmizî memberikan kualitas hasan dikerenakan adanya riwayat lain yang mendukung. Lihat, Sunan Tirmizî , op.cit, Jilid. II, hlm. 290.
[27] Demikian juga,periwayat hadis daif yang yang disifati dengan kesalahan dan kekeliruan dapat dicermati dalam contoh ini. Hadis yang dikeluarkan melalui jalur `Îsâ ibn Yûnus dari Mujâlid ibn Abî Waddâk dari (s. `an)Abî Sa’îd , berkata: Kami mempuyai khamr untuk anak yatim, ketika surat al-Mâ’idah turun, maka saya bertanya kepada Rasulullah saw, tentang hal tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: tanamlah khamr itu”. Imam Tirmizî mengatakan hadis ini adalah hadis hasan Akan tetapi bila dilihat dari kredibilitas dari Mujâlid ibn Abî Waddâk didapati bahwa kebanyakan ulama menda`îfkan dan mensifati dengan kesalahan dan kekeliruhan( al-Galad wa al-Kha¯â’). Dinamakannya hadis hasan kerena adanya perawi dari jalur yang lain yang berasal dari Rasulullah melalui jalur ‘Anas ibn Mâlik. Lihat Sunan Tirmizî , ibid., Jilid, III, hlm., 368.
[28] Sebagian lagi dari contoh hadis hasan mempuyai ciri sanadnya terputus dengan samar adalah; hadis yang diriwayatkan melalui jalur `Amr ibn Marrah dari (s. `an) Abî al-Bakhtarrî dari(s. `an) `Ali r.a., berkata: Sesungguhnya Nabi saw. berkata kepada `Umar tentang al-`Abbas r.a.”sesungguhnya seoarang paman adalah saudara kandung ayahnya, dan `Umar berkata kepada Nabi untuk mengambil zakatnya”. Imam Tirmizî mengatakan bahwa hadis itu adalah hasan. Akan tetapi, bila melihat indentitasnya, bahwa ia sebenarnya bernama Sa`îd ibn Fairûz dan ia juga tidak pernah mendengar dari `Alî r.a., demikian juga dalam rangkaian sanadnya adalah terputus. Disifatinya dengan hasan kerena ada beberapa Syahîd yang terkenal, yaitu hadis yang melalui jalur Buraidah dan jalur yang lainnya. Lihat, Sunan Tirmizi, ibid., Jilid. V, hlm. 319.
[29] Contoh lain tentang hadis hasan adalah; riwayat dari seorang rawi yang mendengar dari perawi lain yang telah mencampuri dengan hadisnya. Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Yazîd ibn Harûn dari(s.`an) al-Mas`ûdî dari(s.`an) Ziyâd ibn `Iâqah, kemudian ia berkata: Salat nbersama kami al-Mugîrah ibn Syu`bah, maka tatkala sahat telah mendapatkan dua rakaat , ia berdiri dan tidak duduk untuk “tahiyyad”, Maka seseorang yang berada dibelakangnya membaca tasbih, ia memberikan isyarat kepada mereka untuk berdiri. Tatkala ia menyelesaikan hitungan rakaat shalat sebelum ia mengucapakan salam dan ia sujud dengan dua sujud sahwi , kemudia n ia berkata: Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw”. Imam Tirmizî menyatakan ini sebagai hadis hasan. Bila ditinjau lebih seksama dapat dilihat bahwa al- Mas`ûdî dengan asal nama Abd. Ar-Rahmân, ia disifati dengan al-Ikhtilâd, karena ia mencampur hadis yang didengar dari Yazîd. Hadis ini Hadis ini disifati dengan hasan karena datangnya jalur lain yang memperkuat keberadaannya. Lihat, Sunan Tirmizi, ibid., hlm. 228.
[30] Al-Allâmah al-Bâri`wa al-hujjah al-Mutqin Muhammad ibn Ismâ`îl al-‘Amîr al-hasanî as-san`ânî (w. 1182M), Taudîh al-Afkâr lima`ânî Tanqîh al-‘Anttâr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1947), hlm. 163. Salah satu contoh yang juga termasuk dalam kasus hadis hasan adalah; sebuah hadis yang diriwayatkan melalau jalur Yahyâ ibn Sa`îd dari (s. `an) al-Musannâ ibn Sa`îd dari (s. `an) Qatâdah dari (s. `an)`Abdullah ibn Buraidah dari(s. `an) Ayahnya dari Rasulullah saw. bawasanya Rasul berkata:” Orang mukmin meninggal dengan disertai keringat yang berada didahinya”. Imam Tirmizî mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan. Akan tetapi menurut sebagian Ahl al-`ilm mengatakan bahwa Qatâdah tidak pernah mendengar dari `Abdullah ibn Buraidah. Selain itu Qatâdah adalah seoarang muddalis yang dikenal ketaddalisanya, demikian juga riwayat yang digunakan mengunakan tahammul wa ‘adâ dengan bentuk `an (hadis Mu`an`an). Dihukuminya sebagai hadis hasan kerena adanya beberapa syâhid, yaitu dari jalur hadis Abdullah ibn Mas`ûd dan jalur yang lainnya. Lihat sunan Tirmizî, op.cit., Jilid. II, hlm. 227.
[31] ta’adud ar-râwî atau jalur periwayatan sanad yang beraneka ragam, baik satu atau lebih dengan batasan yang sederajat, ditandai dengan adanya tâbi’(j. tawâbi’) dan syâhid (j. Syawâhid). Adanya jalur-jalur yang lain ini mempuyai manfaat untuk mengetahui kesepakatan para perawi apakah kesepakatannya itu terjadi pada lafal dan makna atau terjadi pada makna saja. Selain itu, peranan aneka jalur akan meningkatkan kualitas hadis kepada jenjang yang lebih tinggi.

[32] Dalam beberapa tempat dalam kitab al-`illal, hadis munqati’ ini sering diidentikkan dengan hadis mursal. Hadis mursal adalah hadis yang diriwayatkan tabi’in dari Rasulullah tanpa menyebutkan nama perawi yang sebelumnya, yaitu sahabat Nabi. Selain Imam Tirmizî ulama hadis juga ada mengunakan istilah mursal dengan makna munqati`. Lihat Mubârakfuri, Muqaddimah….,op.cit., hlm. 281

[33] subhî sâlih, `Ulûm al-hadîs wa Mustalahuh( Beirut: Dar- lilmalayîn, 1988), hlm. 159.

[34] Banyak pengertian yang menjelaskan tentang hadis hasan, salah satunya adalah pengertian yang dikemukan oleh Ibn salâh. Menurutnya adalah bahwa rawi hadis hasan adalah orang yang terkenal kejujurannya dan dapat dipercaya, namun tidak mencapai derajat para rawi hadis sahîh, karena tingkat daya hafalannya dan akurasinya masih dibawah mereka. Sebenarnya bila dilihat lebih seksama, bahwa apa yangdikemukan Ibn salâh adalah merupakan kritik terhadap pengertian hasan yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî. Alasannya adalah; 1) definisi yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî tidak dapat memenuhi (tidak mâni’dan jâmi’) untuk memasuki definisi sahîh didalamnya, sehingga sebagaimana dikatakan al-`Irâqî--Imam Tirmizî dalam mengemukakan definisinya tidak mem-berikan penjelasan tentang perbedaannya dengan hadis sahîh. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa pada setiap hadis sahîh terdapat hadis hasan dan tidak semua hadis hasan itu mencakup hadis sahîh.;2) definisi yang dikemukan oleh imam Tirmizî tidak seperti yang dikatakan kebanyakan ulama hadis, sehingga ada kemungkinan imam Tirmizî tidak memahami secara pasti tentang hadis hasan. Sebenarnya secara tegas dua argumen-tasi itu dapat dibantah karena sejak awal Imam Tirmizî menyatakan dengan pernyataan ”menurut kami”, ini jelas menunjuk pada pribadinya. Terlepas dari ia mengerti atau tidak tentang hadis hasan, yang jelas dengan kekuatan ijtihadnya serta metodologi yang dimiliki ingin mengata-kan bahwa hadis hasan menurutnya adalah seperti itu.Lihat Mubârakfury, Juz. 10, hlm. 401; Ibn. salâh, op.cit., hlm. 13; Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-Asqalanî, Nazhah an-Nadr Syarh Nukhbah al-Fikr (Mesir: Matba’ah al-Istiqomah, 1368H), hlm.70-71.


[35] Muhammad Abû Zahrah, As-Syâfi’î hayâtuhu wa Asruhu: Arâ’uhuh wa Fiqhuh ([t.tp], al-Dâr al-Fikr, [t.th]), hlm. 214.
[36] Lihat, Muhammad Abû Zahrah, Usûl Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, [t.th.]), hlm. 109; Mahmûd Syaltût, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah (Kairo: Dâr al-Qalam, 1966), hlm. 513; lihat juga, Muhammad ibn ‘Alî as-Syaukanî, Irsyâd al-Fûhûl (Surabaya: Salim ibn Sa’ad ibn Nabhan wa akhwatuhu Ahmad, [t.th]), hlm. 334-335.
[37] Abû ‘Amr ‘Usmân ib ‘Abd ar-Rahman ibn as-salâh(selanjutnya ditulis dengan ibn as-salâh), ‘Ulûm al-hadîs (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), hlm. 24, Taqiyuddîn Ibn. Taimiyyah (w. 728H/1328M) dalam Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah ([t.tp]: Mathabi’ Dâr al-‘Arabîyyah, 1398H), Juz XVIII, hlm. 40-41.
[38] Sâlim ‘Alî al- Bahnasawî, as-Sunnah al-Muftara Alaiha ([t.tp], Dâr al-Bû¥û£ al-‘Ilmiyyah, 1979), hlm. 103.-
[39] Muhammad Adib sâlih, Lamahât fî usûl al-Hadîs (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1399H), hlm. 99-100.
[40] Thomas S. Kuhn, Structure of Scientific Revolutions ( Chicago: The Uneversity of Chicago Press, 1977), hlm. 147 dan 149.

PANDANGAN MAHMUD ABU RAYYAH TENTANG ADALAH AS-SAHABAH

PANDANGAN MAHMUD ABU RAYYAH TENTANG ADALAH AS-SAHABAH: TELAAH TERHADAP KITAB ADWA` ALAA AS-SUNNAH AN-NABAWIYYAH
By.
Moh. Akib Muslim

