Senin, 15 Desember 2008

MENDEKTEKSI SYADZ DALAM MATAN HADIS: SEBUAH

MENDEKTEKSI SYADZ DALAM MATAN HADIS: SEBUAH
UPAYA MENENTUKAN KAUALITAS MATAN HADIS
By M. Akib Muslim, M. Ag.
Abstract
In this study, there are three points to be discussed, namely; 1) the concept of Irregularity (syadz) in text of tradition; 2) the methode used to determine syadz and; 3) Some conditions can be indentified as a place of syadz. The study about text of tradition, there are two rules to detemine text quality , namely, Syadz(Irregularity) and Illah. In this discuss only studied about syadz. Syadz in scholars`s view are the tradition transmitted by a reliable reported(siqah) but different or contradiction with others(some reliable reported(Siqaat). For determine that the text or tradition includes syadz or no, can be accured with comperation between one transmittion in side, and transmittions reported or transmitted in the same tradition in other side. By this step, Syadz can be known and can be detected. There are conditions can be indetified as a palce of syadz, namely; 1) Idraj(interpolaed); 2) Idhtirab(distrurbed); 3) qalb ;4) Tashif and tahrif and;5) Ziyadatu thiqah(addition by a reliable reported. All of technical terms are different in substation, but same in condition, namely Contradition between a reliable reported(siqah) and others(some reliable reported(Siqaat) in the same transmittion.

A. Pendahuluan

Hadis dalam pengertian kebanyakan ulama hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan serta hal ikhwal Nabi[1] merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Mengingat kedudukannya dalam hirarki hukum Islam, maka secara pasti memberikan pemahaman bahwa hanya dengan kualitas yang valid dan kapabel saja, hadis--sanad dan matan--dapat diterima.
Hadis bila dilihat dari segi periwayatannya, berbeda dengan al-Qur’an. Pada bagian yang kedua ini, berlangsung secara mutawatir, Sedangkan pada bagian yang pertama dalam periwayatannya, sebagian berlangsung secara mutawatir,[2] dan sebagian yang lain berlangsung secara âhâd[3]. Karenanya, hadis yang berkedudukan ahad, para ulama’ berbeda pendapat; sebagian mengatakan qat`î wurud, dan sebagian mengatakan sebagai zanni wurud[4]. Terlepas dari dua pendapat ini, yang jelas hadis âhâd berbeda dengan al-Qur’an yang secara seluruhannya adalah qat`î wurud . Untuk itu, hadis yang memiliki derajat ahad, perlu diadakan penelitian.

Dalam penelitian sebuah hadis, sanad dan matan menduduki posisi yang sangat urgen. Hal ini terjadi karena penelitian hadis tidak cukup satu segi saja, melainkan keduanya saling mempengaruhi. Penelitian sanad saja tidak dapat menentukan bahwa hadis tersebut mempunyai kualitas sahih, begitu pula sebaliknya. Keduanya saling mempengaruhi, disitu ada penelitian sanad, maka penelitian matan harus dilakukan. Namun begitu, Posisi penelitian sanad sedikit lebih tinggi, dibandingkan dengan penelitian matan hadis. Artinya bahwa penelitian terhadap sanad terlebih dahulu guna mengetahui kualitas sanad, untuk kemudian dilakukan dengan penelitian matan hadis[5]

