Selasa, 16 Desember 2008

IJTIHAD IMAM TIRMIZI DALAM MENENTUKAN KRETERIA HADIS HASAN

A. Latar Belakang Masalah
Hadis dalam pengertian kebanyakan ulama hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan serta hal ikhwal Nabi[1] merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Mengingat kedudukannya yang tinggi itu, memberikan suatu indikasi bahwa hadis yang mempuyai kualitas tinggilah yang dapat dijadikan sebagai landasan kedua setelah al-Qur’an.
Berbeda dengan al-Qur’an yang dilihat dari segi periwayatannya ber-langsung secara mutâwatir, hadis Nabi dalam periwayatannya, sebagian ber-langsung secara mutâwatir[2] dan sebagian yang lain berlangsung secara âhâd[3]. Karenanya, hadis yang berkedudukan âhâd, para ulama’ berbeda pendapat; sebagian mengatakan qat`î wurûd, dan sebagian mengatakan sebagai zannî wurûd[4]. Terlepas dari dua pendapat ini, yang jelas hadis âhâd berbeda dengan al-Qur’an yang secara seluruhannya adalah qat`î wurûd. Untuk itu, hadis yang memiliki derajat âhâd, perlu diadakan penelitian.
Ulama hadis dalam mencermati hadis, baik itu hadis mutâwatir maupun hadis âhâd, telah menetapkan kaedah-kaedah untuk menentukan kualitas hadis Nabi. Pada masa awal--untuk mengatakan masa sebelum Imam Tirmizî--ulama’ hadis telah menetapkan kaedah-kaedah suatu hadis. Mereka dalam menghadapi hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi hanya mengunakan dua istilah alternatif, yaitu; maqbûl, sahîh (yang diterima) dan mardûd, da’îf / saqim (tidak diterima)[5].
Untuk Istilah tehnis sahîh atau maqbûl, ulama hadis memberikan kaedah-kaedah dan batasan-batasan. Imam Syâfi’î (w. 204) ketika membicarakan tentang khabar al-Khassas (hadis âhâd) memberikan beberapa poin penting yang mendukung akan keberadaan hadis yang dapat diterima. Inti dari pemikiran Imam Syâfi’î itu adalah adanya penekanan terhadap sanad dan metode periwayatan. Kreteria sanad yang dapat dijadikan sebagai hujjah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat saja, melainkan juga berkaitan dengan persambungan sanad hadis[6]. Demikian juga, Imam Bukhârî (w, 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H), juga memberikan ketentuan yang sama, walaupun diakui ketiganya mempunyai standarisasi yang berbeda. Yang jelas, prinsip umum mengenai hadis sahîh masing-masing telah memenuhi persyaratannya.[7]
Demikian juga, dengan istilah tehnis mardûd atau saqim, ulama hadis juga menetapkan kriterianya[8]. Hadis dengan kreteria ini, tidak dapat dijadikan sebagai sebuah argumentasi dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan akidah, muamalah, hukum halal-haram, nikah dan riqaq, walaupun tetap diakui ada sebagai ulama yang memperbolehkan menggunakannya dalam persoalan yang menyangkut keutamaan amal[9]. Terlepas dari semua itu, yang jelas bahwa hadis yang mempunyai kualitas mardûd, secara logis harus dipertanyakan kredibilitas perawi hadisnya.
Sementara itu, para ulama mencermati bahwasanya adanya konsep tentang hadis sahîh dengan hadis da’îf adalah merupakan produk pemikiran manusia (ijtihad manusia). Artinya, bahwa istilah sahîh dan da’îf tidak ditetapkan secara langsung konsepnya oleh Nabi. Hal ini membawa implikasi bahwa bisa jadi seorang perawi yang termasuk dalam jajaran periwayat hadis sahîh itu turun derajatnya kederajat da’îf dan mungkin juga seorang perawi yang da’îf bisa mendekati kepada perawi yang sahîh dengan didukung dengan sejumlah mutâbi’ dan syâhid yang menguatkan keberadaannya[10].
Dengan memahami bahwa garis pembatas antara hadis sahîh dan da’îf adalah hasil pemikiran manusia (ijtihad manusia), maka boleh saja pergesaran pemikiran antar lintas waktu, baik antara generasi yang satu dengan generasi yang lain, antara mujtahid yang satu dengan mujtahid yang lain, itu terjadi dan mengalami perubahan. Salah satu contoh adalah Imam Tirmizî (w.279H). Dalam hal ini, ia berusaha untuk mengelaborasi-kan kedalam istilah tehnis yang belum menjadi standar.

Sebagai seorang mujtahid dalam bingkai pemikiran hadis, ia mencermati bahwa diantara sahîh dan da’îf ada celah yang dapat dimasuki. Celah yang belum dibahas oleh ulama yang sebelumnya, yang menyangkut pada kondisi perawi yang hanya memiliki “intelektual” tidak terlalu kuat serta dalam hadis mereka adalah mudhtharib (perawi yang memiliki pertentangan antara sesamanya)[11]. Keberadaan para periwayat yang seperti itu, oleh ulama sebelumnya dimasukkan kedalam wilayah yang tidak dapat diterima hadisnya, sehingga hadis mereka secara otomatis menjadi tertolak(mardûd).
Imam Tirmizî--menurut penuturan Ibn. Taimiyyah (w. 728 H)--adalah salah seorang pakar hadis yang membuat suatu metode baru dalam kajian hadis. Ia telah berhasil memetakan kualitas sanad hadis menjadi tiga bagian, yaitu sahîh, hasan dan da’îf. Ibn. Taimiyyah menambahkan, bahwa pada masa Imam Ahmad ibn. Hanbal (w. 241H) dan ulama-ulama hadis yang sebelumnya hanya membagi hadis menjadi dua bagian sahîh dan da’îf.
Pada wilayah hadis da’îf, Imam Ahmad ibn. Hanbal membaginya kedalam dua bagian, yaitu hadis da’îf yang tidak boleh diamalkan kerena perawinya dicurigai berdusta atau banyak salahnya dan hadis da’îf yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena perawinya bukan perawi yang berdusta atau melakukan kesalahan, melainkan hanya kurang cermat[12].
Posisi hadis hasan yang ditawarkan oleh Imam Tirmizî pada prinsipnya adalah berada pada wilayah hadis da’îf yang dikemukan oleh Imam Ahmad, tepatnya pada bagian yang tersebut terakhir. Hadis da’îf pada wilayah yang kedua, oleh Imam Tirmizî diberi nama hadis hasan. Para perawi hadis yang berada dalam kualitas da’îf, oleh Imam Tirmizî diangkat kepada derajat hadis hasan dengan dukungan para mutâbi’( j. tawâbi’), syâhid (j. Syawâhid).
Sebagai rujukan dari hadis-hadis hasan, Imam Tirmizî menyusun sebuah kitab yang diberi nama Sunan at-Tirmizî atau juga di kenal dengan jâmi` as-sahîh. Hal ini bukan berarti bahwa didalam kitabnya, ia tidak menyantumkan hadis-hadis sahîh ataupun derajat hadis yang lainnya.
Secara spesifik, Imam Tirmizî memberikan batasan-batasan atau kaedah-kaedah kritik sanad yang ada keterkaitannya dengan definisi tentang hasan. Yang harus diketahui adalah bahwa apa yang dikemukan oleh Imam Tirmizî tentang hadis hasan berbeda dengan definisi yang didefinisikan oleh para ulama hadis pada masa berikutnya.
Kitab jâmi` as-sahîh ini tidak hanya menyangkut tentang istilah hasan, akan tetapi juga terdapat kombinasi dari istilah hasan, yaitu hasan+sahîh, hasan+ sahîh+garîb, hasan+ garîb ataupun istilah sahîh+garîb[13]. Imam Tirmizî tidak memberikan pengertian secara pasti apa yang dimaksud dengan beberapa istilah itu[14]. Yang nampak dalam kitab al-`Illalnya, ia hanya memberikan dua istilah, yaitu hasan dan garîb. Sedangkan pengertian yang ada dan tersusun dalam kitab-kitab hadis lebih mengarah kepada interpretasi atau penafsiran dari para penulisnya[15].