A. Latar Belakang Masalah
Hadis sebagaimana disepakti ulama hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi, serta tentang konsep prilaku dan karakter pisik Nabi. Pewartaan tentang segala sesuatu yang Nabi , melalui jalur perawi yang banyak, baik itu dalam tingkatan sahabat, tabi`in, atba` tabi`in maupun dalam tingkatan-tingkatanyang lain[1].
Hadis dalam sistematika periwayatannya mengalami gaya dan bentuk yang beraneka ragam. Diantara majlis-majlis yang dilakukan oleh Rasullah mengalami variasi yang beraneka ragam serta peserta majlis yang bervariatif dalam jumlah perawi dan kredebilitas masing-masing sahabat. Posisi yang diterapkan oleh Rasulullah adalah posisi sentral dalam strategi pengajaran, artinya hanya hadis yang keluar langsung dari Rasulullah sajalah yang dijadikan nilai publikasi dan nilai transmisi(periwayatan)[2].
Kenyataan seperti itu disadari betul oleh kebanyakan sahabat, secara perlahan tapi pasti sistem periwayatan berkembang dengan pesat. Sahabat-sahabat disegala penjuru berdatangan untuk mendapatkan pengajaran dari Nabi. Walaupun demikian, tidaklah seluruh sahabat meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah, diantara mereka ada yang meriwayatkan dari sahabat-sahabat yang lain yang ketka itu hadir dalam pangajaran dan majlis-majlis yang diadakan oleh Rasullullah.
Para sahabat berusaha sekuat tenaga untuk mengambil, memperoleh dan mengikuti apa yang mereka saksikan atau mereka dengar, sehingga di antara mereka saling bergantian untuk bergaul dan bermujalasah dari ke hari agar mereka dapat saling memberi tahu ilmu yang didapat dari Rasul Saw[3]. Para utusan kabilah dari berbagai negeri yang jauh datang pula ke Madinah. Mereka tinggal sekitar satu hingga dua bulan lamanya untuk belajar hukum-hukum kemudian merele kembali ke kaumnya menjadi pengajar dari mursyid[4].
Berdasarkan pada perawi dalam tingkatan tertentu, kualitas dan kredebilitas para perawi hadis menjadi tema sentral dalam pembahasan tertentu. Seoarang rawi dimata kritikus hadis, menjadi bahasan penting dalam menentukan apakah rawi tersebut dapat dieterima maupun ditolak. Berkaitan dengan diterima seoranag rawi hadis , para kritikus hadis menetapkannya dalam istilah ta`diil, sedangkan dalam proses penolaknnay , para kritikus hadis menetapkannya dalam istilah tajrih. Dua tema sentral, ta'diil dan tajriih, adalah bagian yang tidak bias dilepaskkan dalam kajian tentang sanad hadis[5].
Ada fenomena yang menarik terhadap apa yang dilakukan oleh para kritukus hadis. Mereka melakukan kritik yang begitu ketat(tasyadud) terhadap para hadis dalam beberapa tingkatan rawi hadis, baik dikalangan tabi`in, tabi`in dan atba`atba` tabiin, akan tetapi mereka tidak menetapkan kritik apapaun terhadap perawi hadis yang berada dalam tingkatan sahabat. Bahkan menariknya, mereka menetapkan nilai ta`diil diantara para sahabat itu dengan predikat sangat tinggi( dengan mengunakan formula tingkat pertama atau af`aal at-tafdiiil).
Dalam lintas perjalanan sejarah para sahabat,diantara mereka ada yang berbuat yang positif dan tidak sedikit pula yang berbuat negative. Ada sebagaian sahabat yang melakukan kejahatann terhadap Nabi Muhammad. Baik cara mereka ketika menghalang-halangi dakwah rasul atau cara mereka untuk menganjal eksistensi Rasulullah dalam kasusu politik. Tidak ada keseragaman diantara mereka tentang kebaikan-kebaikannya.
Berdasarkan varian-varian sahabat ini, maka sebenarnya para kritikus hadis seharusnya menetapakan kajian-kajian tentang sahabat Nabi dengan berdasarkan pada pertimbangan-pertimangan ilmu jarh wa ta`dil, sehingga terkesan bahwa ilmu tentang ini adalah berlaku universal dan tidak partikular. Keadaan seperti ini, dipertajam dengan konsep setiap sahabat adalah adil.
Seorang pemikir Islam yang apa akhirnya mendapatkan kritikan yang luar biasa dikalangan para pemikir yang lain yang mengunakan paradigma klasik dan berpegang pada nilai-nilai standar--adalah Mahmuud Abu Rayyah tokoh pemikir Mesir-- dengan pemikiran yang radikal berusaha merumuskan kembali pemikiran yang telah matang dan mapan dikalangan umat Islam. Ia berusaha mengali kembali terhadap beberapa konsep yang ada dikalangan umat Islam, salah satunya adalah konsep tentang adalah as-sahabah.
Dengan beberapa bukti yang menujukan bahwa konsep tentang adalah as-Sahabah perlu dikaji ulang dan perlu adanya pembahasan yang ilmiah. Ada dua kaiian utama yang berkaitan dengan persoalan tentang adalah sahabah, yaitu; pertama berkaitan pesta politik yang pada akhirnya merupakan benih perpecahan dikalangan umat Islam telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam pemahaman ajaran-ajaran Islam; kedua , bahwa ajaran agama Islam yang telah diberikan Nabi kepada Umatnya berisi ajaran-ajaran yang suci dari persoalan khurafat dan persoialan-persolan yang masih samar. Dua hal ini menjadi alasan utama mengapa Mahmud Abu Rayyah berusaha mempertanyakan kembali tentang kredebilitas Sahabat. Selanjutnya, bahwa kedua hal tesebut dilakukan oleh sahabat ketika mereka semua menyebarkan riwayat yan kemudian mereka nisbatkan kepada Nabi.
Lebih lanjut, Mahmuud Abu Rayyah menganggap bahwa biang dan musibah yang menimpa dikalangan umat Islam, disebabkan adanya pemahaman tentang konsep Adalah sahabah dan penilain para kritikus hadis terhadap para perawi hadis yang mempunyai kategori siqah(kredibel) secara tidak kritis bahkan cenderung menipu dan merekayasa. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa apa yang telah dilakukan para kritikus hadis tidak .mengunakan manhaj(metodologi) kontemporer dan lebih mengandalan pada emosi atau taklid keagamaan dan cenderung pada pembelaan te rhadap sahabat ataku para rawi hadis yang lain. Melalui kajian tentang adalah as-sahabah(moralitas Sahabat), Abu Rayyah berusa mendudukkan posiisi sahabat sebanding dengan para perawi hadis yang lainya.
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang diteliti dalam pembahasan tentang pandangan Mahmud Abuu Rayyah tentang `adalah as-sahabah: telaah terhadap kitab adwaa` alaa as-sunnah an-nabawiyyahdapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pandangan Mahmuud Abuu Rayyah tentang `Adalah As-Sahabah?
2. Bagaimanakah Cara yang digunakan Mahmuud Abu Rayyah dalam membuktikan tentang Ketidak `Adilan Para Sahabat?
3. Bagaimanakah Implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Mahmuud Abu Rayyah dalam kajian ilmu Hadis?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Mengungkapkan konsep Pemikiran Mahmud Abuu Rayyah dalam pemikiran Hadis terutama yang berkaitan dengan `Adaalah as-Sahaabah.
2. Menjelaskan Metode yang digunakan oleh Mahmud Abu Rayyah yang berkaitan dengan konsep `Adaalah as-Sahaabah.
3. Penelitian ini mencoba untuk melihat Implikasi yang ditimbulkan oleh pemikiran Mahmud Abuu Rayyah yang berbeda dengan kalangan ulama hadis tentang konsep `Adaalah as-Sahaabah.
D. Kegunaan Penelitian
1. Untuk memberikan wawasan yang lebih komprehensip tentang penelitian pada Sanad hadis Nabi, terlebih pada persoaalan `Adaalah as-Sahaabah yang dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted
2. Untuk memberikan sebuah proses keilmuan yang dilakukan oleh ulama hadis--Mahmud Abuu Rayyah dalam menyelesaikan persoalan `Adaalah as-Sahabah, untuk selanjutnya menjadi sebuah wacana yang saling melengkapi.
3. Untuk memberikan nuasa baru kepada jurusan Tafsir-Hadis dengan memperkenalkan sebauh pandangan yang radikal yang berkaitan dengan `Adaalah as-Sahaabah.
D. Metodologi Penelitian
1. Sumber penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (Library Research). Untuk mendapatkan data guna menyelesaikan tulisan ini, diadakan pengkajian dan penelitian terhadap buku-buku yang ada hubungan dengan masalah yang dibahas. Ada dua sumber data yang dapat dikumpulkan, yaitu:
a. Data Primer
Sesuai dengan bahasan yang dikaji, yaitu: “Konsep `Adaalah As Sahaabah Dalam Prespektif Mahmud Abuu Rayyah: Sebuah Telaah Terhadap Kitab Adwaa` `Alaa As-Sunnah Al-Muhamadiyyah, maka stressing dari penelitian ini tertuju pada karya monomental Imam Mahmud Abuu Rayyah juga dikenal dengan Adwaa` `Ala As-Sunnah Al-Muhamadiyyah, terutama pada bagian yang terakhir yang berisi sebuah kitab yang berjudul `Adaalah as-Sahabah..
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari buku-buku hadis yang ditulis oleh ulama hadis, terutama karya-karya yang ada hubungannya dengan Pembahasan yang dimaksud. Data-data yang menunjang itu, diharapkan nantinya mampu mem-bantu dalam menganalisa permasalah yang ada. Data-data penunjang ini berhubungan dengan dengan kritik rijâl dan al-jarh wa at-Ta’dîl.
2. Metode pendekatan dan analisis
Karena obyek studi adalah tentang kredibilitas seorang perawi hadis serta masalah-masalah yang ada keterkaitan dengannya, maka pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu hadis--terkhusus pada ilmu kritik hadis. Metodologi kritik hadis adalah sebuah upaya yang obyektif terhadap sebuah proses ilmiah. Dalam hal ini, untuk memberikan wawasan yang ilmiah tentang `Adaalah Sahaabah digunakan piranti yang apresiatif yang berguna terhahap hasil ilmmia dari sebauah penelitian. Secara otomatis, prinsip umum yang terkesan fatinatis, akan mengalami semacam goncangan atau malah lebih dari itu. Yang kedua digunakan pendekatan analisa isi(content analysis)--dalam bahasa ilmu hadis disebut dengan kritik matan hadis. Adalah sebauah metode yang digunakan untuk sama-sama melihat dasar argumentasi normatif untuk memberikan justifikasi terhadap kebenaran dari dari sebauh data yang berkaitan dengan `Adaalah Sahaabah. Sedangkan untuk menganalisa terhadap data yang telah terkumpul maka digunakan metode historis-filosofis dan diskriptif-analitik[6].Artinya bahwa data-data sejarah dan data-data yang berkaitan dengan ide-ide, struktur-struktur fundamental (Fundamental Structure) dari pemikiran Mahmuud Abuu Rayyah dalam bidang hadis yang terkumpul didiskripsikan, untuk kemudian dianalisa dan dicari kaitannya antara data sejarah dengan data pemikiran.
C. Biografi Mahmuud Abu Rayyah
Tidak banyak data yang tersedia tentang perjalanan hiduup Abu Rayyah pada masa kanak-kanak, akan tetapi yang dapat dikemukan adalah Abu Rayyah dalam usia yang dewasa. Dia adalah seoarang pemuda yang penuh semangat dalam mengkaji kegerahan yang sangat ketika ia membaca literature yang beredar dikalanga umat Islam. Dalam sebagaian keterangan, dijelaskan bahwa Mahmuud Abu Rayyah dilahirkan pada tahun 1889 M, dan wafat pada tahun 1970, tepatnya dia berusia 81 tahun.
Berdasarkan sumber yang berasal dari Juynboll yang merupakan hasil yang didapat dari wawancara dengan Abu Rayyah menyebutkan bahwa karir Abu Rayyah bermula dari kekagumannya terhadap Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Abu Rayyah adalah murid di Madrasah ad-Dakwah wa al-Irsyad lembaga dakwah Muslim yang didirikan oleh Ridha. Abu Rayyah juga mengikuti berbagai khusus disebuajh sekolah teologi didalam negari. Yang paling menarik dan mungkin pengaruh dari kedua tokoh ini adalah penolakannya terhadap taqlid, khususnya taqlid Mazhab.[7]
Dalam kajian ilmiahnya dia tidak mau terpengaruh kepada pemikiran yang telah mapan yang telah dilakukan oleh para seniornya. Sikap jumud para ulama atau sarjana yang ada pada masanya disebabkan tidak adanya imanjinasi atau anspirasi dalam diri mereka. Ia berusaha keluar dari kungkungan jerat taqlid yang berada dalam lingkukngan sekitarnya.
Tulisan-tulisan Abu Rayyah banyak diilhami dari keahliannya dalam bidang sastra, oleh karena itu, dalam sebagian hidupnya dicurahkan kepada bidang sastra. Dengan keehliannya ini, ia berusaha membedah dan menganalisa literatur Arab, khususnya berkaitan dengan hadis Nabi. Ketika ia menemukan hadis Nabi yang tidak berdasarkan pada kaedah dan citra rasa sastra, maka dia mempertanyakan dengan serius “apakah memang betul itu sabda kenabian”. Karena menurutnya, Sabda kenabian pasti mempunyai citra rasa yang tinggi dan mustahil tanpa makna, ataupun sia-sia.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah bahwa Abu Rayyah memberikan kritikan yang serius terhadap ulama-ulama al-Azhar seraya mengatakan bahwa ulama al-Azhar terkungkung kepada empat imam Mazhab. Mereka tidak mau melakukan kajian lagi terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dan terjadi pada umat Islam. Keadaan tersebut diperparah dengan adanya sikap tidak kritis terhadap setiap perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi. Keberanian Abu Rayyah ini, yang dalam perkembangannya mendapatkan kritikan yang tajam dikalangan ulama al-Azhar.
Ada sebagian sumber menyebutkan bahwa pemikiran Abu Rayyah banyak dipengaruhi oleh kaum orientalis[8], khususnya Ignaz Golziher. Pernyataan adalah merupakan kritikan yang diajukan oleh kebanyakan ulama hadis yang mempertahankan tradisi lama. Mereka menyatakan bahwa salah satu bentuk pemikiran yang merupakan produk Eropa adalah pengaruh kaum orientalis yang begitu dominan. Ketika Abu Rayyah ditanya tentang keterlibatannya dengan orientalis, sebagaimana dikutip Juynbool, ia mengaku tidak mengerti bahasa lain selain bahasa Arab. Karena karya Goldziher—muhammedanische studien, belum pernah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Demikan juga karyanya yang berjudul Vorlesugen, yang tersedia dalam bahasa Arab, tidak banyak memuat teori-teori tentang studi hadis.[9]
Dr. Mahmud Abu Rayyah yang menulis buku “Adhwa` ‘Ala As-Sunnah An-Nabawiyyah[10]”(Sorotan tentang Sunnah Nabi Muhammad). Dalam moqadimmahnya, ia mengatakan bahwa Sunnah Nabi memiliki kedudukan yang tinggi dan membutuhkan pemahaman dan perlakuaan yang istimewa. Para ulama dalam memahami hadis Nabi selalu mengunakan paradigma lama dan terkesan jumud(pasif dan tidak berubah sama sekali). Abu Rayyah tidak menyangkal nilai tinggi sebuah hadis sahih. Seandainya saja perkataan Nabi, tanpa distorsi atau perubahan, maka aka diperoleh yang bentuk yang masih ideal dan original. Dia menyatakan bahwa adanya kitab enam menunjukkan bahwa ada hadis yang tidak sahih yang tidak masuk seleksi[11].
Dalam buku ini Abu Rayyah membantah bahwa metoda menyelidiki dan belajar Hadith tak dapat dirobah. Para Ahli Hadis pada masa awal merumuskan metoda ini yang akhirnya membatasi ulama berikutnya untuk mengetahui sebagaimana ulama–ulama terdahulu mengetahui dan mendapatkan keilmuan yang dominan, baik berkaitan dengan sistem periwayatan ataupun kajian keilmuan. Mereka tidak memperhatikan apakah apa yang mereka pelajari dan dikaji itu benar atau salah dan tidak rasional21, atau layak. Lebih dari itu, dalam kitab tersebut juga disebutkan bahwa para ahli hadis tidak banyak memperhatikan kritik tektual, yakni kritik matan, apakah matan itu benar-benar layak atau tidak, bukan merupakan kreteria yang sah.
Karya yang keduanya berjudul“Qishshatu Al-Hadits Al-Muhammadi; Syaikh Al-Mudhirah” (Kisah Hadits Muhammad; Syaikh yang Membahayakan), Dia menyebutkan tentang keberadaan Abu Hurairah dalam berbagai aspek, termasuk banyaknya hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang sangat fantastik. Abu Rayyah berusaha mengkritisi terhadap riwayat dari Abu Hurairah yang banyak mengalami kejanggalan dalam pemahamannya. Ia mengatakan bahwa tidak mungkin hadis Nabi tidak mengunakan bahasa sastra ataupun memberikan makna yang menyalahi dari sabda kenabian.
Pada mulanya, Abu Rayyah ini termasuk seorang yang gigih membela Islam dan Sunnah Nabi. Dia pernah menulis sejumlah artikel di bebebapa media yang menunjukkan perhatiannya kepada umat Islam dan pembelaannya terhadap Sunnah. Bahkan, dia termasuk salah seorang yang mengkritik Taufiq Al-Hakim yang menyerukan penyatuan agama (wihdatul adyan). Pada sekitar tahun 1942 M, penyimpangan pemikirannya mulai tampak dalam satu tulisannya di majalah Al-Fath Al-Islamiyah. Dalam tulisannya tersebut, Abu Rayyah membela Al-Qur`an namun sembari merendahkan dan melecehkan Sunnah. Inilah awal perubahan pemikiran DR. Mahmud Abu Rayyah[12].
Tulisan-tulisan Abū Rayyah kontan dihujani kritik tajam dan dibantah keras oleh para ulama seperti Muhammad Abū Shuhbah, Muhammad as-Samāhī, Mushthafā as-Sibā‛ī, Sulaymān an-Nadwī, Muhibbuddīn al-Khathīb, ‛Abdu r-Razzāq Hamzah, ‛Abdu r-Rahmān ibn Yahyā al-Yamanī, Muhammad Abū Zahrah dan Muhammad ‛Ajjāj al-Khathīb
D. Konsep Adalah as-Sahabah

