Senin, 15 Desember 2008

MENCERMATI TRANSMITTER HADIS MUTAWATIR:

MENCERMATI TRANSMITTER HADIS MUTAWATIR:
KAJIAN ULANG HADIS MUTAWATIR DALAM PRESPEKTIF AHLI HADIS

A. Pendahuluan

ِPeriwayatan hadis yang berlangsung dalam khazanah Islam mengalami variasi serta memiliki cakupan yang berbeda. Dalam Islam dikenal dengan dua tema besar yang berkaitan dengan periwayatan, yaitu periwayatan al-Qur`an dan hadis. Pada tema pertama, secara menyeluruh periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan untuk tema yang kedua, mengalami dua macam, yaitu berlangsung secara mutawatir dan berlangsung secara ahad[1].
Dikotomi antara mutawatir dan ahad sebenarnya bukan tanpa esensi, keduanya memiliki kekhasan dan sistem tersendiri. Akan tetapi, kalau dicermati secara menyeluruh, akan terdapat benang merah dan titik temu. Keduanya memilki kekhasan dalam jumlah periwayat yang meriwayatkan hadis Nabi. Hal ini sangat mungkin.keduanya berbeda dari segi jumlah, karena ketika sabda Nabi disampaikan kepada sahabat ataupun kepada generasi berikutnya sampai pada sanad yang terakhir tidak sama jumlah muridnya(pendengarnya). Keseragaman, mulai dari awal tingkatan sanad maupun sampai yang terakhir dengan jumlah tertentu menjadi ukuran pertama.
Jumlah periwayat menjadi bagian yang penting dalam melihat hadis dalam dua dikotomi hadis tersebut. Permasalahan jumlah, ternyata menjadi objek dan kajian dari ulama ushul dan ulama kalam[2]. Mereka tidak ,mem,perhatikan serta membahas persoalan kualiatas dari pembawa berita, apakah mereka itu Islam atau kafir. Demikain juga terntang persoalan yang ada keterkaitan dengan kredibilitas periwayat hadis, kurang mendapatkan mendapatkan perhatian terutama yang ada keterkaitanya dengan kemutawatiran sebuah hadis Nabi. Yang terpenting dalam kajian dan pembahasan ini adalah hanya menghitung jumlah orang yang meriwayatkan hadis--meskipun ada kreteria lain yang harus dipenuhi.
Berbeda dengan ahli ushul dan ahli kalam, ulama hadis memiliki dan mengunakan standar yang ketat. Ulama hadis mengunakan metodologi yang bervariatif baik itu berkaitan dengan persoalan sanad maupun persoalan matan. Standar dalam term yang pertama melibatkan pada persoalan validitas(al-Asliyah). Yaitu sebauh usaha yang ingin melihat bahwa para perawi hadis dengan berbagai situasi an kondisi memiliki inteltual yang sangat tinggi serta menjaga moralitas yang melekat pada diri mereka.
A. Pengertian Hadis Mutawatir
Secara etimologi kata mutawatir merupakan bentuk isim Faa`il dari lafadz تواتر[3] yang memiliki beberapa makna antara lain: تتابع (berturut-turut dengan selang waktu), misalnya dalam ungkapanٌ (تواتَرَت الإِبل والقَطا وكلُّ شيء (unta, burung dan segala sesuatu berturut-turut, artinya kedatangan mereka secara bergiliran dengan jangka waktu tidak bersamaan), مداركة ومواصلة (berurut-urut tanpa ada selang waktu), misalnya ungkapan مواترة الصوم (berpuasa berturut-turut/terus menerus dengan cara sehari berpuasa dan sehari berbuka), واترت الكتب ( Aku mengurut-urutkan kitab-kitab itu, artinya kitab-kitab itu tersusun secara berurutan tanpa ada pemisah) .[4]

Sedangkan mutawatir dari terminology, diantara ulama tidak mempunyai perbedaan esensi, akan tetapi secara redaksional saja yang berbeda. Diantara pendapat ulama itu, antara lain.
1. Mahmuud at-Tahhan dalam bukunya Taisiir Fii Mustalah al-Hadis, menyatakan:

ما رواه عدد كثر تحيل العادة توا طؤ هم على اكذب[5]
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara tradisi”
2.Abuu Ya`laa al-Muusilli at-Tamiimii dalam Musnad Abii Ya`laa, menyatakan:
فالخبر المتواتر هو خبر عن محسوس أخبر به جماعة بلغوا في الكثرة مبلغا تحيل العادة تواطؤهم على الكذب فيه[6]
Suatu hadis hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
3.‘Ajjaj Al-Khatiib dalam Usul al-Hadis Ulumuh wa Mustalahuh menyatakan:
ما رواه جمع تحيل العادة توا طئهم على الكذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه على ان يختل هذا الجمع في اي طبقة من طبقات السند[7]
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya.
4. Hasby As-Shiddieqy dalam Pokok-Pokok Dirayah Hadits menyatakan: ما يرويه قوم لا يحصى عددهم ولا يتوهم توا طؤهم على الكذب ويدوم هذا الحد فيكون أوله كأخره وأخره كأوله ووسطه كطرفيه[8]
Hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat difahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta keadaan ini terus-menerus hingga kepada akhirnya.
5. Hadis Mutawatir menurut Nuruddin:
الحديث المتو اتر هو الذي رواه جمع كثير يؤمن توا طؤهم على الكذب عن مثلهم الى انتها السند وكان مستندهم الحس[9]
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar pada panca indera.
Dilihat dari segi definisi para ulama diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Hadis Mutawatir adalah sebagai berikut :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh beberapa rawi,
2. Perawi-perawi tersebut mustahil mereka berkumpul dan bresepakat untuk berdusta,
3. Semua disandarkan pada panca indra.
4. Adanya keseimbangan dalam jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqah.
B. Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Dengan memperhatikan ta’rif (definisi) di atas, maka suatu hadis baru bisa dikatakan mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Periwayatan disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Maksudnya, bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengaran, penglihatan dan penciuman. Kalau pemberitaan itu berasal dari hasi pemikiran atau hasil rangkuman dari peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain atau hasil istimbat suatu dalil dengan dalil yang lain, bukan dikatakan sebagai khabar mutawatir[10].
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang memungkinkan mereka bersepakat bohong. Para ualama berbeda-beda pandapat tentang batasan yang diberikan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :
a) Abuu at- Thayyib at-Tabarii, mengharuskan lebih dari empat, dengan alas an, banyaknya saksi yang diperlukan oleh hakim untuk tidak menjatuhkan vonis terhadap terdakwa.
b) Ashab as-Syaafi`ii menentukan minimal 5 orang. Al-Ustadz Abu Mansuur menceritakan dari al-Jubaa`ii, jumlah lima ini berdasarkan pada jumlah rasul Uulul Azmi, yaitu Nuh, Ibraahim, Muusaa, `Iisaa, dan Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini lemah, karena tidak ada hubungannya dengan kajian persoalan dalam beberapa aspek.
c) Ada yang mengatakan tujuh dengan pertimbangan jumlah Ashab al-Kahfi. Pendapaat ini dinilai ulama salah karena tidak ada relevansinya dengan tema.
d) Sebagian ulama menentukan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam surat Al-Anfal 65: { إن يكن منكم عشرون صابرون }” “Jika ada 20 orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan 200 musuh.”
e) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.Sesuai dengan jumlah yang disyaratkan dalam jumlah sholat Jum`ah[11].
Jumlah rawai seagaimana disebutkan diatas, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang dikemukan oleh mereka semua tidak menagacu pada tema persoalan yang dibahas dan cenderung bersifat rasional. Tema persoalan yang pokok adalah jumlah perawi yang bisa dijadikan ukuran untuk mendapatkat ilmu dharurii. Meskipun jumlah rawi itu tidak banyak akan tetapi bisa memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan benar-benar menyakinkan, bias dikategorikan sebagai hadis mutawatir.[12]
3 Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqhah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqhah berikutnya.9
Dikalangan ulama ketika memberikan pengertian tentang jumlah rawi dalam setiap tabaqah mengalami perbedan. Ada yang mengatakan bahwa setiap tabaqah ditentukan dengan jumlah bilangan(`Adad), ada juga yang menyatakan dengan esensi jama`(tidak terikat dengan jumlah bilangan, yang penting banyak)
Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, dalam kitabnya Taujiih an-Nadzar, dengan mengutip pendapat junhur ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan persamaan dalam setiap tabaqah adalah persamaan dalam jumlah banyaknya, bukan persamaan dalam segi bilangan. Boleh Jadi, misalnya, pada tingkatan yang pertama seribu orang pada tingkatan kedua Sembilan ratus orang pada tingkatan ketiga seribu Sembilan ratus[13].
Imam al-Ghazaalii dalam kitab al-Mustasfaa fii `Ilmi al-Ushuul menyatakan bahwa yang dimaksud dengan persamaan dalam setiap tabaqah adalah persamaan dalam jumlah bilangan, baik pada tingkatan pertama, tingkatan kedua maupun tingkatan ketiga. Jika antara tingkatan tidak mempunyai jumlah bilangan yang sama, maka konsekwensinya berita yang disampaikan tidak mencapai derajat kebenaran(ilmu dharurii)[14].
4. Adanya keyakinan bahwa mereka semua tidak mungkin bersepakat untuk dusta
Pada bagian ini menjelaskan bahwa penentuan jumlah tertentu disamping merupakan ukuran pokok untuk menentukan suatu hadis mutawatir, juga menjadi ukuran pembawa berita apakah mereka memberikan kepastian akan berita yang disampaikan atau justru dengan jumlah itu mereka sepakat berdusta.
Kesepakatan mereka tidak mungkin berdusta, bukan kerena mereka satu kesamaan, melainkan mereka berasal dari daerah-daerah yang berbeda, golongan-golongan yang berbeda, mazhab yang berbeda atau agama yan berbeda . Yang jelas, diantara mereka mempunyai prinsip yang sama untuk tidak berdusta terhadap khabar yang disampaikan--selain dari persyaratan kesempurnaan jumlah[15].
C. Macam- macam Hadis Mutawatir

Para ahli ushul membagi hadis mutawatir menjadi dua bagian, yaitu matawatir lafdzi dan maknawii. Ada juga yang memberikan tambahan dengan mutawatir amalii--tentunya yang ini belum menjadi kesepakatan ulama atau berdasarkan pembagian ulama usul. Ibn Taimiyyah hanya membagi hadis mutawatir menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdziy, Mutawatir Ma’nawi[16],
1. Mutawatir Lafdziy
a). Menurut Mahmud at-Tahhan ialah:
المتو اتر اللفظي هوماتو اتر لفظه ومععناه[17].
“hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”

b). Menurut ‘ِِِAjjaj al-khattib ialah:
ما رواه بلفظه جمع عن جمع عن جمع لا يتوهم تواطئهم على الكذب من اوله الى منتهاه[18]
“Hadis yang lafadznya diriwayatkan oleh sejumlah perawi, dari sejumlah perawi-perawi yang tidak memungkinkan mereka untuk berdusta dari awal sampai akhir sanad”
c). Menurut Taahir al-Jazaairii adalah

فاللفظي هو ما اتفقت ألفاظ الرواة فيه مثل أن يقولوا فتح فلان مدينة كذا سواء كان اللفظ أو بلفظ آخر يقوم مقامه مما يدل على المعنى المقصود صريحا[19]
“ Hadis yang sama lafal-lafal perawinya dalam satu matan, sebagaimana mereka mengatakan “فتح فلان مدينة ”, maka matan yang lain harus mengatakan hal yang sama persis, atau dengan mengunakan lafal yang lain yang semakna dan menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas.”
Sebagai contoh tentang hadis mutawatir yang lafadh adalah hadis tentang larangan berdusta, yaitu:
من كذب علي متعمدا فليبوأ مقعده من النار
“ siapa yang mendustakan atas diriku secara sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya dineraka.”.
Para ulama menyebutkan sanad hadis tersubut dengan bervariasi jumlahnya, namun secara keseluruhan menunjukkan jumlah yang banyak. Menurut Abu Bakar as-Sairaqii, hadis ini diriwayatkan lebih dari 60 sahabat secara marfu`. Sebagian al-Huffadz(julukan ahli hadis) telah diriwayatkan 62 sahabat, termasuk sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga. Demikian juga Ibraahim al-Harbii dan Abuu Bakar al-Bazzaar menyatakan bahwa hadis itu diriwayatkan sekitar 40 sahabat. Abuu al-Qaasim ibn. Mandah berpendapat bahwa hadis ini diriwayatkan lebih dari 80 orang sahabat[20].