Dengan latar belakang seperti itu, maka penulis berusaha untuk membahas dalam bentuk tesis dengan melihat beberapa masalah yang diajukan dalam butir-butir berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang diteliti dalam pembahasan tentang klasifikasi kualitas hadis menurut Imam Tirmizî dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Ijtihad Imam Tirmizi terhadap klasikasi kualitas hadis dalam wacana pemikiran Islam?
2. Bagaimanakah Imam Tirmizî dalam menjelaskan Klasifikasi hadis, terutama yang berkaitan dengan hadis hasan?
3. Bagaimanakah Implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Imam Tirmizî dalam studi hadis?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Ulama’ hadis dalam meneliti hadis Nabi telah menetapkan kaedah-kaedahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kaedah-kaedah yang diterapkan, baik itu kaedah-kaedah yang diterapkan pada masa sebelum Imam Tirmizî atau pada masanya.
2. Imam Tirmizî--dalam bidang kajian hadis--adalah seorang pioner dalam memunculkan istilah hasan yang kemudian dijadikan sebagai istilah standar. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan informasi yang akurat dan valid tentang Imam Tirmizî terhadap metode baru ( kaedah baru) dalam wacana hadis.
3. Penelitian ini mencoba melihat kaedah-kaedah dalam sanad, bukan sekedar sebagai pengujian kualitas sanad hadis, akan tetapi sebagai karya ilmiah yang dalam peredaran sejarah telah memberikan sumbangan yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, terlebih dalam kajian hadis.
4. Walaupun tesis ini, hanya tertuju pada klasifikasi kualitas hadis dalam wacana Imam Tirmizî, akan tetapi tampaknya hasilnya akan berguna terhadap pemetaan wilayah, baik itu wilayah sahîh , hasan dan da’îf.
D. Metodologi Penelitian
1. Sumber penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (Library Research). Untuk mendapatkan data guna menyelesaikan tulisan ini, diadakan pengkajian dan penelitian terhadap buku-buku yang ada hubungan dengan masalah yang dibahas. Ada dua sumber data yang dapat dikumpulkan, yaitu:
a. Data Primer
Sesuai dengan bahasan yang dikaji, yaitu: “IJTIHAD IMAM TIRMIZÎ DALAM MENENTUKAN HADIS HASAN”, maka stressing dari penelitian ini tertuju pada karya monomental Imam Tirmizî “ Sunan Tirmizî” juga dikenal dengan “al-Jâmi’ as-sahîh”, terutama pada bagian yang terakhir yang berisi sebuah kitab yang berjudul kitab al-`Illal.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari buku-buku hadis yang ditulis oleh ulama hadis, terutama karya-karya yang ada hubungannya dengan Pembahasan yang dimaksud. Data-data yang menunjang itu, diharapkan nantinya mampu mem-bantu dalam menganalisa permasalah yang ada. Data-data penunjang ini ber-hubungan dengan dengan kritik rijâl dan al-jarh wa at-Ta’dîl.
2. Metode pendekatan dan analisis
Karena obyek studi adalah tentang kredibilitas seorang perawi hadis serta masalah-masalah yang ada keterkaitan dengannya, maka pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu hadis--terkhusus pada ilmu kritik hadis.Sedangkan untuk menganalisa terhadap data yang telah terkumpul maka digunakan metode historis-filosofis dan diskriptif-analitik[16].Artinya bahwa data-data sejarah dan data-data yang berkaitan dengan ide-ide, struktur-struktur fundamental (Fundamental Structure) dari pemikiran Imam Tirmizî dalam bidang hadis yang terkumpul didiskripsikan, untuk kemudian dianalisa dan dicari kaitannya antara data sejarah dengan data pemikiran.