1. Pengertian Sahabat
‘Adalah secara etimologis berarti keadilan, kelurusan atau kejujuran.[13] Secara terminology ‘Adalah berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraanya.[14]
As Shahabah ( الصحابة ) secara terminologis berarti sahabat atau sahabat Nabi[15]. Adapun pengertian Sahabat menurut ulama’ hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah saw. Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya mengatakan di antara kaum muslimin yang pernah menyertai Nabi saw tahu pernah melihat beliau termasuk sahabat beliau[16]. Imam Ahmad menyebut Ahli badar termasuk sahabat, kemudian berkata: Manusia paling utama setelah mereka adalah sahabat-sahabat rasulullah saw, generasi dimana beliau diutus dikalangan mereka. Setiap orang yang pernah menyertai beliau selama satu tahun atau beberapa bulan atau sehari atau satu jam atau sekedar pernah melihat beliau termasuk sahabat. Ia memiliki status sahabat sesuai dengan kadar kesertaan yang dilakukannya, dan sebelumnya pernah bersama, mendengar dari dan memperhatikan beliau.[17]
Imam Ibnu hajar Al- Asqalani mempresentasikan ungkapan imam bukhari bahwa, penamaan sahabat nabi diperuntukkan bagi orang yang berteman dengan Nabi—bukan sekedar penamaan sahabat secara bahasa, yang dalam tradisinya sekedar menemani, akan tetapi juga disyaratkan orang yang melihat Nabi walau dari jarak jauh.[18]
Dengan demikian adalah as sahabat dapat diartikan moralitas yang tinggi bagi orang yang bertemu dengan Nabi dan mempunyai komitmen keislaman yang istimewa serta mengunakan intelektual yang kredibel dalam periwayatan hadits.
2. Dasar Normatif ‘Adalah as-Sahabah
Dalam pandangan Abu Rayyah, para sahabat mendapatkan posisi yang istimewa berdasarkan pada kredibilitas yang dimiliki. Jika seoarang sahabat tidak mempunyai kredibilitas yang tinggi, maka tempat yang istimewa bukan menjadi haknya. Menurutnya, kritik, penyelidikan dan penelitian terhadap perawi hadis dilakukan bukan pada level dibawah sahabat, akan tetapi pada setiap tingkatan. Sahabat Nabi tidak lepas dari proses penelitian dan kajian dalam sistem Jarh wa Ta`dil.
Ada beberapa bukti yang bisa dikemukan untuk menunjukan bahwa tidak semua sahabat adil, baik itu berdasarkan ayat al-Qur`an, hadis Nabi, ijma Semua merujuk pada pernyataan bahwa tidak adanya keadilan secara kolektif.
Imam al-Baghawii dan koleganya meriwayatkan dari Ibn. `Abbas mengatakan bahwa Rasulullah belum mengetahui orang-orang munafik sehingga turun Surah al-Bara`ah. Nabi hanya mengetahui sebagian sifat-sifat, sikap-sikap dan perkataan-perkataan mereka dalam beberapa surah yang diturunkan sebelum al-Bara`ah, yaitu surah al-Munafiqiin, al-ahzaab, an-Nisaa` al-Anfaal, al-Qitaal dan al-Hasyar. Didalan surah al-baraah dijelaskan dengan gamblang tentang varian-varian munafik. Varian-varian ini diambil dari peristiwa yang terjadi pada perang tabuuk[19].
Sedangkan dari Hadis Nabi juga menyebutkan para sahabat yang munafik yang terjadi pada masa Rasulullah dan setelahnya, antara lain:
حدثنا خلاد حدثنا مسعر عن حبيب بن أبي ثابت عن أبي الشعثاء عن حذيفة قال
[20]: إنما كان النفاق على عهد النبي صلى الله عليه وسلم فأما اليوم فإنما هو الكفر بعد الإيمان
“Imam Bukhari menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Khalaad, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`mas`ar dari habiib bin Abii Tsaabit dari Abii al-Sya`tsa` dari Hudzaifah, dia berkata: Sesungguhnya Orang-orang munafik telah ada pada masa Rasulullah saw., Adapun orang-orang munafik pada hari ini adalah kekufuran setelah iman”.
حدثنا مسلم بن إبراهيم حدثنا وهيب حدثنا عبد العزيز عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( ليردن علي ناس من أصحابي الحوض حتى عرفتهم اختلجوا دوني فأقول أصيحابي ؟ فيقول لا تدري ما أحدثوا بعدك[21] )
“Imam Bukhari menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Muslim bin Ibrahiim, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Wahiib, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Abdul Aziiz dari Ansat dari Nabi saw. bersabda:”Sungguh benar-benar akan mengirim Orang-orang dari Sahabatku atas namaku ke telaga sehingga Aku mengetahui mereka; mereka meninggalkan dekat bersamaku, maka Aku berkata Sahabatku? Maka Allah berseru, Engkau(Muhammad) tidak akan pernah tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu”.

حدثني محمد بن حاتم حدثنا عفان بن مسلم الصفار حدثنا وهيب قال سمعت عبدالعزيز بن صهيب يحدث قال حدثنا أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ليردن علي الحوض رجال ممن صاحبني حتى إذا رأيتهم ورفعوا إلي اختلجوا دوني فلأقولن أي رب أصيحابي أصيحابي فليقالن لي إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك [22]
“Imam Muslim menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Muhammad bin Haatim, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Affan bin Muslimas-Saffar, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Wahiib,dia berkata, aku telah mendengar `Abdul `Aziiz bin Suhaib bercerita, dia berkata, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` `Anas bin Maalik, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: ”Sungguh benar-benar akan mengirim Orang-orang yang menemaniku atas namaku ke telaga sehingga Aku mengetahui mereka; mereka meninggalkan dekat bersamaku, maka Aku berkata Sahabatku? Maka Allah berseru, Engkau(Muhammad) tidak akan pernah tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu”
Hadits-hadits di atas ataupun hadis yang lain yang mempunyai kemiripan makna, semuanya merujuk kepada tiada keseragaman sahabat dari segi integritasnya. Lebih lanjut, Abu Rayyah mengatakan bahwa konsep tentang `Adaalah as-Sahabah perlu dipertimbangkan kembali.
Adapun ijma’ dijelaskan oleh al-Muqbilii dalam kitab al-`Ilm as-Syaamikh fii Tafsiil al-Haq `Alaa al-‘Abaa wa al-masyayikh” sebagai berikut:” Maka sesungguhnya banyak dari ulama muhaqqiqin tidak mengambil sikap seperti mereka yaitu menganggap semua sahabat adil, mereka mengatakan seperti yang diungkapkan oleh Imam Muqbily bahwa sifat itu aqhlabiyah tidak bersifat umum dan boleh saja terjadi pada mereka apa yang terjadi pada selain mereka seperti salah dan lupa bahkan mendahulukan nafsu mereka sendiri. Mereka menguatkan pendapatnya berdasarkan bahwa sahabat adalah manusia dapat terjadi pada mereka perkara yang terjadi pada selain mereka yaitu sifat-sifat yang dikembalikan pada tabi’at manusia. Pemimpin mereka yang telah dipilih Allah (Muhammad SAW) “Allah lebih tahu saat menjadikan risalaha-Nya” telah berkata: “Sungguh aku hanyalah manusai bisa benar dan bisa saja salah”[23].