2. Mutawatir Maknawi
a). Menurut Mahmud At-Tahhan ialah :
المتوا تر معنوي : ماتواتر معناه دون لفظه[21].
“hadis yang ma’nanya mutawatir, tapi lafaztnya tidak.”
b). Menurut ‘Ajaj Al-Khatib ialah :
ما اتفق نقلته على معناه من غير مطابقة في اللفظ[22]
“Hadis yang riwayatkan oleh para perawi menyesuaikan oleh perawi menyesuaikan ma’nanya tanpa persis lafadznya.”

c). Menurut Taahir al-Jazaairii mengatakan bahwa:
والمعنوي هو ما تختلف فيه ألفاظ الرواة بأن يروي قسم منهم واقعة وغيره واقعة أخرى وهلم جرا غير ان هذه الوقائع تكون مشتملة على قدر مشترك فهذا القدر المشترك يسمى التواتر المعني او التواتر من جهة المعنى[23]
“ Hadis yang lafal-lafal para perawinya berbeda, Sebagian dari mereka meriwayatkan dengan satu bagian matan dalam satu kejadian, dan sebagian yang meriwayatkan dengan matan yang lain dalam kejadian yang lain dan seterusnya, akn tetapi dari kejadian-kejadian itu mempunyai titik temu(tema yang sama)”

Sebagai contoh tentang hadis mutawatir yang maknawi adalah hadis tentang mengangkat tangan ketika berdoa, yaitu:
حدثنا محمد بن بشار حدثنا يحيى وابن أبي عدي عن سعيد عن قتادة عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه[24]

“Imam Bukhari menyatakan, telah menyampaikan(riwayat) kepada kami dengan mengunakan metode sama’ Muhammad bin Basyaar telah menyampaikan kepada kami dengan metode sama’ Yahyaa dan Ibn. `Adii dari Sa`iid dari Qataadah dari Anas bin Maalik, dia berkata; dulu Rasulullah SAW. tidak mengangkat kedua beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa sholat istisqa’. Beliau mengangkat kedua tangannya, hingga Nampak putih-putih kedua ketiaknya”.

Hadis tentang mengangkat tangan ketika berdoa diriwayatkan sekitar seratus hadis, setiap hadis berisi tentang hal tersebut, akan tetapi dalam premis-premis yang berbeda. Setiap premis tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis-hadis dengan premis yang berbeda ketika dikumpulkan menpunyai satu tema(titik persamaan) yaitu mengangkat tangan ketika berdoa. Karena diriwayatkan dalam banyak jalur makan hadis ini mempunyai derajat mutawatir.
Hadis yang berkaitan dengan mutawatir maknawi banyak diantara; hadis tentang syafa’at, hadis tentang qadha` hadis tentang rukyah, hadis tentang mizan, hadis tentang sirat al-Mustaqim, fadaa`il as-Sahabah, mengu-curkan air dari jari-jari Nabi SAW dan masih banyak lagu yang lainnya[25].
3. Mutawatir Amali
ما علم من الذين بالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبى صلى الله عليه وسلم فعله اوامربه اوغير ذلك, وهو الذى ينطبق تعريف الإجماع انطباقا صحيحا[26]
“Sesuatu yang diketahui dari agama dengan mudah, dan telah mutawatir antara umat Islam Sesungguhnya Nabi mengerjakannya atau menyuruhnya, atau selain dari itu dan dialah yang dapat diterapkan pengertian ijma’ dengan penerapan yang benar.”
Hadis-hadis yang berkaitan dengan mutawatir amalii cukup banyak dan juga beraneka ragam bentuknya. Yang jelas, berita-berita yang menerangkan tentang praktek agama, seperti waktu sembanyang, jumlah rakaat, tata cara sholat jenazah, tata cara sholat `Id, tata cara haji, hijab bagi perempun dari yang bukan mukrimnya, kadar zakat, maka semuanya tersebut hadis mutawatir amalii. Kongritnya adalah segala jenis amal yang telah menjadi ijma’(kesepakatan) ahli ijma` maka termasuk golongan mutawatir amali[27].

D. Faedah hadis Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan manfaat kepada ilmu qat`ii[28](kenyakinan yang kuat). Kata qat`ii dalam beberapa literatur disoninimkan dengan istilah dharurii, yaqiinii, absolute dan mutlak. Sinonim kata-kata in apabila dihubungan dengan faedah mutawatir adalah keharusan untuk menerima secara bulat tanpa adanya penelitian dan pembahasan apapun. Setiap hadis mutawatir tidak perlu untuk diragukan lagi, dan menerimanya secara yakin adalah merupakan keharusan.
Perawi-perawi hadis dalam hadis mutawatir tidak perlu diteliti tentang keadilaanya(moralitasnya)—ketaqwaanya, kemampuan menjahui dosa-dosa besar, menjauhi perbuatan mubah yang data menodai keperwiraannya, atau tentang kedabitanya(kadar intelektalnya)—kuatnya ingatan, menguasai apa yang diriwayatkan. Hal ini disebabkan karena hadis mutawatir tidak membutuhkan isnad ataupun mengethui keadaan rawi apakah mendapat kritikan(jarh) ataupun mendapatkan pujian(ta`diil)
Demikian juga, secara teologis, orang yang mengingkari hasil yang telah dicapai oleh ilmu qat`ii atau ilmu dharurii dengan jalan mutawatir, sama dengan orang yang mengingkari hasilnya ilmu dengan jalan penyaksian, dan sebagian ada yang mengatakan sebagai kafir bagi yang mengingkarinya[29]