E..Isi Penelitian

1. Klasifikasi Kualitas Hadis Dalam Pandangan Imam Tirmizi

Berpijak pada prinsip-prinsip umum tentang kaedah-kaedah dalam menentukan hadis, Imam Tirmizî menetapakan status hadis dengan caranya sendiri, walaupun tetap diakui masih berpijak pada guru-guru yang telah berkecimpung dalam dunia hadis. Secara umum, Imam Tirmizî dalam menentukan status hadis berpijak pada buku kecil yang terletak pada akhir kitab jaminya, yang ia beri nama dengan kitâb al-‘illal as-sagîr. Setidaknya kitab ini memuat kaedah secara umum tentang status hadis dilihat dari kualitas seorang rawi yang disertai dengan istilah-istilah teknis yang berkaitan dengan sanad hadis.
Klasifikasi hadis disini dimaksudkan untuk mengetahui derajat atau tingkatan hadis yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî, baik itu menyangkut tentang klasifikasi berdasarkan kualitas ataupun berdasarkan pada kuantitas rawi (namun disini penulis tidak membahas masalah klasifikasi hadis berdasarkan pada pada kuantitas rawi, akan tetapi lebih mengacu kepada klasifikasi berdasarkan pada kualitas rawi). Dengan aspek yang pertama, maka kualitas rawi dapat diketahui, apakah seorang rawi itu mempuyai status sahih dengan kredibilitas yang tinggi, atau hasan dengan karrekteristik yang ringan hafalanya ataupun da’îf dengan standar dibawa kedua status sebelumnya.
Dengan diketahui klasifikasi hadis dengan berdasarkan pada kualitas rawi, maka akan diketahui mana hadis-hadis yang berkategori maqbûl( dalam arti sahih dan hasan) dan mana hadis yang berkategori mardûd ( dalam arti da’îf), atau berkaitan dengan ma’mûl (diamalkan) dan gair ma’mûl (tidak diamalkan). Selain itu juga akan diketahui juga, mana hadis-hadis yang layak dijadikan hujjah, dan mana hadis-hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Untuk melihat dan mencermati kenyataan ini, maka dibawah ini akan kami jelaskan tentang klasifikasi hadis berdasar pada kualitas rawi.
a. Hadis sahîh menurut Imam Tirmizî
sahîh secara bahasa adalah lawan dari kata as-saqîm (jamak siqâm yang berarti sakit--sick, ill, ailing, skinny[17] dll) Sedangkan secara Istilah, ulama hadis sepakat, termasuk didalamnya Imam Tirmizî dengan apa yang secara eksplisit dikemukan oleh Imam Syâfi’î dalam kitab Risâlahnya. Walaupun Imam Tirmizî secara eksplisit tidak mengemuka-kan secara khusus tentang definisi sahih, akan tetapi sebagaimana dituturkan oleh Dr. Nuruddîn ‘Itr, Imam Tirmizî nampak condong kepada apa yang dikemukan Imam Syâfi’î[18].
Imam Syâfi`î dalam kitab Risâlahnya memberikan batasan-batasan tentang hadis sahih dengan berpijak pada persyaratan khabar khassas, atau khabar Âhâd. Batasan-batasan itu adalah; 1)dapat dipercaya pengalaman keagamaannya; 2) dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita; 3) memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan; 4) mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan pada lafalnya; 5) mampu meriwayatkan hadis secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan hadis secara makna; 6) terpelihara hafalannya, bila ia meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatannya, jika dia meriwayatkan dengan kitabnya;7) apabila hadis yang diriwayatkanya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadis tersebut tidak berbeda; dan 8) terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis). Sedangkan yang terakhir adalah rangkaian riwayatanya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai pada kepada Nabi[19].
Persyaratan yang dikemukan oleh kebanyakan Jumur ulama, adalah merupakan batasan yang telah diberikan oleh imam as-Syâfi’î. Ibn Salâh misalnya, ia memberikan pengertian tentang hadis sahih tidak lepas dari batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh imam Syâfi’î. Ibn Salâh dalam memberikan pengertian hadis sahih mengandung batasan sebagai berikut:
1) al-‘Adâlah. Dalam hal ini, Imam as-Syâfi’î.menjelaskan:” dapat dipercaya pengalaman keagamaannya;dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita”.
2) ad-dabt. Ini mempuyai persesuaian dengan perkataan Imam Syâfi’î:” memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan; mengetahui perubahan makna hadis bila terjadi perubahan pada lafalnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan hadis secara makna; terpelihara hafalannya, bila ia meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatannya, jika dia meriwayatkan dengan kitabnya”.
3) Al-Ittisâl. Dalam batasan Imam Syâfi’î termaktub:” rangkaian riwayatanya bersambung sampai kepada Nabi , atau dapat juga tidak sampai pada kepada Nabi”.
4) Tidak terdapat cacat yang sangat (al-‘Illah al-Qâdihah). Ini merupakan yang samar yang menentukan akan kesahihah dari hadis, karena pada kulit luarnya nampak tidak terjadi apapun. Dalam Ungkapan Imam as-Syâfi’î terdapat:” terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis)”. Karena hadis mudallas luarnya selamat, akan tetapi dalamnya terputus
5) Tidak ada kejanggalan-kejanggalan (Syuzûz). Batasan dalam per-kataan Imam Syâfi’î adalah:” apabila hadis yang diriwayatkanya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadis tersebut tidak berbeda”.[20]
Hadis apabila memenuhi lima persyaratan ini, maka hadis tersebut dinamakan dengan hadis sahih. Hadis sahih tidak dipersyaratkan memiliki banyak jalur periwayatan, akan tetapi hanya ditetapkan berdasarkan pada syarat-syarat yang telah disebutkan, meskipun periwayat hanya seoarang saja.
Demikian juga Imam Tirmizî meskipun tidak secara tegas menyatakan hal yang serinci ini, akan tetapi secara umum ia mengatakan persyaratan ini. Secara terpisah dalam kitabnya yang dikarang menyebutkan syarat-syarat seperti itu, misalanya;1) sanadnya bersambung; 2) siqât yang didalamnnya terdapat dua unsur, yaitu. Adâlah dan dabt 4) tidak Syaz dan tidak `illat ( bukan termasuk hadis Syaz dan meriwayatkannya bukan orang berada dibawahnya dalam bidang kredibilitasnya, minimal semisal dengannya)[21]
Yang jelas, Imam Tirmizî dalam menentukan hadis sahih tidak lepas dari pengaruh ulama yang menjadi gurunya. Akan tetapi bila melihat pengaruh yang terbesar dari guru-gurunya, maka Imam Bukhârî dan Imam Muslim[22] adalah guru yang banyak memberikan andil dalam wacana keilmuaannya. Sebagimana dialami oleh Imam Tirmizî, keduanya tidak secara tegas memberikan batasan dan definisi secara rinci tentang hadis sahih.
Yang perlu dikemukakan adalah bahwa bagaimanapun juga pengaruh ulama-ulama sebelumnya sangat berperan dalam menentukan kaedah-kaedah kesahihan sanad. Sebagimana dikemukan oleh Ahmad Muhammad Syâkir bahwa Imam Syâfi’îlah yang mula-mula menerang-kan secara jelas kaedah kesahihan sanad[23].Secara tegas dapat dinyata-kan bahwa langkah yang telah dilakukan oleh Imam Syâfi’î merupakan langkah seorang pioner yang berusaha merumuskan hadis dengan disertai metodologinya.
Dari penentuan status sanad ini pada tahab selanjutnya muncul konsep-konsep yang yang paling sahih, paling baik, paling lemah. Konsep-konsep tersebut merupakan ijtihad baik dalam mengemukakan ungkapan yang digunakan maupun eksistensi sanad itu sendiri, bahkan ada konsep tentang silsilah az-zahab (rantai emas) bagi sanad yang paling sahih
Imam Tirmizî dalam mengatakan hadis yang berkualitas sahih, dengan mengunakan juga.istilah Jayyid. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn. hajar al-Asqalânî (w.752 H) bahwa menurut para ahli hadis tidak ada perbedaan antara sahih dan al-jayyid. Hadis dengan mengunakan kata seperti ini, dapat ditemukan dalam kitab al-Jâmi` at-Tirmizî. Dalam pembahasan tentang at-tîb (kedokteran), ia menyatakan sebuah hadis dengan kualitas jayyid. Ia mengatakan bahwa hadis yang mengenai kedokteran mempuyai kualitas Jayyid hasan. Disamping itu, meskipun ulama masih memperdebatkan tentang penafsirannya, Imam Tirmizî mengunakan istilah sahih digabung dengan mengunakan istilah-istilah yang lain, misalanya; sahih +garîb, hasan+sahih, maupun dengan mengunakan istilah hasan +sahih+ garîb.
Adapun penyataan Imam Tirmizî yang secara langsung mengarah kepada istilah sahih, dalam berbagai tempat di kitab jâmi’nya banyak ditemukan. Salah satu contoh yang dapat dikemukan adalah hadis tentang durhaka kepada orang tua (`Uqûq al-Wâlidain).Secara lengkap dapat dicermati pada bagian dibawah ini:
حدثناقتيبه حدثنا اللبث بن سعد عن ابن الهاد عن سعد بن ابراهيم عن حميد بن عبد الرحمن عن عبد الله بن عمر قال قال رسول الله صلعم :"من الكبائر ان يشتم الرجل والديه قالوا: يا رسول الله وهل بشتم الرجل والديه؟قال: نعم, يسب ابا الرجل فيسب اباه, ويشتم امه فبشتم امه": هذا حديث صحيح[24]
(Telah memberitakan kepada kami Qutaibah, telah memberitahukan kepada kami al-lais ibn Sa`ad dari ibn. Al-Hâdi dari Sa`ad ibn Ibrâhîm dari Humaid ibn Abd. Ar-Rahmân dari Abdillah ibn Amr: ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:” Termasuk sebagian dari dosa besar adalah seorang yang mencela kedua orang tuanya”. Mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah adakah hal itu bisa terjadi? Nabi menjawab, ya. Yaitu Seseorang yang mencela ayah orang lain, kemudian ia kembali membalas mencaci ayahnya, dan seseoarang yang mencela ibu oarang lain, kemuadia orang lain kembali memabalas mencale ibunya” (H.R. Imam Tirmizî)