3. Kontroversi seputar ‘Adalah As Sahabah
Dalam persoalan `Adalah As Sahabah ternyata ada berbagai pendapat yang menarik untuk diperhatikan:
Dalam persoalan ‘Adalah as Sahabah ternyata ada berbagai pendapat yang menarik untuk diperhatikan:
a. Pertama, menurut jumhur ulama’ hadits, para sahabat itu semuanya adil, itu karena, mereka tidak perlu dikritik. Sia-sia dan kuwalat mengkritik sahabat nabi. Banyak alasan dikemukakan untuk menunjang nama baik sahabat karena ada ayat al Qur’an dan hadits nabi yang memberi isyarat untuk ini[24].
b. Kedua, kaum mu’tzailah berpendapat bahwa semua sahabat itu adil kecuali mereka yang terlibat perang shiffin[25].
c. Ketiga, sebagian kecil ulama’ berpendapat bahwa semua sahabat boleh diuji keadilannya. Kebanyakan mereka adalah ulama’ mutaakhir seperti, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Abu Rayyah dan Lainnya. Menurut mereka, sahabat itu masih manusia biasa yang boleh jadi alpa[26].
Dalam kitabnya Adwa’ ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah Abu Rayyah Menjelaskan bahwasannya pada saat ulama jumhur menganggap/ berpijak bahwa semua sahabat adil dan tidak memberikan teori jarh dan ta’dil pada mereka sama seperti mereka menerima perawi yang lain dan menganggap mereka mempunyai sifat ma’sum (terjaga) dari kesalahan lupa, maka adanya sahabat yang bertikai, sahabat yang munafik, sahabat yang fasik ataupun kesalahan-kesalahn yang lain seharusnya menjadi bahan pertimbangan. Sebagimana dikutip Abu Rayyah dari karya Imam al-Ghozali—al-Mustafaa dinyatakan bahwa prilaku sahabat layaknya prilaku selain sahabat dan mengharuskan untuk diperbincangkan[27].
Mahmmud Abu Rayyah berkenaan dengan integritas (âl-`Adaalah) sahabat, mengajukan pula Argumentasi tentang sebuah realita bahwa para sahabat berbeda derajat dan tingkat keilmuannya[28] satu sama yang lainnya, khulaf al-rasyidin, misalnya. Tentu hal ini akan erat berkaitan dengan tingkat kebenaran yang disampaikan satu sahabat yang memenuhi kriteria tertentu dibandingkan sahabat lainnya.
Selain itu, model periwayatan setiap sahabat berbeda tergantung seberapa besar intensitas masing-masing dalam bertemu Rasulullah Saw. Artinya adalah bahwa tidak setiap Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat dan dikodifikasikan dalam kitab Hadits benar-benar didengar langsung dari Rasulullah Saw, melainkan ada yang disampaikan hanya melalui sahabat satu dengan yang lain. Sehingga mereka yang tidak mendengarkan langsung dari Rasulullah Saw mengambil Hadits itu dari sahabat lain yang mendengarnya.
Realitas seperti ini akan menimbulkan problem pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat lain[29]. Misalnya saat `A’isyah mendengar bahwa Ibn Umar menyampaikan Hadits bahwa orang yang sudah mati akan terkena azab sebab tangis keluarganya, seketika `A’isyah mengatakan bahwa cerita itu bukan Hadits sebab bertentangan dengan ayat al-Qur'an[30]. `Adaalah para sahabat merupakan dasar dari kritik Hadits tradisional karena Adaalah setiap generasi perawi harus dibuktikan, dengan pengecualian para sahabat karena mereka telah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya‌. Namun pada akhirnya konsep `Adalaah kolektif para sahabat harus dibenturkan dengan beberapa pernyataan. Pertama, Hadits Nabi Muhammad Saw yang memperlihatkan bahwa beliau tidak sepenuhnya percaya kepada seluruh orang yang dapat disebut sahabat. Dalam sebuah Hadits beliau berkata:” Barangsiapa yang berbohong tentang aku, maka sengaja mengambil tempatnya di neraka”[31].‌Hadits ini tentu saja merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad SAW tahu adanya orang yang meyebarluaskan kebohongan seputar dirinya. Bukti kedua adalah konflik dan saling tuduh di antara para sahabat. `A’isyah dan Ibn `A’bbas diriwayatkan telah mengkritik Abu Hurairah; Umar mempertanyakan sebuah riwayat dari Fathimah binti Qays; `Umar juga diriwayatkan pernah menahan tiga sahabat untuk tetap di Madinah, untuk mencegah mereka menyebarluaskan Hadits.[32] Abu Rayyah menegaskan/menyimpulkan bahwa ada dua hal yang menyebabkan bencana pada umat Islam yaitu:
a. Memutlakkan adil sahabat
b. Percaya buta dengan kitab hadits yang memuat kebohongan dan maka kita tidak jauh dari kebenaran[33]
Selain alasan-alasan diatas, Mahmuud Abu Rayyah membuat klasifikasi sahabat-sahabat Nabi dalam berbagai corak yang didasarkan pada pemahamn terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Dalam ayat-ayat tersebut dikemukan bahwa diantara sahabat Nabi ada yang fasiq, ada yang munafik. Selain itu, dia juga mengunakan hadis nabi sebagai sebuah dasar untuk memperkuat argumentasinya tentang tidak adanya kolektifitas keadilan para sahabat.

E. Beberapa Sahabat Yang terindikasi Terkenah Tajrih
Menurut Mahmud Abu Rayyah Ada beberapa sahabat yang teridikasi negative dengan mmeriwayatkan beberapa hadis, diantaranya adalah:
1. Sahabat Wahab bin Munabbah
Abu Rayyah dan sejenisnya mengatakan bahwa Wahab bin Munabbah adalah seorang yang pendusta dan pembuat hadits maudhu'. Menurut Abu Rayyah bahwa para ahli sejarah menyatakan bahwa Wahb bin Munabbah adalah orang Persia Asli. Kemudian nenek moyangnya pindah ke Yaman dalam jumlah yang besar untuk selanjuutnya mereka berdomisili disana, sehingga mereka mengetahui tradisi Arab dengan system silsisah keterunan, dengan menyebut diri mereka dengan keturunan Persi, salah satu diantara mereka adalah Taawus bin Kaisan seeorang tabi`in yang terkemuka[34].
Nenek moyang Wahb bin Munabbah memeluk agama majusi pada awalnya tetapi ketika bergaul dengan orang-orang yahudi diYaman, mereka mengambil peradaban mereka dan mengikuti ajaran tersebut sehingga akhirnya mereka mengetahui hal yang berkaitan dengan agama Nasrani. Dengan demikian, Wahb bin Munabbah mengetahui tentang tradisi Yunani dan terbekali dengan ajaran-ajaran ahlul Kitab[35].
Para Sahabat Nabi banyak yang mengambil riwayat dari Wahb bin Munabbah, diantaranya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin `Amr, Ibn `Abbas, Jaabir bin Abdullah. Hampir semua kitab induk mengambil riwayat dari Wahb bin Munabbah, tidak terkecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim[36].
Sebenarnya persoalan yang banyak memjadi kritikan Abu Rayyah adalah terkait dengan riwayat isra`illiat yang dibawakan Wahb bin Munabbah yang dalam matnnya banyak mengandung kejanggalan dan keluarnya teks dari sabda kenabian.
2. Ka`ab al-Akhbar