E. Eksistensi Hadis Mutawatir

Keberadaan hadis mutawatir dengan syarat –syarat yang begitu ketat untuk dipenuhi, timbul pertanyaan dikalangan ulama, apakah mungkin hadis mutawatir itu ada. Pertanyaan yang begitu mendalamini ditanggapi dengan berbagai macam argumen.
Abu Rayyah mengutip pendapat al-Haazimii, menyatakan bahwa untuk menetapkan adanya hadis mutawatir sulit sekali, terlebih bagi orang yang mengatakan jumlah bilangan sebagai standarnya. Lebih dalam lagi, Ibn. Hibban al-Bastii, menyatakan bahwa tidak ada hadis mutawatir, seluruh khabar adalah hanya mempunyai status Ahad. Lebih lanjut ia mengatakan tiadak ditemukan dari Rasulullah yang diriwayatkan dari dua orang yang adil yang salah satunya meriwayatkan lagi dari dua orang yang adil sampai akhir sanad dan menurutnya bahwa khabar seperti ini adalah tidak dapat diterima[30].
Selain pendapat diatas, Imam Nawawi dalam kitab at-Taqriib, menyatakan bahwa hadis mutawatir hanya dikenal oleh fiqih dan ushul fiqh. Ulama hadis tidak pernah menyebutkannya dan kalaupun ada sedikit dan bahkan hampir tidak ditemukan dalam riwayat mereka[31].
Al-Hafiz Ibn. Hajar menyatakan bahwa hadis mutawatir banyak jumlahnya. Ia mengatakan bahwa suatu cara yang terbaik untuk menetapkan bahwa hadis mutawatir itu ada dan jumlahnya banyak beredar dikalangan ahli ilmu serta dapat dipastikan sebagai karya asli penyusunnya. Bila mereka sepakat mengeluarkan suatu hadis dengan sanad yang banyak sehingga menurut adapt mustahil untuk berdusta, maka hadis itu dapat diyakini keaslianya dari pembicaranya[32]. Lebih lajut ia mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hadis mutawatir jumlahnya sedikit, bahkan ada yang menagatakan tidak ada, adalah tidak benar. Alasanya adalah mereka kekurangan dalam menelaah jalan-jalan hadis, kelakuan dan sifat-sifat rawi-rawinya yang dapat memustahilkan bersepakat berdusta.[33]
Sebenarnya kalau berpikir secara jernih, dua pendapat yang saling bertentangan dalam diambil jalan kompromi dan dapat dicari titik temu. Bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hadis mutawatir itu jarang, adalah mutawatir lafdzi, sedangkan yang menyatakan bahwa jumlah hadis mutawatir itu banyak adalah hadis mutawatir maknawi.
E. Hadis Mutawatir Bukan kajian Ilmu Hadis
Berdasarkan pada kreteria tentang hadis mutawatir, baik berdasarkan pada jumlah perawi hadis, harus berdasarkan pada panca indera ataupun tidak mungkin adanya ksepakatan berdusta, sebenarnya kreteria-kreteria ini bukan bagain dari kajian ilmu sanad. Hadis mutawatir ini banyak dibahas oleh ulama ushul dari segi jumlah perawi yang banyak, baik bilangan maupun banyak dari segi pembawa warta yang tidak hanya tertuju umat Islam, tetapi juga boleh diwartakan oleh orang kafir, ataupun yang fasiq. Ulama ushul hanya membicarakan dari segi jumlah pewarta dan tidak tertuju pada kajian kualitas dari pewarta khabar itu.
Kenyataan ini, berbeda dengan kajian sanad, yang banyak membahas persoalan yang dibahas terutama berkaitan dengan kondisi-kondisi para parawi hadis . Selain itu, juga membahas kualitas hadis dilihat dari diterima (maqbul) atau ditolak (mardud)[34]. Ahli hadis dalam hal pembagian kualitas hadis berangkat dari pembahasan tentang hadis ahad, bukan berpegang pada status mutawatir[35].
Demikian juga, ketika ulama hadis menetapkan tentang definisi tentang hadis sahih--sanad bersambung(muttasil), rawinya harus adil dan dhabit, ternyata hadis mutawatir sama sekali tidak menjelaskan tentang hal tersebut, bahkan cenderung bertolak belakang. Ambillah sebagai contoh, dalam kajian keadilan dalam sanad hadis, ulama hadis mensyaratkan Muslim, selamat dari akidah yang tidak benar, seperti fasiq, kafir. Sedangkan dalam hadis mutawatir tidak mensyaratkan hal tersebut.[36]
Imam al-Jazaa`irii, berkaitan dengan kedudukan hadis mutawatir dalam kajian ulama hadis, ia menyatakan:
أن المتواتر ليس من مباحث علم الإسناد أنه لا يكون له إلا في النادر جدا إسناد على الوجه المألوف في رواته أخبار الآحاد ولذلك ترى علماء الأصول يقسمون خبر الواحد إلى قسمين مسند ومرسل ولا يتعرضون إلى تقسيم المتواتر إلى ذلك فإن اتفق للمتواتر إسناد لم يبحث في أحوال رجاله البحث الذي يجري في أحوال الأسانيد التي تروي بها الآحاد هذا إذا ثبت تواتره لأن الإسناد الخاص يكون مستغنى عنه وإن كان لا يخلو عن الفائدة[37]
“ Sesungguhnya khabar mutawatir bukan merupakan kajian dari ilmu isnad dan pengunaan isnad dalam hadis mutawatir sangat jarang, kajian perawi-perawi hanya ada pada khabar-khbar ahad. Oleh karena itu, Ulama ushul membagi hadis ahad menjadi dua bagian, yaitu musnad dan mursal. Akan tetapi, mereka tidak membagi hadis mutawatir sebagaimana hadis ahad. Jika dalam Khabar mutawatir, terdapat sanad, maka tidak akan membahas masalah yang berkaitan dengan keadaan rawi-rawi, sebagaimana pembahasan yang berlaku dalam sanad-sanad yang diriwayatkan hadis ahad . Hadis mutawatir tetap pada prinsip yaitu tidak membutuhkan pengkajian dari segi isnad tertentu.”.

Dengan demikian, maka hadis Mutawatir tidak membutuhkan kajian isnad dan tidak harus mempunyai kualitas tertentu. Karena yang dibutuhkan hadis mutawatir hanya jumlah, bukan kualitas pembawa berita. Oleh karena itu, hadis-hadis yang berstatus mutawatir bisa berkualitas da`if, hasan ataupun sahih. Ada beberapa riwayat yang dapat ditunjukan untuk membuktikan bahwa hadis mutawatir tidak berdasarkan pada kualitas perawi, yaitu riwayat tentang hadis berdusta atas nama Nabi.
F. Hadis Mutawatir Dalam Kajian ilmu Jarh wa Ta`dil
Berdasarkan teori yang ada menyatakan bahwa hadis dengan predikat mutawatir tidak perlu untuk diteliti lagi dan menerima sebagai sebuah sumber adalah merupakan sesuatu yang wajib. Akan tetapi, berdasarkan kepada teori jarh wa ta`dil—bukan berarti aksi tidak percaya terhadap hadis mutawatir—ditemukan fenomena yang menarik. Sebagaimana dikemukakan oleh Subhi Salih, bahwa hadis mutawatir tidak menjamin adanya sebauh kepastian bahwa hadis mutawatir itu mempunyai kualitas yang sama, akan tetapi lebih bervariasi. Diantara hadis mutawatir, ternyata disitu ditemukan kualitas yang berbeda, baik itu sahih, hasan maupun da`if. Berikut ini dipaparkan tentang contoh hadis mutawatir dengan derajat yang berbeda-beda, yaitu:
1. Hadis yang diriwayatkan Muslim melalui jalur Abu Harairah dengan kualitas sahih
وحدثنا محمد بن عبيد الغبري حدثنا أبو عوانة عن أبي حصين عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[38] // صحيح متواتر