2. Hadis Hasan dalam Pandangan Imam Tirmizi

Hasan secara bahasa mempuyai pengertian yang dirindui nafsu dan yang disenangi. Sedangkan hasan secara etimologi Imam Tirmizî mempunyai pengertian:
كل حديث يروي لايكون في اسناده من يتهم بالكذب. ولا يكون الحديث شاذا, ويروي من غير وجه نحو ذلك"[25]
“setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang didalamnya tidak terdapat perawi yang tertuduh berdusta dan tidak pula syazz, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat”.
Uraian Imam Tirmizî ini bila dicermati dan diperhatikan terdapat tiga kriteria pokok tentang hadis hasan, yang ketiganya merupakan unsur-unsur yang membedakan antara kualitas hadis yang satu dengan yang lainnya, yang hasan dengan yang da`îf dan sahîh. Tiga kreteria itu adalah:
1). Pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh berdusta. Kriteria ini tidak memasukkan didalamnya para perawi yang berdusta.Yang termasauk dalam kriteria ini adalah perawi yang mempuyai daya ingat yang rendah[26], perawi yang disifati dengan salah dan keliru[27], hadis yang sanadnya terputus tetapi samar (hadis munqati`’)[28], atau hadis yang telah terjadi kerancauan karena bercampur dengan hadis lain atau setelah dicampurinya dengan perkataan yang lain[29], juga hadis seorang perawi yang muddalis yang meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an-‘anah (periwayatan dengan mengunakan banyak lafal ‘an)--karena ini mereka tidak dapat dituduh berdusta[30], juga perawi tidak dijelaskan dijelaskan al-jarh maupun at-ta’dîlnya, ataupun diperselisihkan al-jarh dan ta’dîlnya namun tidak dapat ditentukan antara keduanya.Yang juga masuk dalam kreteria hadis hasan, adalah perawi yang siqah, periwayat orang-orang yang jujur, akan tetapi tidak terlalu dabit. Perlu ditegaskan bahwa kategori siqah ini dalam hadis hasan tidak sehebat kategori siqah dalam hadis sahîh. Hal ini menunjukkan tingkatan yang lebih rendah akan hadis hasan, dibanding dengan derajat hadis sahîh.
2).Hadis tersebut tidak janggal (Syaz) Imam Tirmizî sebenarnya ingin menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi hasan harus tidak bertentangan dan selaras dengan perawi-perawi yang siqah dalam hadis yang sama, meskipun berbeda lafal (atau dengan kata lain riwayah bi al-Ma’nâ). Konsekwensi dari batasan ini adalah apabila hadis itu bertentangan dengan periwayat yang siqah, maka hadisnya ditolak(mardûd/da`îf)
3).Hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalur yang lain yang sederajat dengan hadis itu atau lebih tinggi tingkatannya. Dalam hal ini, terkesan bahwa Imam Tirmizî memberikan syarat dengan ta’adud ar-Râwî (berbilang-bilangnya rawi),[31] artinya bahwa hadis hasan harus diriwayatkan pula melalui sanad lain, baik satu atau lebih, dengan berprinsip pada persamaan derajat dengannya atau lebih kuat. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan satu dari dua kemungkinan, yaitu membuang yang lemah atau mengambil yang lebih kuat.
Melihat tiga kriteria yang yang telah ditetapkan oleh Imam Tirmizî, nampak, bahwa ia tidak memberikan batasan atas persam-bungan sanad. Boleh jadi, hadis-hadis yang memenuhi tiga kriteria itu, maka dapat dihukumi sebagai hadis hasan. Ambillah sebagai contoh adalah hadis munqati`[32]. Hadis munqati` bila ditinjau dari tiga kriteria yang telah ditetapkan, maka hadis ini dapat dikategorikan sebagai hadis hasan. Demikian juga mengenai seorang rawi yang mudallis yang tidak menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadis dengan samâ’,atau juga seorang rawi yang da’îf , akan tetapi keberadaanya masih dalam jajaran rawi yang diterima kehadirannya, masih dapat dikategorikan dalam hadis hasan. Yang jelas, menurut pandangan penulis, dua syarat terakhir itu harus dijadikan landasan berpijak, yaitu: hadisnya tidak janggal(Syaz) dan diriwayatkan pula melalui sanad yang lain yang sederajat atau lebih tinggi, baik dengan redaksi yang sama(bilafz) atau dengan maknanya saja(Bi al-Ma’nâ).
Yang terpenting dari pengertian yang dikemukan oleh Imam Tirmizî adalah berpusat pada definisi tentang hadis hasan bukan pada istilah-istilah yang lainnya. Istilah-istilah gabungan--nanti akan dijelaskan-yang digabungkan dengan istilah hasan tidak mendapatkan penjelasan secara pasti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Imam Tirmizî--sebagaimana penjelasan subhî sâlih--bahwa tidak dijelaskan-nya istilah-istilah itu dikarenakan bahwa istilah-istilah sudah difahami ulama hadis kala itu, demikian juga ia memberikan kemungkinan yang lain, bahwa istilah-istilah baru itu hanya sebagai tahab perkenalan saja atau karena dia sungguh tidak tahu tentang istilah hasan [33]. Istilah-istilah gabungan yang sudah terjelaskan sekarang adalah merupakan interpretasi dari ulama hadis, sedangkan Imam Tirmizî tidak memberikan penjelasan yang konkrit dan jelas.
Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, ta’rif(pengertian) hasan, semakin tersusun lebih sistematis, spesifik dan sedikit berbeda dengan pengertian yang diberikan Imam Tirmizî. Pengertian hasan pada masa berikutnya yang mempunyai batasan-batasn, yaitu sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh orang yang `âdil, juga kekuatan hafalan yang rendah (bila dibandingkan dengan rawi sahîh), tidak janggal (Syaz) dan tidak cacat(`Illat)[34]. Batasan-batasan seperti ini oleh para ulama diberi nama hadis hasan li zâtih. Sedangkan pengertian yang telah dikemukakan oleh Imam Tirmizî dengan batasan-batasannya dinamakan oleh para ulama sebagai hadis hasan ligairi.
3. Implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Imam Tirmizî dalam studi hadis
Sejak Imam Syâfi’î (w.204 H)--yang mendapat gelar nâsir as-Sunnah--menyatakan dan mendeklarasikan sunnah/ hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an,[35] secara otomatis kedudukan hadis menjadi sangat penting, bahkan dianggap sebagai teks-teks yang standar yang berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an dalam arti tibyan, baik itu ta’kid maupun tafsir.
Konsekwensi dari penyataan ini adalah, bahwa hanya hadis yang mempunyai derajat dan kualitas yang tinggi sajalah yang dapat dijadikan hujjah (atau dalam istilah ulama sebelum Imam Tirmizî adalah yang maqbûl atau sahih)
Persoalan yang muncul kemudian adalah, apakah hadis-hadis yang tidak mempuyai kualitas maqbûl tidak dapat dijadikan sebagai landasan hujjah dalam ajaran Islam, ataukah hadis-hadis dengan kualitas tidak maqbûl tidak mempunyai peran apapun dalam sumber ajaran Islam.? Lantas bagaimana status hadis yang telah dikemukan oleh Imam Tirmizî, status hasan misalnya, apakah juga tidak mempuyai peran atau tidak mempuyai kedudukan dalam sumber ajaran Islam.? Pertanyaan -pertanyaan ini, nampaknya tidak dapat dijawab secara serampangan karena hal ini menyangkut, kritik rijâl. Yang jelas, dalam persoalan-persoalan yang menyangkut akidah, hukum, muamalat, nikah , riqaq, memang harus ketat (tasyaddud), sedangkan yang menyangkut persoalan diluar itu dapat dipertimbangankan (tasâhul).
Untuk yang berkenaan dengan akidah, ulama berbeda pendapat tentang kehujahan hadis âhâd. Sebagian ulama menyatakan, hadis âhâd tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena hadis âhâd berstatus zannî al-Wûrûd. Alasannya, yang zannî tidak dapat dijadikan dalil .terhadap persoalan yang berkaitan dengan akidah (kenyakinan). Soal keyakinan harus berdasarkan dalil yang qat’î[36], baik wûrûd (subût) maupun dalâlahnya.
Sebagian pendapat lagi menyatakan bahwa hadis âhâd yang sahih dapat dijadikan hujah untuk masalah akidah. Ulama yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa hadis âhâd dapat saja menjadi qat’î al- wûrûd. Alasan yang diajukan cukup banyak, antara lain:
1. Sesuatu yang berstatus zannî mempuyai kemungkinan mengandung kesalahan. Hadis yang telah diteliti dengan cermat dan tenyata berkualitas sahih terhindar dari kesalahan. Karenanya, hadis yang berkualitas sahih, walaupun masuk dalam kategori âhâd, memiliki status qat’î al-wûrûd [37].
2. Nabi pernah mengutus sejumlah mubalig ke berbagai daerah. Jumlah mereka tidak mencapai ketegori mutâwatir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita yang berkategori mutâwatir, niscaya masyarakat tidak membenarkan menerima dakwah mubalig yang diutus Rasulullah[38]
3. `Umar ibn Khattâb pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika ia mendengar hadis Nabi yang disampaikan al-Bahâk ibn.Sufyân secara âhâd.[39].
Untuk upaya kompromi dan ihtiyât, dalam masalah akidah harus dibagi dua bagian, yaitu yang pokok dan cabang. Yang pokok harus berdasarkan yang qat’î, baik wûrûd maupun dalalahnya, sedangkan untuk yang cabang dapat juga hadis âhâd dengan kualitas sahih dijadikan hujah.
Adapun yang berkaitan dengan non-akidah, hadis sahih disepakti oleh ulama sebagai hujah. Untuk hadis hasan, ulama berbeda pendapat; sebagian pendapat menerima dan sebagian menolak. Yahyâ ibn Ma’in (w. 233H=848M) dan al-Bukhârî( w. 256H=870M) dapat digolongkan sebagai ulama yang menolak kehujahan hadis hasan. Dinyatakan demikian, karena kedua ulama itu menolak hadis da’îf, sedang hadis da’îf yang dibakukan pada masa mereka itu, sebagaimana dijelaskan oleh ibn Taimiyyah dimuka adalah kualitas asal dari hadis hasan dan hadis da’îf yang dibakukan pada masa Imam Tirmizî.
Kalau untuk hadis hasan dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai hujjah, maka untuk hadis da’îf, sebagai tingkat terakhir dari kualitas hadis, pada umumnya ulama menolaknya sebagai hujjah. Pendapat yang secara tegas menolak kehujjahan hadis da’îf, selain Yahyâ ibn Ma’in (w. 233H=848M) dan al-Bukhârî tersebut diatas adalah, ‘Alî ibn Hazm (w. 456H=1063M) dan Abû Bakr ibn ‘Arabî (w. 543H=1148M).
Terlepas dari hukum dari masing-masing kualitas hadis diatas, yang perlu dikemukakan adalah bahwa Imam Tirmizî telah memberikan sumbangan yang besar dalam pemikiran hadis, terlebih pengkayaan dan pengandaan dari tradisi-tradisi ulama hadis sebelumnya. Selain daripada itu, langkah yang dilakukan oleh Imam Tirmizî adalah merupakan psiko-terapi bagi kesadaran keislaman terhadap pemekaran sumber ajaran Islam--yang sebelumnya hanya terpaku pada dua hal saja, yaitu mutâwatir dan âhâd (dalam arti yang sahih sebagai landasan hukum). Kemudian, ia berusaha untuk menemukan sikap adil terhadap hadis sebagai sumber ajaran Islam, sehingga hadis-hadis yang menjadi standar bagi ulama sebelumnya, kemudian direformulasikan kedalam metodologi yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Implikasi dan konsekwensi dari pemikiran Imam Tirmizî terhadap hadis berkembang secara luas. Secara sederhana dapat dilihat tentang struktur fundamental tentang istilah-istilah tehnis yang belakangan muncul (untuk mengatakan masa sesudah Imam Tirmizî), seperti hasan lizâtih dan hasan ligairih, sahih li zâtih serta sahih ligairih. Istilah-istilah tehnis itu , menurut analisa penulis adalah konsekwensi dari pemikiran Imam Tirmizî tentang hadis hasan. Suatu pengandaian muncul dengan ungkapan: Adaikata Imam Tirmizî tidak memberikan istilah hasan dengan disertai konsepnya, mungkinkan akan terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dalam khazanah intelektual ? Bagimanapun juga, kemampuan yang telah dicurahkan oleh Imam Tirmizî membawa implikasi dan konsekwensi berpikir dan bertindak yang amat luas.
Setidaknya dengan mencontoh sejarah masa lampau, Imam Tirmizî sebenarnya telah memiliki program pengayaan budaya dengan keberaniannya mengakomodasikan budaya kritik hadis yang dahulunya hanya berputar pada persoalan maqbûl dan mardûd menjadi tiga kalsifikasi besar, yaitu; sahih, hasan dan da’îf.
Sebuah pergesaran paradigma (Shifting paradigm) dalam hal ini telah dilakukan dan bahkan telah dialami dikalangan para ulama hadis pada saat itu. Sebagaimana dikatakan Thomas S. Kuhn, bahwa sebuah pengetahuan atau kerangka keilmuan akan mengalamai suatu proses perubahan, ketika suatu pengetahuan itu ditemukan anomali-anomali (kejanggalan-kejanggalan), sehingga memungkinkan untuk adanya perubahan kepada arah yang lebih sempurna--Ia memberikan istilah dengan revolutionary science[40].
. Yang jelas, bahwa klasifikasi hadis yang berdasarkan kualitas perawi dilakukan Imam Tirmizî menjadi tiga bagian penting, yaitu: sahih, hasan dan da’îf. Usaha yang dilakukan oleh Imam Tirmizî berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya, ambillah sebagai contoh, Imam Bukhârî dan Imam Muslim. Keduanya hanya memberikan dua klasifikasi saja, yaitu menyangkut pada persoalan hadis sahih (maqbûl)dan «a’îf (mardûd). Persoalan selanjutnya adalah: apakah hadis yang mempuyai kualitas da’îf dapat terangkat kepada derajat yang lebih tinggi atau hadis yang dianggap sahih dapat turun derajat-nya kepada derajat yang dibawahnya, hasan misalnya?. Bila berpijak pada teori yang dikemukan oleh Imam Tirmizî, maka kemungkinan seperti itu akan terjadi. Kaedah Imam Tirmizî membawa perbedaan penting bagi kualitas hadis, baik itu berupa hadis sahih yang melalui jalur lain berubah menjadi ¥asan atau dari status da’îf didukung riwayat lain menjadi derajat hasan.
Imam Bukhârî dalam menentukan kualitas hadis sahih sangat ketat, yaitu seorang perawi yang memiliki kredebilitas tinggi, baik itu berkaitan dengan ka`âdilan, kedabtannya ataupun kesezamanan diantara periwayat hadis dalam satu rangkaian sanad. Hal semacam ini, juga dilakukan oleh Imam Muslim, untuk menetapkan hadis dengan kualitas sahih--walupun sedikit berbeda dalam persyaratannya, yaitu tidak disyaratkannya adanya pertemuan antara mereka. Yang penting antara mereka telah terbukti sezaman. Akan nampak jelas perbedaan, bila kita perhatikan dari skema dibawah ini:
Imam Tirmizî . Imam Muslim Imam Bukhârî