Penelitian tentang matan hadis jarang dilakukan oleh ulama hadis bahkan dapat dikatakan juga konsentrasi penelitian lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian sanad hadis. Konsekwensinya adalah bahwa kitab-kitab yang berkaitan dengan penelitian matan hadis sangat sedikit, sehingga memunculkan sebauh rumusan bahwa nilai akurasi dari penelitian matan hadis adalah variatif. Hal ini dapat di buktikan dengan maraknya ulama hadis dalam menetapkan tolak ukur atau standar dalam menetapkan kualitas matan hadis[6].
Secara umum, penelitian terhadap sanad dengan bercirika pada lima unsur 1) sanad bersambung; 2) seluruh Periwayat dalam sanad bersifat `adil; 3) seluruh periwayat dalam sanad bersifat dabt}; 4) Sanad hadis harus terhindar dari Syuzuz (kejanggalan); dan 5) sanad hadis terhindar dari `Illat (cacat)[7] . Kelima unsur tersebut menjadi tema sentral dalam membicarakan hadis Nabi. Apabila lima unsur sudah terpenuhi, maka penelitian terhadap matan hadis dapat dilakukan.
Untuk penelitian terhadap matan hadis, lima unsur diatas tidak dapat digunakan kesemuanya, akan tetapi lebih tertuju pada dua unsur yang terakhir, yaitu; 1) matan hadis harus terhindar dari Syuzuz (kejanggalan); dan 2) matan hadis terhindar dari `Illat (cacat)[8]. Dua unsur ini adalah merupakan kaedah yang paten dalam menentukan kualitas dari matan hadis yang dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan kaedah mayor--sebagimana diungkapkan oleh Syuhudi Ismail. Untuk keedah minornya ulama hadis kesulitan dalam menetapkan batasanya.
Penelitian terhadap Syuzuz dan `Illah yang terdapat dalam matan hadis Nabi--diakui oleh ulama hadis--adalah sesuatu yang sulit. Hal ini dasarkan pada minimnya kitab-kitab hadis yang membahas tentang keduanya. Lain halnya dengan pembahasan yang ada keterkaitanya dengan sanad, banyak ditemukan kitab-kitab yang membahas persoalan-persoalan tersebut.
Berangkat dari kesulitan tersebut, peneliti berusaha untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang ada keterkaitan dengan permasalahan tersebut. Peneliti berusaha dan berupaya untuk memberikan piranti yang berguna dalam memahami dan juga memberikan langkah aplikasi dalam matan hadis tersebut mengalami Syuzuz(kejanggalan-kejanggalan) ataupun `Illah. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak dibahas yang ada keterkaitanya dengan Illah, lebih konsentrasi pada pembahasan Syadz.

B. Pengertian Syadz
Secara bahasa kata syadz dengan akar kata berasal dari kata bahasa arab yang merupakan formulasi dari lafaz yang artinya menyendiri, meyimpang, tidak sesuai dengan aturan(kaedah), menyeleweng[9]. Ada juga yang mengartikan dengan memisahkan diri atau mengasingkan diri kumpulan[10].
Sedangkan menurut istilah, banyak ditemukan beberapa definisi yang berkaitan dengan syadz, antara lain:
1. Muhammad Luqman as-Salafi, Ihtimam al-Muhadissin fi naqd al-Hadis

والشذوذ فى المتن: يعنى مخالفة الراوي الفرد لمن هو احفظ منه واضبط او لجماعة فى نقل المتن بالزيادة او النقصان او القلب فى المتن او يكون المتن الذي جاء به الفرد مضطربا او مصحفا [11]
“Lukman as-Salafi memberikan definisi bahwa yang dimaksud syadz adalah Menyalahinya seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadis dengan rawi yang lain yang lebih hafidz, lebih dhabit, atau dengan mayoritas rawi dalam penukilan matan, disebabkan kerena penambahan atau pengurangan, qalb dalam matan, atau matan itu ada secara mandiri melalui matan mudharab dan matan mushahaf[12]”.
2. Muhammad Idris as-Syafi`ii, menyatakan

الشافعي يقول ليس الشاذ من الحديث ان يروى الثقة حديثا لم يروه غيره انما الشاذ من الحديث ان يروى الثقات حديثا فيشذ عنهم واحد فيخالفهم[13]
“Imam Syafi`i mengatakan Bukanlah termasuk Syadz apabila seorang rawi yang siqah meriwayatkan sebuah hadis yang tidak diriwayatkan oleh rawi yang lainnya, akan tetapi yang dikatakan syadz adalah rawi-rawi yang siqah meriwayatkan sebauh hadis, sedangkan seorang rawi yang juga meriwayatkan hadis yang sama mengalami kejanggalan dan menyalahi dari mereka.”