Nama lengkap Ka`ab al-Akhbar adalah Ka'ab Ibn Mati' Al-Himyari. Selain Nama asli, ia juga mendapatkan nama julukan yaitu. Abu Ishaq. Dia berasal dari Negeri Yaman dengan bermargakan Dhu Ru'ayn atau juga dikenal dengan marga Dhu Al-Kila'a. Ia datang ke Medina pada masa pemerintahan `Umar bin Khattab. Ia tinggal di Medina sampai masa pemerintahan Utsman.
Ka'ab kemudian tercatat adalah seorang Yahudi yang sangat mengetahui Taurat. Ia banyak meriwayatkan keterangan-keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Perjanjaian Lama. Banyak sahabat-sahabt yang terkenal yang meriwayatkan hadis dari dia, diantarannya Abu Hurayrah, Abdullah Ibn ' Umar, Abdullah Ibn Amr Ibn Al-As, dan Mu'Awiyah Ibn Abi Sufyan, dari dia jugalah Umar kemudian sering meminta saran, nasehat dan ilmu. Ka'ab masuk Islam setelah Nabi saaw. wafat, yaitu pada zaman Abu Bakar dan Umar, kemudian Ka'ab datang ke Madinah. Banyak keanehan yang terjadi berkaitan dengan terlambatnya memeluk agama Islam[37].
Syihab Zuhri menyebutkan, "Orang yang mula-mula memberikan sebutan Faruq kepada Umar adalah ahlulkitab. Tak ada berita yang sampai ke kita mengindikasikan bahwa sebutan tersebut diberikan oleh Nabi. Gelar al-faruq dikutip dari perkataan Ka'ab al-Akhbar kepada Mu'awiyah, "Umar al-Faruq adalah gelar atau sebutan yang adala dalam Taurat."
Umar juga terkenal dalam sejarah sangat mendengar perkataan Ka'ab yang selalu melegitimasi perkataannya dengan "sabda Tuhan dan kitab Tuhan" yaitu Taurat. Seperti kasus, ketika Umar ingin bepergian ke Irak, Ka'ab mengatakan kepada Umar, "Jangan pergi ke Irak karena di Irak banyak jinnya, dan sembilan persepuluh ilmu hitam atau sihir juga ada di sana". Kejadian ini bersumber dari Saif Bin Umar, menyebutkan ketika terjadi wabah di Irak, Umar meminta para pembantunya untuk memberikan saran tentang berbagai kota. Ka'ab berkata seperti berikut ini tentang Irak dalam rangka menanggapi langkah Umar meminta saran[38].
Demikianlah sejarah manis khalifah Umar, salah satu khulafa ar-Rasyidin ini berjalan berjalan bersama "dongeng-dongeng" Ka'ab al-Akhbar si Yahudi. Ironisnya –seperti yang telah disinggung terdahulu- orang-orang Yahudi ini malah mendapat tempat di tengah kaum Muslim. Penerimaan pada kabar dan riwayat dari orang-orang yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya ini telah membawa bencana berkepanjangan bagi sejarah intelektualitas, kemanusian dan aqidah di dunia Islam[39].
Ka'ab al-Akhbar meninggal dunia pada 32 atau 33 H di kota Himsh. Pada saat itu sebuah makam yang berkubah tinggi dibangun untuknya di Mesir. Ka'ab al-Akhbar menjadi sumber andal dan terpercaya selama berabad-abad, sehingga ia banyak dijadikan rujukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir[40]
3. Abu Hurairah
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist Nabi saw., ia meriwayatkan hadist sebanyak 5.374 hadist.Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khibar, Rasulullah sendirilah yang memberi julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau kepadanya.[41]
Ia datang kepada Nabi saw di tahun yang ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar. Data ini diperjelas oleh Ibn Sa`ad dalam kitab at-Tabaqaat al-Kubraa yang menyatakan bahwa keturunan ad-dhaus—termasuk didalamnya Abu Hurairah-- mendatangi Nabi Muhammmad pada saat kampanye menentang Khaibar. Pada saat itu pula Nabi memerintahkan sahabat untuk membagikan harta rampasan perang kepada Abu Hurairah karena kemiskinan yang dialaminya, kemudian Abu Hurairah bergabung dengan kaum suffah[42].
Abu Rayyah menyatakan bahwa ketika Abu Hurairah berusaha mendekati Nabi, sebenarnya hanya ada satu misi penting yang dilakukannya, yaitu ingin mendapatkan makanan. Bahkan dalam bukunya"Syaikh al-Madhirah", ia secara tegas menyatakan bahwa Imam Bukhari meriwayatkan hadis yang menyebutkan bi–Syiba` bathnihi atau lisyiba` bathnihi[43]. Dengan analisa bahasanya, ia menunjukkan kata li mempunyai pengertian ta`lil yang berarti bahwa Abu Hurairah mendekati rasulullah karena motivasi matriil saja[44].
Selain kedekatannya dengan Nabi, Abu Rayyah menyatakan bahwa Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis, padahal sahabat yang lain tidak sebanyak apa yang telah diriwayatkan Abu Hurairah. Keraguan Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah disarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain;1)Abu Hurairah berada dekat dengan Nabi dalam waktu yang singkat; 2) riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa dia lebih banyak meriwayatkan hadis dibanding dengan sahabat yang lain—yaitu sekitar 5.374[45].
Keistimewaan Abu Hurairah dibanding sahabat Nabi yang lain, juga menjadi objek kajian Abu Rayyah. Ia mengatakan bahwa sangat tidak mungkin Abu Hurairah mempunyai kedudukan yang istimewa dibanding sahabat Nabi yang lain, ambillah sebuah contoh, Ali bin Abi Taalib, Abdullah bin `Umar. Abu Hurairah pernah menyatakan bahwa tidak ada sahabat Nabi yang meriwayatkan lebih banyak dari dia kecuali `Abdullah bin `Umar[46]. Tapi pada kenyataanya Abdullah hanya meriwayatkan hadis jauh lebih sedikit dibanding Abu Hurairah. Abu Rayyah menduga keras bahwa Abu Hurairah mungkin tidak berani meriwayatkan hadis sebanyak seperti yang diinginkannya, karena sahabat-sahabat besar masih hidup pada saat dia membuat pernyataan ini. Mereka mungkin tidak setuju dengan kegiatannya.
Pada masa Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, Abu Hurairah menjadi pegawai di Bahrain, karena banyak meriwayatkan hadist Umar bin Khaththab pernah menetangnya. Umar menyerang Abu Hurairah dengan cambuknya seraya mengatakan:”Engkau telah meriwayatkan sedemikian banyak hadis, mana mampu engkau berkata dusta tentang Nabi”.
Masih banyak lagi kecurigaan yang dirasakan oleh Abu Rayyah yang berkaitan dengan Abu Hurairah sebagai pembawa berita yang berasal dari Rasulullah[47]. Kecurigaan yang dilakukan Abu Rayyah semata-mata ingin mempertanyakan kembali tentang prinsip keadilan sahabat yang kolektif dengan mengunakan pendekatan yang objektif dan ilmiah.
F. Kritik intenal teks(matan) Abu Rayyah

Sebagimana dikatakan Mahmmud Abu Rayyah bahwa dikalangan ulama hadis hanya mempertimbangkan pesoalan sanad saja—sampai-sampai persoalan seperti dimasak terlalu lama hingga hamapir gosong. Akan tetapi, mereka kurang memperhatikan adanya kritik tekstual,yakni kritik matan, apakah benar matan hadis tersebuat berasal dari Rasulullah ataupun bukan. Berdasarkan kegelisahannya itu, dia menawarkan teori-teori yang berkaitan dengan kritik matan, yaitu:
1. Teori Komparasi tentang kebenaran teks

Berkaitan dengan teori yang pertama ini, Abu Rayyah berusaha mememperbandingkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lain yang mempunyai nilai lebih tinggi
حدثنا إسماعيل قال حدثني أخي عن ابن أبي ذئب عن سعيد المقبري عن أبي هريرة قال : حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وعاءين فأما أحدهما فبثثته وأما الآخر فلو بثثته قطع هذا البلعوم [48]
Imam Bukhari menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama Isma`il, dia berkata Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama Saudara laki-lakiku dari Ibn Abii Da’bii dari Sa`iid al-Maqbarii dari Abi Hurairah, ia berkata: Aku telah menghafal dua wadah(hadis), Adapun yang satu aku paparkan, jika aku paparkan yang lain, maka oaring akan memotong leherkan”.

Hadis ini sepintas bila dilihat adalah merupakan hadis yang menujukkan kepada kistimewaan Abu Hurairah, akan tetapi bila dilihat dengan suatu perbandingan sahabat yang lain, misalnya, as-Sabiqunnal awwalun, maka posisi Abu Hurairah akan menjadi tergesar dan berada dibawah level mereka. Hadis Diatas, bila dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh jama`ah imam hadis, maka ditemukan bahwa hadis tersebut mengalami kejanggalan.

حدثنا محمد بن سلام قال أخبرنا وكيع عن سفيان عن مطراف عن الشعبي عن أبي جحيفة قال: قلت لعلي هل عندكم كتاب ؟ قال لا إلا كتاب الله أو فهم أعطيه رجل مسلم أو ما في هذه الصحيفة . قال قلت فما في هذه الصحيفة ؟ قال العقل وفكاك الأسير ولا يقتل مسلم بكافر[49]
Imam Bukhari menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Muhammad bin Salam, dia berkata, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama Wakii` dari Sufyaan dan Matraaf dari asy-Sya`bii dari Abii Juhaifah, dia berkata; Aku berkata kepada Ali, adakah kamu mempunyai sebuah catatan(kitab)? Ali menjawab Tidak, aku hanya punya kitab Allah atau pengertian yang aku berikan kepada Orang Muslim, atau apa yang terdapat lembaran ini. Aku bertanya Apa yang ada dalam lembaran ini? Ali menjawab Aqal, Tawanan perang dan Larangan orang Muslim membunuh orang kafir.

2. Teori tentang keaslian(auntentik) sumber teks
Teori ini adalah sebuah teori untuk mendapatkan sebauh teks/matan hadis itu dari mana asal terjadi. Dalam beberapa hadis disitu ditemukan perawi yang bukan meriwayatkan hadis dari penutur awal, melainkan adanya pengakuan dan pelafadzan secara langsung dapat menyebutkan sumber aslinya.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو أسامة وعبدالله بن نمير وعلي بن مسهر عن عبيدالله بن عمر ح وحدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا محمد بن بشر حدثنا عبيدالله عن خبيب بن عبدالرحمن عن حفص بن عاصم عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم سيحان وجيحان والفرات والنيل كل من أنهار الجنة[50]
” Imam Muslim menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama` Abu Bakar bin Abii Syaibah, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Abuu 'Usaamah dan Abdullah bin Numair dan `Alii bin Mashar dari `Ubaidillah bin Umar hajib(haa` ), telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Muhammad bin `Abdillah bin Numair,t elah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Muhammad bin Basyar, telah meriwayatkan kepada kami denganari metode sama``Ubaidillah dari Khubaib bin `Abdurrahman dari Hafs dari `Aasim dari Abu Hurairah, Dia berkata:Telah bersabda Rasulullah saw.: Saihan, dan Jaihan, dan Furat, dan Nil semuanya adalah sungai dari sungai-sungai surga".

Setelah diadakan penelitian, Menurut Abu Rayyah, Hadis tersebut sebenarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ka`ab al-Akbar. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebenarnya bukan dari jalurnya, akan tetapi adalah berasal dari Ka`ab al-Akbar. Abu Rayyah mengatakan bahwa sebenarnya Abu Hurairah mengutip pendapat Ka`ab al-Akbar, akan tetapi dia tidak menyebutkan bahwa dia meriwayatkan darinya. Redaksi yang digunakan Ka`ab al-Akbar adalah:
حدثنا سعيد بن شرحبيل عن ليث عن يزيد بن أبي حبيب عن أبي الخير قال قال كعب : نهر النيل نهر العسل في الجنة ونهر دجلة نهر اللبن في الجنة ونهر الفرات نهر الخمر في الجنة ونهر سيحان نهر الماء في الجنة قال فأطفأ الله نورهن ليصيرهن الى الجنة[51]
"Nuruddin al-Haistamii menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Sua`id bin Syurhubail dari Laits dari Yazid bin Abii Hubaiib dari Abii al-Khair, dia berkata, Ka`ab al-Akbar menyatakan: Nil adalah sungai madu di surga, Sungai Dajlah sungai madu disurga, Furat sungai khamar di surga, saihaan sungai air disurga, Dia berkata: Maka Allah memilih cahaya sungai-sungai itu agar menjadi cahaya Surga"

3. Teori tentang isi teks

Teori ini sebenarnya adalah teori tentang kritik materi hadis yang disamapaikan. Tolak ukur yang digunakan adalah pakah hadis tersebut sesuai dengan al-Qur`an, apakah kandungannya menyalahi dari syari`at Islam yang murni, dan juga melihat apakah hadis tersebut dituturkan berdasarkan kisah isra`illiyat yang dibawa oleh orang-orang selain Islam, misalnya, Taurat(perjanjian lama)
سريج بن يونس وهارون بن عبدالله قالا حدثنا حجاج بن محمد قال قال ابن جريج أخبرني إسماعيل بن أمية عن أيوب بن خالد عن عبدالله بن رافع مولى أم سلمة عن أبي هريرة :قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بيدي فقال خلق الله عز وجل التربة يوم السبت وخلق فيها الجبال يوم الأحد وخلق الشجر يوم الاثنين وخلق المكروه يوم الثلاثاء وخلق النور يوم الأربعاء وبث فيها الدواب يوم الخميس وخلق آدم عليه السلام بعد العصر من يوم الجمعة في آخر الخلق في آخر ساعة من ساعات الجمعة فيما بين العصر إلى الليل[52]

Imam Muslim menyatakan, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Suraij bin Yunus dan Haaruun bin Abdillah, keduanya berkata, Telah meriwayatkan kepada kami dengan metode sama`Hajjaj bin Muhammad, dia berkata, Ibn. Juraij berkata, Telah meriwayatkan kepadaku dengan metode sama`Isma`iil bin ‘Amiyah dari khaalid bin Raafi dari Abii Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW mengambil tanganku, seraya berkata: Allah menciptakan Bumi pada hari Sabtu , dan menjadi didalam bumi itu gunung-gunung pada hari ahad, pohon-pohonan pada hari senin, tumbuh-tumbuhan pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menebarkan binatang-binatng diatas bumi pada hari kamis, menciptkan Adam pada senja hari Jum`at, dan akhir penciptan-Nya adalah berakhirnya masa dunia pada hari jum`at, yaitu antara waktu senja dan malam”.