“Imam Muslim menyatakan, telah menyampaikan kepada kami(dengan mengunakan metode sama`)dari Muhammad bin Ubaid al-Ghobirii, telah menyampaikan kepada kami(dengan mengunakan metode sama`)dari Abuu `Awaanah dari Hushain dari Abii Saalih dari Abuu Hurairah, dia berkata Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya didalam nereka”hadis ini adalah mutawatir dan berstatus sahih.”
2. Hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal melalui jalur Anas bin Malik dengan kualitas hasan

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد وأبو قطن قالا ثنا شعبة عن حماد عن أنس بن مالك قال قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ولم يقل أبو قطن متعمدا[39]
تعليق شعيب الأرنؤوط : حديث صحيح , وهذا إسناد حسن , رجاله ثقات رجال الصحيح غير حماد بن أبي سليمان[40] فقد روى له أصحاب السنن وهو صدوق
“Abu Bakr Ahmad bin Ja`far menyatakan, telah menyampaikan kepada kami dengan metode sama` dari `Abdullah, telah menyampaikan kepadaku dengan metode sama` dari Bapakku(Ahmad bin Hanbal), telah menyampaikan kepada kami dengan metode sama` dari Yaziid dan Abuu Qatn, keduanya berkata, telah menyampaikan kepada kami dengan metode sama` dari Syu`bah dari Hammad dari’ Anas bin Maalik, dia berkata, Abu Qaasmi(sebutan bagi Nabi Muhammad)SAW. telah bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya didalam nereka” Sanad hadis ini adalah hasan, Semuanya perawinya adalah siqah dan termasuk perawi dalam kitab-kitab sahih, kecuali Hammad bin Abii Sulaimaan. Ashab sunan menyatakan dia sebagai suduuq( orang yang benar)
3. Hadis yang diriwayatkan ad-Darimii melalui jalur Ibn. `Abbas dengan kualitas da`if
أخبرنا محمد بن عيسى ثنا أبو عوانة عن عبد الأعلى عن سعيد بن جبير عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار[41]
قال حسين سليم أسد : إسناده ضعيف لضعف عبد الأعلى[42] وهو : ابن عامر الثعلبي
“Imam ad Darimi menyatakan, telah menyampaikan kepada kami dengan metode sama` dari Muhammad bin `Iisaa, telah menyampaikan kepadaku dengan metode sama` dari Abuu `Awaanah dari `Abd. Al-‘A`alaa dari Sa`iid bin Jabiir dari Ibn `Abbas dari Nabi SAW. beliau bersabda: Barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiap-siaplah menduduki kedudukannya didalam nereka” Husain Saliim ‘Asa menyatakan bahwa sanad dari hadis diatas adalah da`if, disebabkan karena lemahnya `Abd. Al-‘A`alaa dalam hafalannya. Dia adalah bernama ibn. `Aamir as-tsa`labii.

F. Karya-Karya Yang Memuat Khabar Mutawatir

1. Al-Azhaar al-Mutanaatsirah fii al-Akhbar al-Mutawatirah al-Imam Jalaluddin Abuu al-Fadhl `Abdur Rahman as-Suyutii.
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini, disusun berdasarkan bab-bab dan setiap hadis disertai sanad-sanadnya. Didalam kitab ini terdapat seratus hadis, sedangkan menurut al-Kattani berjumlah 112 hadis
2. Qathf al-Azhaar karya al-Imam Jalaluddin Abuu al-Fadhl `Abdur Rahman as-Suyutii.
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitabnya pertama. Teknik peringkasan byang dipergunakan adalah dengan mengambil salah satu sanad dari seorang imam yang mengeluarkannya, lalu didatangkan pula sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh satu sanad itu. Diantaranya adalah hadis tentang telaga, yang diringkas dari riwayat lima puluh orang sahabat, hadis tentang “mengusap kedua sepatu” dari riwayat tujuh puluh orang sahabat.
3. Nadzam al-Mutanaastsirah min al-Hadis al-Mutawatirah karya Muhammad `Abdullah bin Ja`far al-Kattanii
Dalam kita ini terdapat 310 hadis Mutawatir, baik itu berupa mutawatir lafdzi maupun maknawii.
4. Ithaf Dzawil Fadha`il al-Musytahirah bi Maa Waqaa`a min Ziyadah `Alaa al-Azhar al-Mutanaastsirah min al-Hadis al-Mutawatirah karya Ustadz Syeikh `Abdul `Aziiz al-Ghammari
Kitab ini berisi revisi terhadap kitab karya al-Kattanii. Dalam kitab ini dijelaskan tentang jumlah hadis mutawatir yang benar.
5. Al-Liaalii al-Mutanaastsirah fii al-Hadis al-Mutawatirah karya Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin`Alii bin Tuuluun(w. 953).
6. Luqt al-Liaalii al-Mutanaastsirah fii al-Hadis al-Mutawatirah karya Abii al-Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misrii merupakan ringkasan dari karya Ibn. Taaluun[43].











DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela dan pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta:Gema Insani Press,1992.
Ismail, Syuhudi, Metodologi penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rahman, Fazlur, Islam: Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Islam. Bandung: Pustaka,1984.

Tahhan, Mahmuud , Taisir Mustalah al-Hadis .Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1979.

Manzur, Muhammad bin Mukarram, Lisan al-`Arab. Mesir: ad-Daral-Misriyyah,[t.th].,Cet. I,

tammiAhmad bin`Alii bin al-Musannaa Abuu Ya`laa al-Muusilli at-Tamiimii, Musnad Abii Ya`laa, diberi notasi dan dicatat oleh Husain Saliim Asad. Dimasq: Daar al-Makmuun lit- turats, 1984., Cet. I,
Abd al-Haq bin Saifuddin bin Sa`ad al-Bukharii ad-Dahlawii, Muqadimmah fii Usul al-Hadis diberi notasi dan catatan oleh Sulaiman al-Husainii an-Nadwii. Beirut: Dar al-Basya`ir al-Islamiyyah, 1986., Cet. II.

Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1987, Jilid. I.
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi uluum al-hadiis: Alih Bahasa Mujiyo: Ulumul hadis. Bandung: Remaja Rosdakarya,1997., Cet. II,
Al-Qadhi `Iyaadh bin Muusaa alYahsabii, al-‘Ilmaa` `Ilaa Ma`rifah Ushuul ar-Riwaayah wa Taqyiid as-Simaa`, diberi notasi dan catatan, As-Sayyid Ahmad Saffar.Kairo: Dar at-Turats, 1970, Cet. I,
Muhammad bin `Alii bin Muhammad asy-Syaukanii, Irsyad al-Fuhul.Surabaya: Salim bin Sa`ad bin Nabhan wa akhuhu Ahmad , [t.th.].
Taqiyuddin Ahmad ibn. Abdil Halim Ibn. Taimiyah, Majmu` Fatawa li ibn. Taimiyyah, dihimpun oleh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qasim al-`Asimi dan an-Najdi, bersama anaknya, Muhammad.[t.tp]: Matabi` Dar al-`Arabiyyah, 1398H.
Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, Taujiih an-Nadzar ‘ilaa Ushul al-`Atsar. Halb: Maktabah al-Matbu`aat al-Islamiyyah, 1995.
Muhammad bin Muhammad al-Ghozaalii Abuu Haamid, al-Mustasfaa Fii `Ilm al-Ushuul, dberi notasi dan catatan oleh Muhammad `Abd as-Salaam `Abd. As-Syaafii. Beirut: Daar al-Kutuub al-`Ilmiyyah, 1413H.

Muhammad Jamaluddin al-Qaasimii, Qawaaid at-Tahdiis min Funuun Mustalah al-hadis. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1961.
Mahmuud at-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis. Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1979.

Abuu `Abdillah Muhammad bin Ismaiil al-Bukhaari, al-Jami` As-Sahih (shahih al-Bukhari) Beirut: Dar al-Fikr, [t.th].

Muhammad bin Ibraahiim bin Jama`ah, al-Manhal ar-Rawii fii Mukhtasar Ulum al-Hadis an-Nabawii. Damsiq: Dar al-Fikr, 1406H.
Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq as-Syaasyii, Ushuul as-Syaasyii. Beirut: Daar al-Kitaab al-Arabii, 1402.

Mahmuud Abuu Rayyah, Adwaa’ `Alaa as-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difaa` `an al-Hadiis. Makar: Dar al-Ma`aarif, [t.th].
Abuu Zakariya Yahyaa ibn. Syaraf an-Nawawii, Taqrib li an-Nawawii Fann Usul al-Hadis. Kairo: `Abdur Rahman Muhammad, [t.th].
Ahmad bin `Alii bin Hajar al-`Asqalanii, Syarah Nukhbah al-Fikr fii Mustalah Ahli al-`Atsar.Mesir: Mustafa al-Banii al-Halabii, 1934.
Ahmad `Umar Haasyim, Qawaaid Ushul al-Hadis. Beirut: Daar al-Fikr, [t.th].
‘Abuu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami` as-Sahih(sahih Muslim. [t.tp]: `Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1955.
ِAbuu `Abdillah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, 1978.
Ahmad bin`Ali bin Hajr Abuu al-Fadhl al-`Asqaalaanii as-Syaafi`ii, Tahzib at-Tahziib.Beirut: Dar al-Fikr, 1884.,Cet. I,
`Abdullah bin `Abdir Rahman Abuu Muhammad ad-Daarimii, Sunan ad-Daarimii, diberi notasi dan catatan oleh Fawaaj Ahmad Zamralii dan Khalid Sab` al-`ilmii. Beirut: Daar al-Kitaab al-`Arabii, 1407H., Cet. I,
Yusuuf bin az-Zakii `Abdir-Rahman Abuu al-Hajjaaj al-Mizzi, diberi notasi dan diberi catatan oleh Basyaar Awaad Ma`ruuf. Beirut: Muassasah ar-risalah, 1980.,Cet.I,.
Muhammad bin Ja`far al-Kattanii, ar-Risaalah al-Mustatrafah Libayaan Masyhur Kutub as-Sunnah al-Musannafah, diberi notasi dan diberi catatan oleh Muhammad al-Muntasar Muhammad az-Zamzamii al-Kattanii. Beirut: Daar al-Basyaair al-Islamiyyah, 1986.


[1] Lihat Syuhudi Ismail dalam beberapa bukunya, diantaranya: Hadis Nabi Menurut Pembela dan pengingkar dan Pemalsunya( :Gema Insani Press, ), hlm. 71; Metodologi penelitian Hadis Nabi(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 3.
[2] Ahli kalam memahami sebuah hadis bukan berdarkan teori isnad, akan tetapi mereka lebih menekankan pada rasioanalis dan melihat hadis sebagai sunnah yang hidup—lebih melihat pada prilaku Rasulullah. Sebenarnya metode ini sudah tengelam ketika sunnah yang hidup itu beralih kepada hadis, yang lengkap dengan sanad dan matn, tepatnya pada abad pertengahan (abad ke-3H/ 9M). Lihat, Fazlur Rahman, Islam: Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Islam(Bandung: Pustaka,1984), hlm. 87.

[3] Mahmuud at-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis(Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1979), hlm. 19.

[4] Muhammad bin Mukarram ibn Manzur, Lisan al-`Arab(Mesir: ad-Daral-Misriyyah,[t.th]),Cet. I, Juz.V, hlm. 273.
[5] Mahmuud at-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis(Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1979), hlm. 19.

[6] Ahmad bin`Alii bin al-Musannaa Abuu Ya`laa al-Muusilli at-Tamiimii, Musnad Abii Ya`laa, diberi notasi dan dicatat oleh Husain Saliim Asad(Dimasq: Daar al-Makmuun lit- turats, 1984), Cet. I, juz. I hlm. 221. lihat juga, Abd al-Haq bin Saifuddin bin Sa`ad al-Bukharii ad-Dahlawii, Muqadimmah fii Usul al-Hadis diberi notasi dan catatan oleh Sulaiman al-Husainii an-Nadwii (Beirut: Dar al-Basya`ir al-Islamiyyah, 1986), Cet. II, Juz. 1, hlm. 75.