Dari tiga skema tersebut dapat dipahami bahwa ada tiga bentuk kaedah yang telah digunakan oleh ketiga imam tersebut. Imam Bukhârî masih melihat hadis dengan batasan dua klasifikasi dari peringkat yang teratas (perawai yang mempuyai kredibilitas yang tinggi) kemudian ke bawah. Sedangkan Imam Muslim dan Imam Tirmizî, juga berlainan pula dalam menetapkannya. Imam Muslim menetapkan kualitas sanad dari sanad hadis sahih yang terendah menuju kepada kualitas sanad hadis yang tertinggi. Bagi Imam Tirmizî, Kualitas sanad hadis yang telah dianggap tidak sahih oleh keduanya, diangkat kepada kualitas sanad yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Ia menta’dîl perawi-perawi itu dengan disertai dalil-dalil (qarinah-qarinah), syâhid serta Mutâbi’, sehingga keberadaan para rawi menjadi bergeser, yaitu dari kategori da’îf menjadi kategori ihtijâj (dapat dijadikan hujjah). Dalam hal ini dapat dipahami, bahwa istilah hasan yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî merupakan sebuah istilah bandingan dari hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Hadis yang mempuyai derajat ihtijâj yang tinggi dalam istilah Imam Tirmizî disebut dengan hasan+sahih. Sedangkan Hadis dengan derajat ihtijâj yang rendah(adnâ), maka ia sebut sebagai hasan. Hal ini dapat dilihat dari skema di bawah ini:


hasan sahih
dapat dijadikan
hasan hujjah (Yuhtajju bih)

hasan
Tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah (la yuhtajju bih)

Pengertian yang diberikan Imam Tirmizî terhadap hadis hasan ini berbeda dengan ulama sesudahnya. Ia dalam memberikan pengertian hasan dengan mengunakan kaedah yang longgar. Persambungan sanad dalam hal ini, tidak disyaratkan. Yang menjadi persyaratan adalah terhidar dari kejanggalan-kejanggalan (syuzuz) dan diriwayatkan melalui banyak jalur. Akan tetapi, ia masih mempunyai batas-batas yang ketat, yaitu batasan yang terendah, sebagimana dalam skema diatas.
F.. Kata Akhir
Sedikitnya ada lima kontribusi Imam Tirmizî dalam perkembangan hadis, yaitu: 1) pembagian kualitas hadis menjadi tiga bagian pokok, yang semula hanya dikenal dengan dua bagian saja, yaitu diterima atau ditolak; 2) penggunaan istilah hasan dalam berbagai tempat dalam kitabnya, sehingga menjadi terkenal dikalangan ahli hadis. Dengan demikian membawa implikasi kepada ahli hadis untuk memberikan spesifikasi tingkatan ini, yaitu sebagai tingkatan yang berada ditengah-tengah diantara dua tingkatan hadis sahih dan da’îf; 3) Imam Tirmizî berhasil memunculkan istilah gabungan yang beraneka ragam dalam khazanah hadis, sebagaimana terlihat dalam istilah yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî, seperti: hasan+ sahih, Hasan+ garîb dst.; 4) memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam kitab-kitab mustalah al-Hadîs. Hal ini membantu para ulama hadis, baik dalam istilah teknis maupun dalam segi riwayah dan ; 5) Imam Tirmizî adalah orang yang pertama menetapkan dan memberikan pengertian tentang berbagai macam istilah, seperti hasan+ garîb, sehingga andil dan saham yang besar bagi ulama hadis jelas terlihat dalam wacana hadis.