Bila dilihat secara utuh, maka hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur`an yang menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari.Sebagaimana tersebut dalam al-Qur`an Surah Fushshilat ayat 9-12 .
* ö@è% öNä3§Yάr& tbrãàÿõ3tGs9 “Ï%©!$$Î/ t,n=y{ uÚö‘F{$# ’Îû Èû÷ütBöqtƒ tbqè=yèøgrBur ÿ¼ã&s! #YŠ#y‰Rr& 4 y7Ï9ºsŒ >u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÒÈ Ÿ@yèy_ur $pkŽÏù zÓÅ›ºuru‘ `ÏB $ygÏ%öqsù x8t»t/ur $pkŽÏù u‘£‰s%ur !$pkŽÏù $pksEºuqø%r& þ’Îû Ïpyèt/ö‘r& 5Q$­ƒr& [ä!#uqy™ tû,Î#ͬ!$¡¡=Ïj9 ÇÊÉÈ §NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }‘Édur ×b%s{ߊ tA$s)sù $olm; ÇÚö‘FÏ9ur $u‹ÏKø$# %·æöqsÛ ÷rr& $\döx. !$tGs9$s% $oY÷s?r& tûüÏèͬ!$sÛ ÇÊÊÈ £`ßg9ŸÒs)sù yìö7y™ ;N#uq»yJy™ ’Îû Èû÷ütBöqtƒ 4‘ym÷rr&ur ’Îû Èe@ä. >ä!$yJy™ $ydtøBr& 4 $¨Z­ƒy—ur uä!$yJ¡¡9$# $u‹÷R‘‰9$# yxŠÎ6»ÁyJÎ/ $ZàøÿÏmur 4 y7Ï9ºsŒ ㍃ωø)s? Í“ƒÍ“yèø9$# ÉOŠÎ=yèø9$# ÇÊËÈ
9. Katakanlah: "Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam".10. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.11. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".12. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.

Kedua, Hadis Abu Hurairah sebagaimana tersebut diatas adalah hadis yang berisi tentang ajaran-ajaran yang terdapat pada kitab perjanjian lama tentang teori penciptaan dengan berdasarkan hari-hari. Abu Rayyah menginginkan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam ajaran agama Islam tidak mengunakan kisah isra`illiat[53]. Karena al-Qur`an secara tegas menyatakan agar berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrni karena terjadinya permusuhan diantara mereka (al-Qur`an; Surah al-Maidah: 82).

G. Refleksi Terhadap Pemikiran Abu Rayyah
Sebenarnya ketika melihat pemikiran yang dilakukan oleh Mahmuud Abu Rayyah, kita melihat ada usaha yang konstruktif terhadap kajian keilmuan Islam yang selalu progresif dan dinamis. Terlepas dari setuju dan tidak setuju apa yang telah dilakukan Abu Rayyah, yang jelas ia telah memberikan kontribusi yang berharga dalam kajian pemikiran Islam, terutama pada kajian Hadis. Ia tidak mau bila kajian kajian Islam terhenti dan stagnan serta terkesan sudah kedaluwarsa. Ia menghendaki bahwa agama Islam dengan beberapa kajian keilmuan tetap eksis dalam peredaran zaman( Saalihul likulli zaman wa makan)
Selain itu, meminjam istilah Iqbal” principle of Movement(prinsip gerak), Abu Rayyah—sebagaimana yang dikatakan kepada Juynbool dalam wawacaranya—menyatakan bahwa prinsip jumud dan hanya puas terhadap produk budaya(muntaj as-Saqafii) membuat pemikiran terhadap kajian Islam menjadi tidak bernyawa. Dia dalam menkaji literatur Islam mendasarkan pada teori dan kajian-kajian ilmiah, sehingga terkesan bahwa teori yang dikemukakan dapat memberikan nuansa baru dalam pemikiran Islam terutama dalam kajian hadis.
Akan tetapi, perlu menjadi kajian yang serius bahwa dalam pengutipan literatur. Abu Rayyah terkesan tidak jujur dalam mengutip literatur yang berkaitan dengan pengkajian hadis. Terkadanmg dia dengan sengaja mengutip sumber yang tidak valid guna untuk kepentingan teori yang diajukan. Demikian juga, metode yang digunakan oleh Abu Rayyah terkesan bahwa dia mengkiblat metode Barat yang berusaha mengkaji Islam dengan mengunakan perangkat penafsiran mereka yang bersifat subyektif.
Akhirnya, apapun yang dilakukkaan Abu Rayyah, hanyalah sebagaii bentuk ekpresi yang perlu diteruskan agar kajian Islam menjadi bernyawa dan bermakna. Sehingga Nantinya tiada kesan bahwa pemikiran Islam tidak terhenti dalam satu titik, akan tetapi lebih kaya akan kajian dan nuasa keilmuan semakin bergairah.

DAFTAR PUSTAKA


Abdillah, Imâm al- Hâkim Abî Abdillah Muhammad ibn, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-hadîs . Kairo: Maktabah al-Mutanabî, [t.th.].
Ali, Attabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Al-Asqalanii, Ibn Hajar, Fathul Barri Syarah sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Bukharii, Imam , Sahih Bukhari. Beirut: al-Yamamah, 1987.
Ad-Daarimii,`Abdullah bin `Abdur Rahman Abuu Muhammad , Sunan ad-Daarimii, diberi notasi Fawaaz Ahmad Zamralii. Beirut: Dar al-Kutuub al-`Arabii, 1407H.
Ad-Dimasqy, Ibn Kastir, Ikhtisar Ulum al-Hadis.Beirut: Dar kutub al-Ilmiyyah, 1979.
Adz-Dzahabii, Muhammmd bin Ahmad bin Utsman Abu `Abdullah, Tadzkiratul al-Huffadz. Beirut: Dar al-Kutub, [t.th].
Al-Hajjaj, Muslim bin Abuu al-Husain al-Qusyairii an-Naisaburii, Sahih Muslim, diberi notasi Muhammad Fuad Abdul Baqii. Beirut: Daar al-Ihyaa at-Turast al-Arabii, [t.th].
Abu Hamiid, Muhammad bin Muhammad al-Ghozaalii, al-Mustasfaa Fii `Ilm al-Ushuul, dberi notasi dan catatan oleh Muhammad `Abd as-Salaam `Abd. As-Syaafii. Beirut: Daar al-Kutuub al-`Ilmiyyah, 1413H.
http://www.geocities.com/dataagama/AntiHadis.htm
http://www.mail-archive.com/palanta@minang.rantaunet.org/msg11012.htmlhttp://www.telagahikmah.org/main/cakrawala/006-1.htm.
Ismail, Syuhudil, Hadits Nabi Menurut Pembela pengingkar dan pemaslsunya. Jakarta: Gema Insani Pers, 1995.
--------, Syuhudi, Metodologi penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
itr, Nuruddin , Ulumul Hadis, terj Endang Soetari AD dan Mujiyo. Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1995.
Jubynbool, G.H.A. The Authenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt: Alih Bahasa, Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis Di Mesir(1890-1960) . Bandung: Mizan, 1969.
Al- Khattib, M. `Ajjaj, As-Sunnah qabla at-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
---------------, M. `Ajjaj, Ushul al-Hadis Ulumuuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Muqbilii, Saalih Mahdii, al-`Ilm as-Syaamikh fii Tafsiil al-Haq `Alaa al-‘Abaa wa al-masyayikh.Yaman: Dar al-Kutub, 1976.
Nu`aim, Abu, Hilyah Auliya`.Kairo: 1332-1388.
Rayyah, M. Abu , Adwa ’Ala as Sunnah al-Muhammadiyah . Beirut: Darul Ma’arif.
As-Siba`ii, Mustafa, as-Sunnah wa makanatuha fii Tasyrik al-Islamii: Alih bahasaDja`far Abd. Muchith, Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya.Bandung: Diponegoro, 1982.
Suriasumantri ,Jujun S. , Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Mastuhu & M.Deden Ridwan (ed) . Bandung: Penerbit Nuansa, 1998.
Asy-Syafi`i, Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs , ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir. Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979.
At- Tabaarii, Muhammad bin Jariir Abu Ja`far, Tarikh al-Umam wa al-Muluuk Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1407H.
Usamah, Al-Harist bin Abii, Bugyah al-Baahits `An Zawaa`id Musnad al-Harits, diberi notasi: Husain Ahmad Saalih al-Baakirii. Al-Madinah al-Munawwaroh: Markas Khidma as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1992.
Zuhri, Muh. Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana .
Az-Zuhrii,Muhammad bin Sa`ad bin Manba` Abu `Abdullah al-Basrii , At-Tabaaqah al-Kubraa. Beirut: Dar Saadir, [t.th].







[1] Imâm al- Hâkim Abî Abdillah Muhammad ibn Abdillah, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-hadîs ( Kairo: Maktabah al-Mutanabî, [t.th.]), hlm. 58-62. Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs as-Syâfi’î, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir(Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979), Juz. II, hlm. 369-371.

[2] Ada beberapa metode yang telah dipetakan oleh ulama hadis dalam sistem periwayatan hadis, dintaranya: 1)metode sama` ;2) Metode Qira`ah `ala as-Syaikh; 3) Metode Ijazah. Untuk informasi selengkapanya Baca, M. `Ajjaj al-Khattib, Ushul al-Hadis Ulumuuh wa Mustalahuh(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.248-256. Nuruddin `Itr, Ulumul Hadis, terj Endang Soetari AD dan Mujiyo(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1995), hlm.208.Ibn Kastir ad-Dimasqy, Ikhtisar Ulum al-Hadis(Beirut: Dar kutub al-Ilmiyyah, 1979), hlm 76.

[3] Ada beberapa indikasi yang menyatakan tentang tersebarnya hadis Nabi ke berbagai pelosok daerah: 1) Kesungguhan Rasulullah untuk mengembangkan dakwah dan menyebarluaskan agama Islam, maka langkah penyebaran hadis adalah merupakan sarananya; 2) Karakter dan undang-undang Islam yang baru yang menjadikan manusia mempertanyakan hukum-hukum yang terkandumg didalamnya, juga mempertanyakan tentang pembawa risalah serta sasaran-sasaran yang hendak dituju; 3) Kesungguhan sahabat-sahabat Nabi dalam menuntut ilmu, menghafalkanya, serta meyampaikannya. M. `Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah qabla at-Tadwin(Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm.68-69.
[4] Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari mengenai `Umar Ibn Khattab yang perna berkata: “Saya dengan tetangga saya, seorang Ansar, Bani Umaiyyah Ibn Zaid—yaitu suatu nama didataran tinggi disekitar Madinah tiap hari bergantian mengikuti Rasulullah. Apabila saya yang mendapat giliran, saya menyampaikan berita-berita tentang kejadian itu kepada tetangga saya yang mendapatkan giliran yang mengunjungi beliau, iapun melakukan itu Pula. Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Barri Syarah sahih al-Bukhari(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid I, hlm 98.
[5] Untuk lebih jelas terhadap pemahaman diatas, ada beberapa contoh ulama hadis yang berusaha menyelesaikan persoalan matan hadis dengan beberapa metode—sebagimana yang dikutip oleh syuhudi Ismail, diantaranya: Ibn Hazm(w. 452H=1063M) dan Qarafi (w.684H). Ibn Hazm menerapkan kaedah Al-istisna (pengecualian), sedang al-Qarafi menetapkam kaedah tarjih.Bagi Al-Qarafi, kaedah at-tarjih yang digunakan itu mungkin menghasilkan penyelesaian berupa an-nasik wal mansukh dan mungkin jama’. Pendapat Al-Qarafi tentang tarjih ini tidak sejalan dengan pemahaman ulama yang lain antara lain: Al-Iraqi (w. 806H) dan as-Suyuti(w. 911H). Syhudi Ismail, Metodologi penelitian Hadis Nabi(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.148-149. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela pengingkar dan pemaslsunya(Jakarta: Gema Insani Pers, 1995), hlm. 113.