[7] Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuh wa Mustalahuh(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 301
[8]M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Jilid. I, hlm. 57.
[9] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi uluum al-hadiis: Alih Bahasa Mujiyo: Ulumul hadis( Bandung: Remaja Rosdakarya,1997), Cet. II, Juz. II, hlm.196.
[10]Al-Qadhi `Iyaadh bin Muusaa alYahsabii, al-‘Ilmaa` `Ilaa Ma`rifah Ushuul ar-Riwaayah wa Taqyiid as-Simaa`, diberi notasi dan catatan, As-Sayyid Ahmad Saffar(Kairo: Dar at-Turats, 1970), Cet. I, Juz. I, hlm. 38.
[11] Untuk melihat pendapat ulama lebih luas tentang jumlah yang digunakan dalam khabar mutawatir dapat dilacak dalam Iryad al-Fuhul. Disitu dijelaskan jumlah yang ideal menurut beberapa prespektif, baik itu dikalangan Mu`tazilah, para ahli fiqh, ataupun hanya sekedar pendapat-pendapat yang mencoba ikut andil dalam perbincangan ini. Lihat, Muhammad bin `Alii bin Muhammad asy-Syaukanii, Irsyad al-Fuhul(Surabaya: Salim bin Sa`ad bin Nabhan wa akhuhu Ahmad , [t.th.]), Juz. I, hlm.66.
[12] Taqiyuddin Ahmad ibn. Abdil Halim Ibn. Taimiyah, Majmu` Fatawa li ibn. Taimiyyah, dihimpun oleh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qasim al-`Asimi dan an-Najdi, bersama anaknya, Muhammad([t.tp]: Matabi` Dar al-`Arabiyyah, 1398H), juz. XXVIII, hlm. 69-70. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Ilmu dihasilkan terkadang dengan berdasrkan jumlah, terkadang juba berdasarkan karakter pembawa khabar, tekadang juga ditunjukkan dengan indikasi-indikasi yang lainya. Konsekwesinnya adalah bahwa ilmu dharurii ini dihasilkan melalui banyak cara dan dari berbagai aspek .

[13] Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, Taujiih an-Nadzar ‘ilaa Ushul al-`Atsar(Halb: Maktabah al-Matbu`aat al-Islamiyyah, 1995), Juz. I, hlm.111-112.
[14] Ia mengatakan juga, bahwa kebenaran orang–orang Yahudi dengan jumlah yang banyak dalam penukilannya dari Nabi Musaa disertai kebohongan pemalsuan terhadap ajaran nabi Musa, atau kebenaran golongan Syi`ah, golongan Abbasiyyah, golongan Bakriyyah dalam penukilan teks dari Khalifah `Alii, Khalifah Abuu Bakar tidak dapat dikategorikan pada kebenaran ilmu dharuri meskipun jumlah mereka banyak dalam waktu –waktu yang berdekatan. Dalam penjelas berikutnya, ia menjelaskan bahwa Persamaan jumlah dalam setiap tabaqah memberikan pada pengertian ilmu dharurii, yang tidak kuasa untuk meragukannya dalam diri kita, berbeda dengan apa yang telah diwartakan mereka dari Nabi Muusaa dan para Immah, maka kita akan mempertanyakannya kembali atau mungkin malah meragukkannya. Muhammad bin Muhammad al-Ghozaalii Abuu Haamid, al-Mustasfaa Fii `Ilm al-Ushuul, dberi notasi dan catatan oleh Muhammad `Abd as-Salaam `Abd. As-Syaafii(Beirut: Daar al-Kutuub al-`Ilmiyyah, 1413H), Cet.I, hlm. 107.
[15] Ibid., 112.
[16]Pada umumnya, ahli hadis membagi hadis mutawatir pada dua bagian yaitu, mutawatir lafzi dan mutawatir maknawii.Lihat, Op. Cit., Taqiyuddin Ahmad ibn. Abdil Halim Ibn. Taimiyah, Majmu` Fatawa…, Juz. 18 hlm. 70.
[17] Op.Cit., at-Tahhan, Taisiir…, hlm. 20.
[18] Loc. Cit., `Ajjaj al-Khatiib

[19] Op. Cit, Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, Taujiih an-Nadzar.., Juz. I. hlm.133
[20] Muhammad Jamaluddin al-Qaasimii, Qawaaid at-Tahdiis min Funuun Mustalah al-hadis(Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1961), hlm.172-173.
[21] Mahmuud at-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis(Bairut: Dar al-Qur`an al-Karim, 1979), hlm. 20.

[22] Loc.Cit., Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis
[23] Loc.Cit., Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, Taujiih an-Nadzar
[24] Abuu `Abdillah Muhammad bin Ismaiil al-Bukhaari, al-Jami` As-Sahih (shahih al-Bukhari) (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), juz.I, hlm 349.
[25]Loc. Cit., Taqiyuddin Ahmad ibn. Abdil Halim Ibn. Taimiyah, Majmu` Fatawa…,
[26] Op. Cit., Muhammad Hasbi As-Siddiqiey, Pokok-Pokok… Jilid I, hlm. 64.
[27] Op. Cit., Taqiyuddin Ahmad ibn. Abdil Halim Ibn. Taimiyah, Majmu` Fatawa…, Juz.II, hlm. 405.



[28] Muhammad bin Ibraahiim bin Jama`ah, al-Manhal ar-Rawii fii Mukhtasar Ulum al-Hadis an-Nabawii(Damsiq: Dar al-Fikr, 1406H), Juz. I, hlm. 31Sebagain ulama kalam tidak menyetuji adanya proses pencapain ilmu pada khabar mutawatir, sbagaimana tersebut pada feedah hadis mutawatir, mereka menyatakan bahwa tercapainya ilmu melalui metode khabar mutawatir bersifat kondisional, yang bersesuaian dengan kejadian-kejadian, para pembawa berita serta para audien. Terkadang tercapainya ilmu pada daerah tertentu tidak dapat dicapai pada kejadian didaerah lain, tercapainya perwartaan sebuah kelompok tertentu tidak dapat dicapai dengan hasil yang sama pada kelompok yang lain meskipun sama jumlahnya, terkadang juga tercapainya ilmu pada audien, maka juga belum tentu untuk audien yang lain. Secara tegas, kelompok ini menyatakan bahwa jumlah tertentu tidak dapat dijadikan kesepakatan terhadap tercapai ilmu. Artinya, tercapainya ilmu dalam khabar mutawatir tidak bisa bersifat kolektif, tapi berdasarkan pada sudut pandang yang beraneka ragam. Op.Cit., Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, Taujiih an-Nadzar.., Juz. I. hlm 121

[29]Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq as-Syaasyii, Ushuul as-Syaasyii(Beirut: Daar al-Kitaab al-Arabii, 1402), hlm. 272.