Akhirnya, inilah apa yeng telah disajikan oleh Imam Tirmizî sebagai seorang mujtahid dalam kritik hadis dan klasifikasi hadis. Sebuah usaha yang patut dihargai dalam wacana keilmuaan, kelebihan dan kekurangan merupakan sikap atau prilaku yang ada dalam pribadi manusia. Minimal apa yang telah dilakukakan oleh Imam Tirmizî memberikan kontribusi dalam kritik hadis, terlebih yang menyangkut konsepsi tentang hadis hasan. Perbedaan dalam menilai hadis kerena perbedaan sudut pandang dan ijtihad belaka.

























DAFTAR KEPUSTAKAAN

`Abdillah, Imâm al- Hâkim Abî Abdillah Muhammad, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-hadîs Kairo: Maktabah al-Mutanabî, [t.th.].

Abû Zahrah, Muhammad, As-Syâfi’î hayâtuhu wa Asruhu: Arâ’uhuh wa Fiqhuh. [t.tp], al-Dâr al-Fikr, [t.th].

Abû Zahrah, Muhammad, Usûl Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, [t.th.].

Adib sâlih, Muhammad , Lamahât fî usûl al-Hadîs Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1399H.

Al-Asqalanî, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar, Nazhah an-Nadr Syarh Nukhbah al-Fikr. Mesir: Matba’ah al-Istiqomah, 1368H.
--------------, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar, Had-y as-Sârî Muqaddimah fath al-Bârî. Beirut: Dâr al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, [t.th]., Juz. XIV
as-salâh, Abû ‘Amr ‘Usmân ib ‘Abd ar-Rahman, ‘Ulûm al-hadîs. al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972.

Al- Bahnasawî, Sâlim ‘Alî, as-Sunnah al-Muftara Alaiha. [t.tp], Dâr al-Bûhûs al-‘Ilmiyyah, 1979.

Al- hanbalî, Abd. Ar-Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim al-`Âlimî an-Najdî, Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah. Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th]. Juz I.

Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic; Arabic-English London: Macdonald&Evans LTD, 1980. Editor J. Milton Cowan, cet. ke-3

Al- Idlibî, Salâhuddîn ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn. Bairut: Dâr al-afaq al-Jadîdah, 1983.

Ibn. Kasîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ`îl, Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadîs, disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakîr dan diberi judul: al-Bâ’is al- hâsis fî Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadîs . Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th].

Al-Khattîb, Muhammad ‘Ajjaj, Usûl al-hadîs ‘Ulûmuh wa Mustalahuh.Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Al-Mubârakfurî, al-Imâm al–Hâfiz Abî`Alî Muhammad ibn ar–Rahîm, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwazî Syarh Jâmi’ at-Tirmizî. Beirut: Dâr al-Fikr. 1979.

An-Nawâwî, Abû Zakariyya Yahyâ, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî. Mesir: al-Matba’ah al-Misrîyyah, 1924. Juz. I.

Al-Qâdî, Al-Nu’mân `Abd. Al-Muta`âl, Al-hadîs as-Syarif Riwâyât wa Dirâyât. Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1975.

Al- Qayyim, Abû `Abdillah Muhammad ibn.Abî Bakr, I`lam al-Muwâqi`în . Beirut: Dâr al-Jili, 1973.

Ar-Rahîm, Hammâm Sa’îd, Al-Fikr al-Manhajî ‘Inda al-Muhaddisîn. [t.tp]; Kitab al-Ummah, 1408H.

S. Kuhn, Thomas, Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The Uneversity of Chicago Press, 1977.

sâlih , subhî, `Ulûm al-hadîs wa Mustalahuh. Beirut: Dar- lilmalayîn, 1988.
As- san`ânî, Al-Allâmah al-Bâri`wa al-hujjah al-Mutqin Muhammad ibn Ismâ`îl al-‘Amîr al-hasanî (w. 1182M), Taudîh al-Afkâr lima`ânî Tanqîh al-‘Anttâr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1947.

Ash. Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

As-Sibâ’î, Mustafâ , As-Sunnah wa makânatuh fî Tasyrî’ al-Islâmî [t.tp.], Dâr al- Qawwîyah, 1966.

Suriasumantri, Jujun S. , Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Mastuhu & M.Deden Ridwan (ed) . Bandung: Penerbit Nuansa, 1998.

As-Suyûti, Jalaluddîn Abd. Ar- Rahmân ibn Abî Bakr, Tadrîb ar-Râwî Syarh Taqrîb an-Nawâwî. Beirut: Dâr al-Ahyâ’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979., Juz. II

As-Syâfi’î, Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir. Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979. Juz. II.

Syaltût, Mahmûd , al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah. Kairo: Dâr al-Qalam, 1966.

As-Syaukanî, Muhammad ibn ‘Alî, Irsyâd al-Fûhûl. Surabaya: Salim ibn Sa’ad ibn Nabhan wa akhwatuhu Ahmad. t.th.

Syuhudi, M. Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.

At-Tahanawî, Ja`far Ahmad al-‘Usmânî , Qawâid fî ‘Ulûm al-Hadîs. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996.

At-Taimiyyah, Taqiyuddîn (w. 728H/1328M) dalam Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah . [t.tp]: Mathabi’ Dâr al-‘Arabîyyah, 1398H. Juz XVIII.

At-Tirmizî, Al-Imâm al-hâfiz Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Saurah, Sunan at-Tirmizî al-Jâmi’ as-sahîh.Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Juz. I








[1] Muhammad ‘Ajjâj al-Khattîb, ‘Usûl al-hadî£ ‘Ulûmuh wa Mustalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 27.
[2] Hadis Mutâwatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada tingkatan sanadnya, yang menurut tradisi, mustahil mereka sepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sebagian ulama ada yang menambahkan unsur penyaksian panca indera sebagai salah satu persyaratan hadis mutawatir tersebut. Lebih lanjut lihat, Jalaluddîn Abd. Ar- Rahmân ibn Abî Bakr as-Suyût î, Tadrîb ar-Râwî Syarh Taqrîb an-Nawâwî ( Beirut: Dâr al-Ahyâ’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979), Juz. II, hlm. 176.
[3] Hadis âhâd adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak mencapai derajat hadis mutawatir. Lihat, Mustafâ as-Sibâ’î, As-Sunnah wa makânatuh fî Tasyrî’ al-Islâmî ([t.tp.], Dâr al- Qawwîyah, 1966), hlm. 150.
[4] Salâhuddîn ibn Ahmad al-‘Idlibî, Manhaj Naqd al-Matn ( Bairut: Dâr al-afaq al-Jadîdah, 1983), hlm. 239-240.
[5]Imâm al- Hâkim Abî Abdillah Muhammad ibn Abdillah, Kitâb Ma’rifah ‘Ulûm al-hadîs ( Kairo: Maktabah al-Mutanabî, [t.th.]), hlm. 58-62.
[6] Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs as-Syâfi’î, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir(Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979), Juz. II, hlm. 369-371.

[7] Ada perbedaan yang prinsipil antara Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam menetapkan kualitas hadis, khususnya yang menyangkut hadis sahîh. Imam Bukhârî mengharuskan terjadi pertemuan antara para perawi dengan periwayat hadis yang terdekat dalam sanad, walaupun pertemuannya hanya satu kali saja. Dalam hal ini, Imam Bukhari tidak hanya mengharuskan terbuktinya kesezamanan saja, tetapi juga terjadi pertemuan antara mereka. Sedangkan Imam Muslim, pertemuan itu tidak harus dibuktikan; yang penting antara mereka telah terbukti kesezamanan. Lihat Ahmad ibn ‘Alî ibn ¦ajar al-Asqalanî, Had-y as-Sârî Muqaddimah fath al-Bârî ( Beirut: Dâr al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, [t.th]), Juz. XIV, hlm. 12 . Lihat juga, Muhyyiddîn Abû Zakariyya Yahya an-Nawawî, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawawî ( Mesir, al-Maktabah al-Misriyyah, 1942), Juz. I, hlm. 14-15.
[8] Al-Nu’mân `Abd. Al-Muta`âl al-Qâdî, Al-hadîs as-Syarif Riwâyât wa Dirâyât (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1975), hlm. 77-80. Lihat juga, Abû Zakariyya Yahyâ an-Nawâwî, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî (Mesir: al-Matba’ah al-Misrîyyah, 1924), Juz. I, hlm. 88.