[6] Jujun S. Suriasumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Mastuhu & M.Deden Ridwan (ed) (Bandung: Penerbit Nuansa, 1998), hlm.53.
[7] G.H.A. Jubynbool, The Authenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt: Alih Bahasa, Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis Di Mesir(1890-1960) (Bandung: Mizan, 1969), hlm. 59.
[8] Kebanyakan cendikiawan Islam yang menuntut di Eropa telah terpengaruh dengan ajaran Goldziher ini. Di antara murid-murid Goldziher termashyur dari Mesir ialah Dr Ali Hasan Abdul Kadir, Toha Hussin, Dr Ahmad Amin, Rasyad Khalifa, dan Dr Abu Rayyah. http://www.geocities.com/dataagama/AntiHadis.htm, diakses pada senin 24 N0vember 2008.
[9] Mahmuud Abu Rayyah, Loc. Cit.
[10] Dikalangan Ulama tradisional banyak yang memberikan kritikan terhadap karya Mahmuud Abu Rayyah pada karya yang Pertama. Mereka menyatakan bahwa telah terjadi kebohongan dan penyelewengan dalam buku ini, Syaikh Abdul Halim Mahmud mengatakan bahwa Mahmud Abu Rayyah adalah seorang pendusta dan penyeleweng perkataan-perkataan dari tempatnya. Dan, Syaikh Abdul Razzaq Hamzah menulis sebuah buku berjudul “Zhulumat Abi Rayyah Amama Adhwa` As-Sunnah Al-Muhammadiyyah” (Kesesatan-kesesatan Abu Rayyah di Hadapan Buku Adhwa` As-Sunnah Al-Muhammadiyyah) yang membantah buku Abu Rayyah ini. Syaikh Abdurrahman Al-Mu’allimi juga menulis buku bantahan terhadap Abu Rayyah, yang berjudul “Al-Anwar Al-Kasyifah Lima fi Kitab Adhwa` As-Sunnah Min Az-Zulal wa At-Tadhlil wa Al-Mujazafah” (Cahaya-cahaya Penyingkap Penyelewengan, Penyesatan, dan Omong Kosong yang Terdapat dalam Buku Adhwa` As-Sunnah).
[11] Kata Abu Rayyah: bayangkan, Imam Bukhari menyuling 2600an hadis yang dianggap valid dari 300 ribuan hadis. Apa yang bisa disimpulkan dari fakta ini? Kata Abu Rayyah: dengan rasio 300.000:2600an, kita bisa mengatakan bahwa hadis pada umumnya adalah palsu atau lemah. Yang valid hanyalah perkecualian saja. Tentu, kita berbicara mengenai era Imam Bukhari. Dengan kata lain, pada zaman itu, betapa pervasif dan luas sekali persebaran hadis-hadis palsu atau minimal lemah. Begitu luasnya persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah membuat semacam hukum: hadis yang palsu adalah “norm“, sementara hadis yang shahih adalah “exception“.

[12] Dalam buku “Adhwa` ‘Ala As-Sunnah An-Nabawiyyah,” Abu Rayyah mengatakan bahwa setelah turun ayat “Pada hari ini Aku sempurnakan agama-Ku... dst,” agama ini sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi selain Al-Qur`an. Lalu, Abu Rayyah banyak mengumbar kata-kata dusta yang dia nisbatkan pada Shahih Al-Bukhari dan dia katakan terdapat dalam Fath Al-Bari. Intinya, Abu Rayyah ingin mempengaruhi pembaca agar berpikiran bahwa kebanyakan hadits-hadits Nabi adalah israiliyat yang disadur dari buku-buku orang Yahudi dan Nasrani. Abu Rayyah juga menyebutkan sebuah riwayat yang dia katakan terdapat dalam Al-Bidayah wan Nihayah-nya Ibnu Katsir, tentang teguran Ibnu Umar kepada Ka’ab Al-Ahbar. Padahal, riwayat tersebut dia selewengkan dari teks aslinya.

[13] Attabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, hal.1277.
[14] M. Ajaj Al Khathib, Ushul al hadits, Hal.233
[15] Ibid., hal 1167
[16] Imam al-Muqbilii menyatakan bahwa Sahabat-sahabat yang masuk dalam kategori ulama adalah setiap orang yang melihat Nabi. Mereka memberikan istilah tentang sesuatu berdasarkan pada ketatapan akhir masa. Kemudian mereka menafsirkan al-Kitab dan al-Hadis dengan terminology mereka sendiri.Sahabat bukannya didalamnya berdasarkan pengertian syar`I, akan tetapi berdasarkan pada makna bahasa, demikian juga berkaitan dengan kata-kata yang tertuju pada keutaman-keutaman sahabat. Menurut Ahli Hadis tidak mengunakan istilah sebagaimana diatas, akan tetapi dengan mengunakan syarat tertentu, yaitu: Hendanya dia ditetapkan keislamannya dan mati dalam keadan Islam dan bukan mati dalam keadaan murtad.
[17] Ibid., hal 377
[18] M. Abu Rayyah, Adwa ’Ala as Sunnah al-Muhammadiyah (Beirut: Darul Ma’arif) hal 341
[19] Abu Rayyah menyebutkan varian-varian dari sahabat nabi berkisar 30. Jumlah ini adalah merupakan pemahaman dari Surah al-Bara`ah. Sedangkan karekter-karakter mereka secara untuh dapt dilacak dalam surah al-Munafiqiin, al-ahzaab, an-Nisaa` al-Anfaal, al-Qitaal dan al-Hasyar. Ibid., hlm.356-358.
[20] Imam Bukhari, Sahih Bukhari(Beirut: al-Yamamah, 1987), juz. VI, hlm. 2604.

[21] Ibid., Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz. V, hlm. 2406.

[22] Muslim bin al-Hajjaj Abuu al-Husain al-Qusyairii an-Naisaburii, Sahih Muslim, diberi notasi Muhammad Fuad Abdul Baqii( Beirut: Daar al-Ihyaa at-Turast al-Arabii, [t.th]), Juz. IV, hlm. 1800.
[23] Saalih Mahdii al-Muqbilii, al-`Ilm as-Syaamikh fii Tafsiil al-Haq `Alaa al-‘Abaa wa al-masyayikh(Yaman: Dar al-Kutub, 1976), hlm. 92. Dia adalah ulam yang berasal dari Yaman yang masuk dalam kategori mujtahid. Dia wafat pada tahun 1108H. Pada mulanya menganut madzhab Zaidiyyah, kemudian mendapatkan pencerahan dan kemudian ia beralih dari madzhabnya. Imam as-Syaukanii menyatakan bahwa al-Muqbilii termasuk pada mujtahid mutlak. Berbeda dengan al-Muqbilii, Ibnu ash-Shalah berkata: “Sungguh umat ini sepakat untuk menilai adil kepada seluruh sahabat, sehingga mereka yang terlibat dalam fitnah sekalipun. Demikian juga para ulama yang muktabar berijma’ yang sama lantaran praduga yang baik terhadap mereka, dan mengingat begitu banyak usaha-usaha terpuji yang telah dilakukan para sahabat. Hal ini seakan-akan Allah telah tentukan adanya ijma’ mengingat kedudukan mereka sebagai perantara syari’at.” Demikian juga ibn Abd Bar dalam kitab al-Isti`ab menyatakan:” “Tidak perlu kita membahas tentang kondisi mereka, lantaran adanya ijma’ ahli kebenaran dari umat Islam, yaitu ahlussunah wal-jama’ah akan keadilan seluruh sahabat.” Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi uluum al-hadiis: Alih Bahasa Mujiyo: Ulumul hadis( Bandung: Remaja Rosdakarya,1997), Cet. II, Juz. II, hlm.107-109



[24] As-Siba’i dalam pembelaanya terhadap jumhur mengatakan bahwa sahabat adalah orang yang telah menebus Rasulullah saw. Dengan jiwa dan hartanya. Untuk itu kepentingan islam mereka rela meninggalkan sanak kerabat mereka dan memadu kecintaan mereka kepada Tuhan dan rasul-Nya. Tidak mudah membayangkan bahwa sahabat berdusta atas nama Nabi. Apa lagi, setelah beredar luas sebuah hadits “ sesungguhnya berbohong atas nama aku tidak sama dengan berbohong atas nama siapapun yang lain. Maka barangsiapa dengan sengaja berbohong atas namaku, tempatnya adalah neraka, “ lebih lanjut al Siba’i mengatakan bahwa para sahabat itu bersifat pemberani menegaskan kebenaran, dihadapan pemimpinnya sekalipun”. Mustafa as-Siba`ii, as-Sunnah wa makanatuha fii Tasyrik al-Islamii: Alih bahasaDja`far Abd. Muchith, Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya(Bandung: Diponegoro, 1982), hlm. 98-99.
[25] Pendapat ini diyakini oleh washil ibn ‘Atha’ Abu al Huzail, Al Jahizh dan lain-lain. Kaum khawarij juga mengaku bahwa tidak semua sahabat itu ‘adil. Hanya sahabat yang sejalan dengan sikap sahabat yang sejalan dengan sikap politik mereka yang dipandang ‘adil. Begitu juga syi’ah, mereka hanya mengakui keadilan sahabat yang secara politis. Mereka dipandang tidak mengganggu keberadaan sayyidina ‘Ali ra. Sebagai pengganti Nabi (al washi).
[26] Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Hal. 129 – 132)
[27] Muhammad bin Muhammad al-Ghozaalii Abuu Haamid, al-Mustasfaa Fii `Ilm al-Ushuul, dberi notasi dan catatan oleh Muhammad `Abd as-Salaam `Abd. As-Syaafii(Beirut: Daar al-Kutuub al-`Ilmiyyah, 1413H), Cet.I, hlm. Berbeda dengan apa yang dikemukan Abu Rayyah, al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan sebagai berikut: “Seandainya tidak ada sebarang keterangan tentang mereka dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dijelaskan di atas, maka sifat dan kondisi yang mereka alami pun, seperti hijrah, jihad, pertolongan Al­lah, korban jiwa, harta, anak, saudara dan orang tua, kesetiaan pada agama, iman serta keyakinan, semua itu dapat dijadikan sebagai suatu indikasi atas keadilan, kebersihan, dan keutamaan mereka yang jauh melebihi para penta’dil dan pemberi tazkiyah yang datang setelah mereka buat selama-lamanya. Demikianlah pendapat seluruh ulama dan fuqaha yang dapat dipegangi ucapannya.
[28] Abu Rayyah, Op. Cit., hlm. 70.
[29] Abu Rayyah, Adwaa’…, Op. Cit., hlm. 74.
[30] QS; al-`An’am: 164.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبدالله بن نمير جميعا عن ابن بشير قال أبو بكر حدثنا محمد بن بشر العبدي عن عبيدالله بن عمر قال حدثنا نافع عن عبدالله أن حفصة بكت على عمر فقال مهلا يا بنية ألم تعلمي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه ؟ Aِbuu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami` as-Sahih(sahih Muslim([t.tp]: `Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1955), Juz. II, hlm. 637.
[31] ‘Ibid., Juz. I, hlm. 10.
[32] Abu Rayyah, `Adwaa’…, hlm.57.
[33] Ibid., hlm. 340.
[34] Ibid., hlm. 150.
[35]Muhammmd bin Ahmad bin Utsman Abu `Abdullah az-Dzahabii, Tadzkiratul al-Huffadz( Beirut: Dar al-Kutub, [t.th]), Jilid I, hlm. 100-101.
[36] Imam Bukhari meriwayatkan sebanyak tiga hadis dengan berbagai tema, Imam Muslim meriwayatkan lima hadis dengan variasi tema, Imam Abu Daawuud meriwayatkan enam hadis juga dalam tema yang bervarisi , Imam Tirizi meriwayatkan lima hadis dan yang terakhir Imam Nasa`i meriwayatkan dua hadis dalam tema yang berlainan.Maktabah Syaamilah, dengan pelacakan Wahb bin Munabbah.CD, Maktabah Syamilah, Edisi Pertama. Sebenarnya ketika dilacak ditemukan sejumlah 238 tempat dalam berbagai kitab-kitab yang berkaitan dengan matan hadis.
[37] Ada alasan yang oleh Abu Rayyah dianggap sebagai alasan yang bernilai politis. Disebutkan dalam bukunya` Adwaa`…., terlambatnya masuk Islam Ka`ab al-Al-Akhbar disebabkan karena alasan keluarga, yaitu Bapak Ka`ab adalah seorang yang suka menyalin kitab taurat, yang pada masa Nabi tulisanya belum selasai, Ka`ab berusaha untuk mendapatkan tulisan itu, dan kesempatan yang terbaik untuk masuk Islam dan ia mendapatkan kitab Taurat adalah pada masa pemerintahan `Umar, sehingga ia lakukan prosesi syahadat pada masa itu. Lihat, Abu Rayyah, `Adwaa, Op. Cit., hlm. 148.
[38]Muhammad bin Jariir at-Tabarii Abu Ja`far, Tarikh al-Umam wa al-Muluuk(Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1407H), Jilid. IV, hlm. 59-60.
[39] http://www.telagahikmah.org/main/cakrawala/006-1.htm. Ka'ab Al Akhbaar adalah dari golongan Tabi'in.Ulama jarh watta'dil (ulama yang mengetahui sejarah perawi hadits dari sisi keadilan dan kecacatannya), tidak menuduh ka'ab seorang yang membuat-buat hadits, dan ulama jumhur memberikan tanda "Tsiqqah"(dapatdipercaya).Oleh karena itu tidak ada disebutkan dalambuku-buku "Addu'afa' walmatrukiin"( perawi yang lemahdan ditinggalkan),tercantum nama beliau ini, namun tercantum didalam buku salah satu perawi yang dapatdipercaya, contohnya kitab " tadzkiratulhuffadz" olehal haafidz Addzahabi, begitupun Ibnu 'Asaaqir dalam bukunya tarikh Addamasq, Abu Nu'aim filhulyah, Ibnu Hajar fil Ishaabah wattahdziibuttahdziib(alhamdulillah. Semua ulama tersebut memasukkannyadalam golongan yang dapat dipercaya.Diriwayatkan dari Bukhari dengan sanadnya dariMu'awiyah dan beliau bercerita tentang suatu kaum dari Madinah tatkala berhaji masa kekhilafaannya dan menyebutkan tentang ka'ab Al Akhbar ia berkata : "Sesungguhnya Ka'ab termasuk salah seorang yang benar dari para muhadditsin dari ahli kitab sesungguhnyakami dulunya mengujinya salah seorang dari berdusta ". Demikianlah perkataan Mu'awiyah tentang ka'ab menyangka pertama sekali termasuk salah seorangberdusta, namun bukan termasuk yang membuat haditsmaudhu'(palsu). Ibnu Hibban mengatakan dalam bukunya Asstisqqaat : " yang dimaksud Mu'awiyyah adalah terkadang Ka'ab sering tersalah, dan itu bukan berartiia seorang yang pendusta.Kalau saja sebagaimana yang disangkakan oleh Aburayyah dan sejenisnya, tak akan mungkin para ulamamemasukkan Ka'ab didalam kategori perawi yang dapat dipercaya, dan tidak dimasukkan dalam para perawipendusta, atau yang ditinggalkan riwayatnya.Sementara Ibnu Jauziy mengatakan yang dimaksudkan oleh Mu'awiyah dari perkataannya adalah terkadang Ka'ab meriwayatkan dari ahli kitab yang mana riwayat-riwayattersebut adalah cerita yang dusta, sementara Ka'abhanya menyampaikan saja apa yang didengarnya dari ahlikitab, dan bukan sengaja membuat kedustaan. http://www.mail-archive.com/palanta@minang.rantaunet.org/msg11012.html
[40] Abu Nu`aim, Hilyah Auliya`(Kairo: 1332-1388), Jilid, hlm. 6.
[41]Ahmad bin `Alii bin Hajr Abu al-Fadhl al-Asqalaanii as-Syaafii, al-Isaabah fii Tamyiz as-Sahabah, diberi notasi `Alii Muhammad al-Bujaawii( Beirut: Dar-Al-Jaiil, 1412H), Jilid. IV, hlm. 316.