3. Salah al-Din ibn Ahmad al-Idliby, Manhaj Naqd al-Matn `ind `Ulum al-Hadis al-Nawawi

حديث الشاذ هو الحديث الذي يرويه الثقة مخالفا لروية من هو اولى منه بالثقة:لكثرة العدد او زيادة حفظ ويسمى مقابله الحديث المحفوظ [14]
Menurut al-Idliby, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang siqah berbeda dengan dengan riwayat yang lebih siqah lantaran jumlahnya yang banyak atau lebih kuat hafalannya. Sebagai pembanding dari istilah syadz ini adalah istilah mahfudz
Ketiga definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, yang kesemuanya bermuara pada adanya penyendirian dan menyelahinya rawi hadis dengan rawi lain yang secara intelektual lebih dapat dipertanggung jawabkan. Yang jelas, strata intelektual(adil dan dabit) menjadi stressing poin dalam memberikan justifikasi terhadap perawi yang syadz tersebut[15], selain juga faktor kuantitas dari perawi yang meriwayatkan hadis yang serupa.
C. Macam-Macam Syadz
Ketika membaca lembaran-lembaran dari beberapa kitab hadis, dapat di jabarkan dan dijelaskan bahwa syadz memiliki beberapa macam, yaitu:

1. Syadz dalam sanad
Untuk memberikan penejelasan terhadap syadz dalam hadis, hanya dapat dijelaskan melalui contoh hadis. Suatu misal, hadis yang berkenaan dengan perbudakan;
[16] حدثنا بن أبي عمر حدثنا سفيان عن عمرو بن دينار عن عوسجة عن بن عباس أن رجلا مات على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يدع وارثا إلا عبدا هو أعتقه فأعطاه النبي صلى الله عليه وسلم ميراثه قال أبو عيسى هذا حديث حسن والعمل عند أهل العلم [17]
Menurut penelitian Ibn Hajar al-Asqalani, matan hadis ini memilki banyak sanad. Beberapa mukharij, sanadnya melalui Sufyan ibn `Uyainah. Sanadnya Ibn `Uyainah sama dengan ibnu Juraij dan periwayat lainya. Hanya Hammad bin Zayd yang tidak sama. Adapun sanadnya Ibn `Uyainah, ibn Juraij dan periwayat yang lain setelah Awsajah, ada Ibn `Abbas adalah sampai kepada Nabi. Sedangkan sanad Hammad ibn Zayd tidak saman setekah Awsajah[18], langsung sampai Nabi akan tetapi tanpa melalui Ibn `Abbas[19].
2. Syadz dan matan
Abu Dawud dan Tirmizi meriwayatkan hadis dari Abd Wahid ibn Ziyad dari al-A`masy dari Saleh dari `Abu Hurairah Secara marfu`:
حدثنا بشر بن معاذ العقدي ثنا عبد الواحد بن زياد ثنا الأعمش عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى أحدكم ركعتي الفجر فليضطجع على يمينه [20]
Al-Baihaqi berkata:” Dalam meriwayatkan hadis ini, Abdul Wahid berbeda dengan periwayat yang lain yang jumlahnya lebih banyak. Karena orang yantg meriwayatkannya dari perbuatan Rasululllah, bukan dari sabda beliau. Hanya `Abdul Wahid sendiri mengunakan redaksi seperti ini. Sedangkan murid-murid al-A`masy yang lain tidak meriwayatkan seperti in[21]i.
3. Syadz terdapat pada Sanad dan Matan
ان النبي صلي الله عليه وسلم كان يقصر في السفر ويتم ويفطر ويصوم
Hadis ini dikeluarkan oleh ad-Daruqutni dalam kitab Sunannya melalui jalur `A’isyah. Hadis ini seluruh rawinya adalah siqah, Imam ad-Daruqutni telah memberikan kreteria sahih, akan tetapi pada kenyataannya hadis ini mengandung syadz dari dua segi, yaitu dari sanad dan matannya. Dari segi sanad, hadis ini menyalahi dari hadis yang menjadi kesepakatan para rawi siqah yang meriwayatkan dari `A’isyah. Bahwasanya hadis yang yang diriwayatkan dalam sunan ad-Daruqutni, tidak marfu` akan tetapi mauquf. Sedangkan dari segi matan mengalami kejanggalan yaitu tentang ke-ajeg-an Nabi tentang qasar sholat ketika dalam perjalanan[22].