[9] Abû `Abdillah Muhammad ibn.Abî Bakr ibn. Qayyim, I`lam al-Muwâqi`în (Beirut: Dâr al-Jili, 1973), Juz. I, hlm. 31.
[10] Hammâm Abd. ar-Rahîm Sa’îd, Al-Fikr al-Manhajî ‘Inda al-Muhaddisîn ([t.tp]; Kitab al-Ummah, 1408H.), hlm. 157. Mutâbi’(biasa juga disebut dengan istilah tâbi’ dengan jama’ tawâbi`’) adalah periwayat yang berstatus pendukung para periwayat yang bukan sahabat Nabi. Sedangkan pengertian Syâhid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawâhid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat.Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), hlm.52.
[11] Hadis Mudtarib ialah hadis yang berlawanan cara-cara periwayatnya, baik perawi-perawi cara itu, seorang atau banyak orang dengan syarat sebagiannya tidak lebih kuat dari sebagiaannya yang lain. M. Hasbi ash- Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits ( Jakar-ta: Bulan Bintang, 1987), Jilid I, hlm. 281.

[12] Abd. Ar-Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim al-`Âlimî an-Najdî al-hanbalî, Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah ( Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th]), Juz I, hlm. 251.

[13] Al-Imâm al-hâfiz Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Saurah at-Tirmizî, Sunan at-Tirmizî disebut juga al-Jâmi’ as-sahîh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), Juz. I, hlm. 7, 9, 10 dan 44 memuat istilah-istilah tersebut.

[14] Abû al-Fidâ’ Ismâ`îl Ibn. Kasîr, Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadî£, disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakîr dan diberi judul: al-Bâ’is al- hâsis fî Ikhtisâr ‘Ulûm al-hadîs (Beirut: Dâr al-Fikr, [t.th]), hlm.21-22.


[15] Ja`far Ahmad al-‘Usmânî at-Tahanawî, Qawâid fî ‘Ulûm al-Hadîs (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996) pada Notasi `Abd.al-Fattâh Abû Gunddah. hlm. 100-108.

[16] Jujun S. Suriasumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. Mastuhu & M.Deden Ridwan (ed) (Bandung: Penerbit Nuansa, 1998), hlm.53.

[17] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic; Arabic-English (London: Macdonald&Evans LTD, 1980), Editor J. Milton Cowan, cet. ke-3, hlm. 416.


[18] Nuruddîn `Itr, Imâm Tirmizî, op. cit., hlm.160.

[19] Abû ‘Abd. Allah Muhammad ibn Idrîs as-Syâfi’î, ar-Risâlah, naskah diteliti dan disyarkh oleh Ahmad Muhammad Syâkir(Kairo: Maktabah Dâr at-Turas, 1979), Juz. II, hlm. 369-371.
[20] Abû ‘Amr ‘U£mân ib ‘Abd ar-Rahman ibn as-salâh(selanjutnya ditulis dengan ibn as-salâh), ‘Ulûm al-hadîs (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), hlm. 10.
[21] Pernyataan ini, dapat didukung dengan argumentasi tentang kreteria hadis serta tingkatan-tingkatannya dalam kitab jâmi’. Salah satu persyaratan yang jelas digunakan oleh Imam Tirmizî dalam menetapkan hadis kualitas tertinggi adalah hadis yang dapat dipastikan ke-sahîh-an, yaitu sesuai dengan kreteria yang dipakai oleh Imam Bukhârî dan Imam Muslim. Ini Jelas bahwa apa yang dimaksud oleh Imam Tirmizî dengan hadis sahîh tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukan oleh kedua Imam tersebut. Lihat al-Imâm al–¦âfi§ Abî`Alî Muhammad ibn ar–Rahîm al–Mubârakfurî, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwazî Syarh Jâmi’ at-Tirmizî ( Beirut: Dâr al-Fikr. 1979), jilid I, hlm. 362.
[22] Menurut hasil penelitian ulama, dalam menentukan hadis dengan kualitas sahih,, Imam Bukhârî dan Imam Muslim memberikan persyatan-persyaratan sebagai berikut: 1) rangkaian periwayat dalam sanad hadis harus bersambung mulai dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir;2) para periwayat dalam sanad hadis haruslah orang-orang yang siqât, dalam arti dâbt dan ‘Âdil;3) hadis itu terhindar dari cacat(‘Illat) dan kejanggalan (Syuzûz ); dan 4) para periwayat yang terdekat harus sezaman. Lihat Ahmad ibn ‘Alî ibn ¦ajar al-Asqalânî, Had-y as-Sârî Muqaddimah fath al-Bârî ( Beirut: Dâr al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, [t.th]), Juz. XIV, hlm. 8-10. Lihat juga, Muhyyiddîn Abû Zakariyya Yahya an-Nawawî, sahîh Muslim bi Syarh an-Nawawî ( Mesir, al-Maktabah al-Misriyyah, 1942), Juz. I, hlm. 15,50 dan 60.

[23] Ahmad Muhammad Syâkir, op.cit., hlm. 369.
[24] at-Tirmizî, al-Jâmi` as-sahîh. Op.cit. Jilid. III, hlm.208.