[42]Muhammad bin Sa`ad bin Manba` Abu `Abdullah al-Basrii az-Zuhrii, At-Tabaaqah al-Kubraa(Beirut: Dar Saadir, [t.th]), jilid.1 hlm. 255.
[43] Imam Bukhari, Sahih…, Op. Cit., Jilid V, hlm. 2071.
[44] Juynbool, Op. Cit., hlm. 96.
[45] Abu Rayyah, Adwaa'…, hlm. 194-202.
[46]`Abdullah bin `Abdur Rahman Abuu Muhammad ad-Daarimii, Sunan ad-Daarimii, diberi notasi Fawaaz Ahmad Zamralii( Beirut: Dar al-Kutuub al-`Arabii, 1407H), Jilid. 1, hlm 136.
[47] Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadis-hadis israiliyat, seperti Adam yang diciptakan seperti bentuk Allah, setan lari sambil kentut mendengar suara azan, Nabi Sulaiman yang mengancam akan membelah bayiyang diperebutkan dua orang ibu, Allah menaruh kakinyadi neraka, Nabi sulaiman as yang meniduri 70 wanitadalam semalam tapi hanya melahirkan seorang bayiseparuh manusia, Nabi yang membakar sarang semut karena digigit seekor semut. Nabi Isa akan turun membunuh babi, awan yang bicara, sapi dan serigalaberbicara bahasa Arab, Allah yang marah sekali dantidak akan pernah lebih marah lagi seperti itu, yangdiucapkan Adam karena dia melanggar perintah Allah.

[48] Imam Bukharii, Sahiih…, Op. Cit., Jilid. I, hlm.56.
[49] Ibid., hlm. Jilid.I ,hlm. 53
[50] Imam Muslim, Sahih Muslim…, Op. Cit., Jilid IV, hlm. 2183.
[51]Al-Harist bin Abii Usamah, Bugyah al-Baahits `An Zawaa`id Musnad al-Harits, diberi notasi: Husain Ahmad Saalih al-Baakirii(Al-Madinah al-Munawwaroh: Markas Khidma as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1992), Jilid II,hlm. 944. Dikalangan sunni memberikan komentar tentang hal ini, yaitu: Lafaznya yang benar adalah sebagai berikut (bukanseperti lafaz yang disebutkannya diatas, lihatlahbetapa dia memutar balikkan makna dan kata)."Saihaan, wajaihaan, walfuraatu wannil kullahaa min anhaaril jannah"( Saihan, dan Jaihan, dan Furat,danNilsemuanyaadalah sungai dari sungai-sungai surga".Sayang sekali, karena ketidak tahuan mereka akan maknanya, dan tidak mengetahui bahwa baik dalam AlQuran ataupun hadits banyak kata bermaknakan kiasan,atau majazi, bukan hakiki, yang sebenarnya sebagaimana yang disangkakan oleh sebahagian mereka, melihatsecara dzhahir ayat ataupun hadits, tanpa mengetahui penafsirannya dari ahli tafsir dan hadits.Perkataan diatas merupakan ketinggian sastra atau balaghah dalam bahasa Arab, ada yang namanyaperumpamaan, atau tasbiih. Lihatlah dalam AlQuran banyaksekaliperumpamaan manusia dengan anjinglah,nyamuklah, juga perkataan baik dengan pohon yangberakar kuat dan sebagainya.Sesungguhnya sungai-sungai diatas merupakan tashbih dari sungai-sungai yang ada disurga dari sifatnya, dan kebaikannya yang banyak memberikan manfaat kepada manusia.Dikatakan bahwa pada kalimat diatas ada yang dihadzafkan(dihilangkan, dalam bahasa Arab, Alqurapunsering hadzap ini sering terjadi), takdirnya adalah: "Min Anhaari ahlil Jannah, dari sungai ahli surga"., juga penafsiran hadits tersebut adalah sebagaitabsyiir(kabar gembira), kepada nabi Muhammadshallallahu'alaihi wasallam dan janji Allah yang manakelak akan memenangkan dan juga menampakkan agamaIslam disegala penjuru sampai kenegeri yang ada keempat sungai-sungai yang disebut didalam haditsdiatas juga negara lainnya. Lihatlah terbukti sudahagama islam sudah menyebar sampai ke negeri India.

[52] Ahmaad bin Hanbal Abu `Abdullah as-Syaibaanii, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal(Kairo: Muassatu Qurtubah, [t.th.]), Jilid. II, hlm. 327.
[53] Menurut Abu Rayyah, Para analisis yang konsisten, konsekwen dengantulisannya, para pengkritik yang terbuka matahatinya,tidakmengingkari bahwa banyak sekali kisah-kisahisrailiyyat yang masuk dalam agama Islam melalui ahlilkitab yang masuk Islam, sementara mereka ahli kitab yang sudah masuk Islam itu dengan niat baikmengatakannya, dan tidak kita pungkiri bahwa pengaruh jeleknya didalam kitab-kitab keilmuan dan pemikiranorang awam akan kisah israiliyyat itu, Adwaa, Op.Cit., hlm. 145-165. Akan tetpi, apa yang dilakukan Abu Rayyah banyak dikritik oleh ulama klasik . Imam Ibnu Attaimiyyah yang ahli dalam hadits hebat dalam fiqih serta dalam ilmu agamanyamembagi pemberitaan ahli kitab yang sudah masuk islam kepada tiga golongan, yaitu : 1) Apa-apa yang kita ketahui akan keabsahannya, ataukebenarannya dengan apa yang ada dalam kitab dansunnah asshahihah disaksikan oleh AlQuran, maka beritatersebut benar adanya dan dapat diterima; 2) Apa yang sudah kita ketahui kedustaannya karenamenyalahi dengan AlQuran dan assunnah asshahihah, maka ditolak periwayatan tersebut; 3) Apa yang didiamkan pemberitaannya, tidak kitaketahui kebenarannya, juga tidak kita ketahuikedustaannya. Maka tidak kita imani, tidak pula kitadustakan, dan boleh saja diceritakan. Murid Ibnu Attaymiyyah, Ibnu Katsir dalam tafsirnya (muqaddimah tafsir hal 46 cetakan salafiyah),mengatakan : " Cukuplah pada engkau apayang telah disebutkan oleh Al Hafidz Al kabiir Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari Syarah shahih Al Bukhari disaat menjelaskan hadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, ia berkata : "Ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibraaniyah,dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk orangIslam, maka Rasulullah shallallaahu'alaihi wasallmabersabda : " Janganlah kamu membenarkanahli kitab danjangan pula kamu dustakan, tetapi katakanlah " Kamiberiman dengan apa-apa yang diturunkan kepada kami danapa yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami, Tuhankamu satu ", Ibnu Hajar mengatakan :
Yaitu apabila ahli kitab memberitakan kepada kamu akan hal yang muhtamalan(bersifat kemungkinan, pada satusaat bisa jadi berita itubenar, dan bisa jadi dusta.Apabila kamu mendustakan mereka, bisa jadi berita itubenar, dan apabila kamu membenarkan mereka bisa jadi berita itu dusta maka kamu akan masuk dalam kesulitan). Imam Syafi'i rahimahullahu'anhu memperingatkan jelaslah bagi kita bahwa hukum berita dari israiliyyatitu apa-apa yang benar dalam syari'at kita merupakan kemudahan, dan barangsiapa mendustakannya merupakansikap berlebihan dan menutupi kebenaran.Mengatakan hadits shahihah dengan khurafat ahli kitabdan israiliyyat tidak ada hujjah yang benar selaindugaan jelek saja, bahkan sampai membuat-buat penipuanterhadap periwayatan,sementara AlQuran membenarkannya,yang mana kita tahu bahwa AlQuran tidak akan mungkinada padanya kebathilan baik sebelum ataupun sesudahnyadari sisi Allah semata.