[30] Mahmuud Abuu Rayyah, Adwaa’ `Alaa as-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difaa` `an al-Hadiis(Makar: Dar al-Ma`aarif, [t.th]), Cet. III, hlm. 279-280.
[31] Abuu Zakariya Yahyaa ibn. Syaraf an-Nawawii, Taqrib li an-Nawawii Fann Usul al-Hadis(Kairo: `Abdur Rahman Muhammad, [t.th]), hlm. 31.
[32] Ahmad bin `Alii bin Hajar al-`Asqalanii, Syarah Nukhbah al-Fikr fii Mustalah Ahli al-`Atsar(Mesir: Mustafa al-Banii al-Halabii, 1934), hlm.6-7.
[33] Ibid., hlm. 22-23.
[34]Op. Cit. 212-218. Dalam hal ini Ibn. Salah menyatakan bahwa hadis mutawatir tidak mempunyai kesamaan dengan hadis Sahih dalam cara mendapatkan khabar. Dalam hadis mutawatir disyaratkan harus ilmu qat`I(ilmu dharurii), sedangkan dalam hadis sahih tidak ada persyaratan tersebut. Sebenarnya pernyataan ibn. Salah ini bersumber pada pernyataan “ sahiih qat`an”atau maqtuu` bisahiihihi”. Ternyata apa yang dijelaskan oleh Ibn. Salah membawa persoalan apakah hadis sahih dapat dimasukkan kedalam hadis sahih, demikian juga sebaliknya. Sebagaian ulama mengatakan bahwa hadis sahih dan hadis mutawatir berdiri sendiri, artinya dari segi konseptualnya. Hadis mutawatir tidak pernah membicarakan tentang sanad, terkadang ditemukan hadis mutawatir ada sanad—meskipun jarang, terkadang tidak ada sanadnya sama sekali, karena hadis mutawair hanya melihat dari segi jumlah. Sedangkan dalam pembahasan hadis sahih peran sanad sangat dominan. Hal ini disebabkan bahwa sanad adalah merupakan kajian utamanya untuk menentukan apakah rawi yang meriwayatkan hadis itu bisa diterima atau sebaliknya ditolak. Jika hadis sahih dimasukkan dalam hadis mutawatir, maka akan berbeda objek kajiannya. Dasar berpijak dari hadis sahih adalah hadis ahad, yang berfaedah pada dhazi(relative), yang masih mempunyai ruang lingkup untuk dijadikan kajian. Sedangkan apabila hadis sahih, misalnya, berdasar pada mutawatir yang bersifat qat`i--tidak ada ruang ringkup kajian, maka hadis sahih tidak dapat diteliti, karena hanya bersifat taken for granted(hanya tinggal mengamalkan tanpa harus meneliti ulang) dan itu berarti tidak mungkin. Hadis sahih harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang berhubungan para rawi hadis.

[35] Op.Cit., Tahir al-Jazaa’iri ad-Dimasyqy, Taujiih an-Nadzar.., Juz. I. hlm.139.
[36] Ahmad `Umar Haasyim, Qawaaid Ushul al-Hadis(Beirut: Daar al-Fikr, [t.th]), hlm. 40.
[37] Loc.Cit

[38] ‘Abuu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami` as-Sahih(sahih Muslim([t.tp]: `Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1955), Juz. I, hlm. 10.

[39] ِAbuu `Abdillah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal(Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, 1978), Juz. III, hlm 203.
[40]Ahmad bin`Ali bin Hajr Abuu al-Fadhl al-`Asqaalaanii as-Syaafi`ii, Tahzib at-Tahziib(Beirut: Dar al-Fikr, 1884),Cet. I, Juz. III, hlm.14-15. Nama lengkap beliau adalah Hammad bin Abii Sulaimaan Muslim al-`Asy`arii, Diantara para kritikus hadis memberikan penilaian yang bervariasi, antara lain;(1) Ibn. Al-Mubaarak meriwayatkan dari Syu`bah menyatakan bahwa Hamnad tidak hafal terhadap hadis; (2) al-Qattan berkata Hammad lebih saya sukai disbanding Mughiira; (3)Ibn. Ma`iin menyatakan bahwa Hammad adalah siqah; (3) Abuu Haatim menyatakan bahwa Hammad suduuq(orang yang benar), hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, dia lebih konsentrasi pada persoalan hadis; (4) an-Nasa`ii menyatakan bahwa dia siqah, tapi dia orang Murjiah(penganut ajaran Murjiah); (5)al-`Ajilii al-Kufii menyatakan bahwa dia orang yang paling paham disbanding murid-murid Ibraahiim; (6) Abuu Daawud at-Taa’ii menyatakan bahwa hammad adalah orang dermawan; (7)Ibn. `Adii menyatakan bahwa Hammad banyak meriwayatkan hadis terutama dari Ibraahiim, hadisnya banyak diriwayatkan menyendiri dan banyak yang asing, Hammad adalah orang yang berpegang pada hadis dan tidak ada buruknya( ). Abuu Bakr bin Abii Syaibah menyatakan bahwa Hammad meninggal pada tahun 12 H, sebagian ada yang menyatakan pada tahun 19H.
[41] `Abdullah bin `Abdir Rahman Abuu Muhammad ad-Daarimii, Sunan ad-Daarimii, diberi notasi dan catatan oleh Fawaaj Ahmad Zamralii dan Khalid Sab` al-`ilmii(Beirut: Daar al-Kitaab al-`Arabii, 1407H), Cet. I, Juz. I, hlm. 88.
[42]Yusuuf bin az-Zakii `Abdir-Rahman Abuu al-Hajjaaj al-Mizzi, diberi notasi dan diberi catatan oleh Basyaar Awaad Ma`ruuf( Beirut: Muassasah ar-risalah, 1980),Cet.I, juz.XXVI, 353-354. Diantara pendapat kritikus hadis terhadap `Abdul `A`alaa bin `Aamir al-Tsa`labii, antara lain: (1)`Abdullah bin `Abii al-Aswaad meriwayatkan dari Yahyaa bin Sa`iid, aku bertanya tentang hadisnya Sofyaan as-Tsaurii tentang hadis-hadis `Abdul `A`alaa bin `Aamir al-Tsa`labii melalui jalur Ibn al-Hanifah, maka sofyan menyatakan bahwa hadis-hadisnya adalah da`if; (2) Ahmad bin Hanbal segala hadis yang diriwayatkan `Abdul `A`alaa bin `Aamir al-Tsa`labii melalui jalur Ibn al-Hanifah pada hakekatnya adalah sebuah kitab yang dia ambil dari ibn Hanifah padahal ia tidak pernah mendengarnya; (3) Demikian juga komentar yang lainnya tentang hadis `Abdul `A`alaa bin `Aamir al-Tsa`labii melalui jalur Ibn al-Hanifah sebuah kitab yang dia ambil dari ibn Hanifah padahal ia tidak pernah mendengarnya sama sekali.
[43] Muhammad bin Ja`far al-Kattanii, ar-Risaalah al-Mustatrafah Libayaan Masyhur Kutub as-Sunnah al-Musannafah, diberi notasi dan diberi catatan oleh Muhammad al-Muntasar Muhammad az-Zamzamii al-Kattanii(Beirut: Daar al-Basyaair al-Islamiyyah, 1986), Cet. IV, hlm. 194.