[26] Salah satu contoh dari hadis hasan dengan perawi yang bercirikan buruk daya hafalannya adalah; hadis yang diriwayatkan melalui jalur Syu`bah dari (s. ‘an)`Âsim ibn `Ubaidillah dari(s. `an) `Abd. Allah ibn `Âmir ibn Rabî`ah dari Ayahnya, berkata: Sesungguhnya seorang perempuan dari bani Farâzah menikah dengan maskawin dua sandal, maka Rasulullah bertanya: Adakah engkau rela menganti jiwamu dan hartamu dengan maskawin dua sandal” Perempuan tadi menjawab: Ya (mau). Imam Tirmizî mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan. Dalam jalur yang lain diriwayatkan melalui; Abû Hurairah, `A’isyah dan Abî hadrad serta jama’ah selain mereka juga meriwayatkannya. Akan tetapi bila dilihat dari kredibilitas ¡im ibn `Ubaidillah, Jumhur ulama telah men«a’îfkan dan mereka memberikan sifat kepadanya dengan buruk hafalannya(sû’ al-Hif§), Ibn Uyainah merasa tidak pernah meriwayatkan atas Syu’bah riwayat itu. Dalam hal ini Imam Tirmizî memberikan kualitas hasan dikerenakan adanya riwayat lain yang mendukung. Lihat, Sunan Tirmizî , op.cit, Jilid. II, hlm. 290.
[27] Demikian juga,periwayat hadis daif yang yang disifati dengan kesalahan dan kekeliruan dapat dicermati dalam contoh ini. Hadis yang dikeluarkan melalui jalur `Îsâ ibn Yûnus dari Mujâlid ibn Abî Waddâk dari (s. `an)Abî Sa’îd , berkata: Kami mempuyai khamr untuk anak yatim, ketika surat al-Mâ’idah turun, maka saya bertanya kepada Rasulullah saw, tentang hal tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: tanamlah khamr itu”. Imam Tirmizî mengatakan hadis ini adalah hadis hasan Akan tetapi bila dilihat dari kredibilitas dari Mujâlid ibn Abî Waddâk didapati bahwa kebanyakan ulama menda`îfkan dan mensifati dengan kesalahan dan kekeliruhan( al-Galad wa al-Kha¯â’). Dinamakannya hadis hasan kerena adanya perawi dari jalur yang lain yang berasal dari Rasulullah melalui jalur ‘Anas ibn Mâlik. Lihat Sunan Tirmizî , ibid., Jilid, III, hlm., 368.
[28] Sebagian lagi dari contoh hadis hasan mempuyai ciri sanadnya terputus dengan samar adalah; hadis yang diriwayatkan melalui jalur `Amr ibn Marrah dari (s. `an) Abî al-Bakhtarrî dari(s. `an) `Ali r.a., berkata: Sesungguhnya Nabi saw. berkata kepada `Umar tentang al-`Abbas r.a.”sesungguhnya seoarang paman adalah saudara kandung ayahnya, dan `Umar berkata kepada Nabi untuk mengambil zakatnya”. Imam Tirmizî mengatakan bahwa hadis itu adalah hasan. Akan tetapi, bila melihat indentitasnya, bahwa ia sebenarnya bernama Sa`îd ibn Fairûz dan ia juga tidak pernah mendengar dari `Alî r.a., demikian juga dalam rangkaian sanadnya adalah terputus. Disifatinya dengan hasan kerena ada beberapa Syahîd yang terkenal, yaitu hadis yang melalui jalur Buraidah dan jalur yang lainnya. Lihat, Sunan Tirmizi, ibid., Jilid. V, hlm. 319.
[29] Contoh lain tentang hadis hasan adalah; riwayat dari seorang rawi yang mendengar dari perawi lain yang telah mencampuri dengan hadisnya. Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Yazîd ibn Harûn dari(s.`an) al-Mas`ûdî dari(s.`an) Ziyâd ibn `Iâqah, kemudian ia berkata: Salat nbersama kami al-Mugîrah ibn Syu`bah, maka tatkala sahat telah mendapatkan dua rakaat , ia berdiri dan tidak duduk untuk “tahiyyad”, Maka seseorang yang berada dibelakangnya membaca tasbih, ia memberikan isyarat kepada mereka untuk berdiri. Tatkala ia menyelesaikan hitungan rakaat shalat sebelum ia mengucapakan salam dan ia sujud dengan dua sujud sahwi , kemudia n ia berkata: Demikianlah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw”. Imam Tirmizî menyatakan ini sebagai hadis hasan. Bila ditinjau lebih seksama dapat dilihat bahwa al- Mas`ûdî dengan asal nama Abd. Ar-Rahmân, ia disifati dengan al-Ikhtilâd, karena ia mencampur hadis yang didengar dari Yazîd. Hadis ini Hadis ini disifati dengan hasan karena datangnya jalur lain yang memperkuat keberadaannya. Lihat, Sunan Tirmizi, ibid., hlm. 228.
[30] Al-Allâmah al-Bâri`wa al-hujjah al-Mutqin Muhammad ibn Ismâ`îl al-‘Amîr al-hasanî as-san`ânî (w. 1182M), Taudîh al-Afkâr lima`ânî Tanqîh al-‘Anttâr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1947), hlm. 163. Salah satu contoh yang juga termasuk dalam kasus hadis hasan adalah; sebuah hadis yang diriwayatkan melalau jalur Yahyâ ibn Sa`îd dari (s. `an) al-Musannâ ibn Sa`îd dari (s. `an) Qatâdah dari (s. `an)`Abdullah ibn Buraidah dari(s. `an) Ayahnya dari Rasulullah saw. bawasanya Rasul berkata:” Orang mukmin meninggal dengan disertai keringat yang berada didahinya”. Imam Tirmizî mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan. Akan tetapi menurut sebagian Ahl al-`ilm mengatakan bahwa Qatâdah tidak pernah mendengar dari `Abdullah ibn Buraidah. Selain itu Qatâdah adalah seoarang muddalis yang dikenal ketaddalisanya, demikian juga riwayat yang digunakan mengunakan tahammul wa ‘adâ dengan bentuk `an (hadis Mu`an`an). Dihukuminya sebagai hadis hasan kerena adanya beberapa syâhid, yaitu dari jalur hadis Abdullah ibn Mas`ûd dan jalur yang lainnya. Lihat sunan Tirmizî, op.cit., Jilid. II, hlm. 227.
[31] ta’adud ar-râwî atau jalur periwayatan sanad yang beraneka ragam, baik satu atau lebih dengan batasan yang sederajat, ditandai dengan adanya tâbi’(j. tawâbi’) dan syâhid (j. Syawâhid). Adanya jalur-jalur yang lain ini mempuyai manfaat untuk mengetahui kesepakatan para perawi apakah kesepakatannya itu terjadi pada lafal dan makna atau terjadi pada makna saja. Selain itu, peranan aneka jalur akan meningkatkan kualitas hadis kepada jenjang yang lebih tinggi.

[32] Dalam beberapa tempat dalam kitab al-`illal, hadis munqati’ ini sering diidentikkan dengan hadis mursal. Hadis mursal adalah hadis yang diriwayatkan tabi’in dari Rasulullah tanpa menyebutkan nama perawi yang sebelumnya, yaitu sahabat Nabi. Selain Imam Tirmizî ulama hadis juga ada mengunakan istilah mursal dengan makna munqati`. Lihat Mubârakfuri, Muqaddimah….,op.cit., hlm. 281

[33] subhî sâlih, `Ulûm al-hadîs wa Mustalahuh( Beirut: Dar- lilmalayîn, 1988), hlm. 159.

[34] Banyak pengertian yang menjelaskan tentang hadis hasan, salah satunya adalah pengertian yang dikemukan oleh Ibn salâh. Menurutnya adalah bahwa rawi hadis hasan adalah orang yang terkenal kejujurannya dan dapat dipercaya, namun tidak mencapai derajat para rawi hadis sahîh, karena tingkat daya hafalannya dan akurasinya masih dibawah mereka. Sebenarnya bila dilihat lebih seksama, bahwa apa yangdikemukan Ibn salâh adalah merupakan kritik terhadap pengertian hasan yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî. Alasannya adalah; 1) definisi yang dikemukakan oleh Imam Tirmizî tidak dapat memenuhi (tidak mâni’dan jâmi’) untuk memasuki definisi sahîh didalamnya, sehingga sebagaimana dikatakan al-`Irâqî--Imam Tirmizî dalam mengemukakan definisinya tidak mem-berikan penjelasan tentang perbedaannya dengan hadis sahîh. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa pada setiap hadis sahîh terdapat hadis hasan dan tidak semua hadis hasan itu mencakup hadis sahîh.;2) definisi yang dikemukan oleh imam Tirmizî tidak seperti yang dikatakan kebanyakan ulama hadis, sehingga ada kemungkinan imam Tirmizî tidak memahami secara pasti tentang hadis hasan. Sebenarnya secara tegas dua argumen-tasi itu dapat dibantah karena sejak awal Imam Tirmizî menyatakan dengan pernyataan ”menurut kami”, ini jelas menunjuk pada pribadinya. Terlepas dari ia mengerti atau tidak tentang hadis hasan, yang jelas dengan kekuatan ijtihadnya serta metodologi yang dimiliki ingin mengata-kan bahwa hadis hasan menurutnya adalah seperti itu.Lihat Mubârakfury, Juz. 10, hlm. 401; Ibn. salâh, op.cit., hlm. 13; Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-Asqalanî, Nazhah an-Nadr Syarh Nukhbah al-Fikr (Mesir: Matba’ah al-Istiqomah, 1368H), hlm.70-71.


[35] Muhammad Abû Zahrah, As-Syâfi’î hayâtuhu wa Asruhu: Arâ’uhuh wa Fiqhuh ([t.tp], al-Dâr al-Fikr, [t.th]), hlm. 214.
[36] Lihat, Muhammad Abû Zahrah, Usûl Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, [t.th.]), hlm. 109; Mahmûd Syaltût, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah (Kairo: Dâr al-Qalam, 1966), hlm. 513; lihat juga, Muhammad ibn ‘Alî as-Syaukanî, Irsyâd al-Fûhûl (Surabaya: Salim ibn Sa’ad ibn Nabhan wa akhwatuhu Ahmad, [t.th]), hlm. 334-335.
[37] Abû ‘Amr ‘Usmân ib ‘Abd ar-Rahman ibn as-salâh(selanjutnya ditulis dengan ibn as-salâh), ‘Ulûm al-hadîs (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), hlm. 24, Taqiyuddîn Ibn. Taimiyyah (w. 728H/1328M) dalam Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah ([t.tp]: Mathabi’ Dâr al-‘Arabîyyah, 1398H), Juz XVIII, hlm. 40-41.
[38] Sâlim ‘Alî al- Bahnasawî, as-Sunnah al-Muftara Alaiha ([t.tp], Dâr al-Bû¥û£ al-‘Ilmiyyah, 1979), hlm. 103.-
[39] Muhammad Adib sâlih, Lamahât fî usûl al-Hadîs (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1399H), hlm. 99-100.
[40] Thomas S. Kuhn, Structure of Scientific Revolutions ( Chicago: The Uneversity of Chicago Press, 1977), hlm. 147 dan 149.