D. Metode Mendeteksi Syadz
Sebuah hadis muncul tidak serta merta diriwayatkan oleh satu orang saja dalam satu tema, akan tetapi hadis muncul dengan adanya nuasa yang kebersamaan sahabat-sahabat Nabi dalam mendengarkan hadis-hadis yang dilantunkan dan disabdakan oleh Nabi. Konsekwensinya adalah bahwa hadis-hadis dengan tema yang sama akan mudah terdeteksi apabila mengalami penyelewengan dan penyalahgunaan pembacaan.
Standar kompentensi menjadi syarat utama dalam melihat dan meneliti apakah hadis-hadis yang diriwayatkan seorang rawi itu siqah atau tidak, bahkan kesiqahan saja menjadi bumerang apabila menyalahi dari perawi lain yang lebih siqah-- yang dalam istilah hadis dikenal dengan Syadz.
Untuk mengetahui apakah hadis tersebut mengalami syadz atau tidak, ulama hadis mempunyai kata sepakat untuk memperbandingkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lain(metode muqaran). Adapun metode muqoran--sebagaimana dikatakan oleh Hasjim Abbas--adalah sebuah upaya uji redaksional, yang berpola pada tiga hal; 1) Upaya uji redaksional antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lain; 2) Uji redaksional antara riwayat dengan al-Qur`an; dan 3) Uji redaksional antara riwayat dengan hadis mutawatir[23].
E. Beberapa Kondisi Yang Terindikasi Tempat Syadz( Mukhalif as-Siqah) dalam Matan hadis
Sebenarnya untuk mengatakan bahwa kondisi yang sejatinya kurang tepat, akan tetapi lebih tertuju pada pengertian bahwa kondisi lebih dominan dan lebih tertuju pada persoalan menyalahi dari perawi yang lebih siqah dapat dikatakan lebih tepat. Artinya bahwa kondisi ini lebih tertuju pada subtansi dari pengertian syadz itu sendiri, yaitu riwayat yang diriwayttkan oleh orang yang siqah menyalahi dari riwayat orang yang lebig siqah.Adapun beberapa kondisi yang terindikasi terjadinya syadz dalam matan hadis antara lain:
1. Idraj
Idraj dalam istilah ahli hadis mempunyai pengertian penjelasan makna hadis yang asing yang disisipkan oleh perawi untuk memudahkan memahami matan hadis. Penejelasan yang dilakukan rawi tersebut bukanlah berasal dari kalam kenabian melainkan perkataan muhadis sebagai upaya penafsiran atau penjelasan hadis[24].
Keberadaan idraj sebagai bentuk penafsiran dari lafad hadis yang sulit berguna untuk memberikan kepahaman terhadap orang awam(bukan ahli hadis) terhadap redaksi kenabian, sehingga untuk menjelaskan makan lafal dan maksudnya seorang rawi memberikan sisipan dan penjelasan yang dirangkai dengan kalam kenabian. Dengan tidak ditemukannya tanda yang memisahkan antara hadis dan ucapan rawi, sehingga menimbulkan anggapan bahwa semuanya adalah materi pokok dari hadis[25].
Metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi riwayat yang mengandung idraj tidak lain hanya dengan melakukan metode komparasi. Artinya antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lain yang mempuyai kesamaan redaksi diperbandingkan untuk selanjutnya dicari perbedaan dari riwayat tersebut[26].
حديث أخبرناه أبو نعيم أحمد بن عبدالله بن أحمد بن إسحاق الحافظ بأصبهان نا عبدالله بن جعفر بن أحمد بن فارس ثنا يونس بن حبيب ثنا أبو داود ثنا زهير عن الحسن بن الحر عن القاسم بن مخيمره قال أخذ علقمة بيدي وذكر أن ابن مسعود أخذ بيده وذكر ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم أخذ بيده فعلمه التشهد التحيات لله والصلوات والطيبات والسلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله فإذا قلت ذلك فقد تمت صلاتك فإن شئت فقم وإن شئت فاقعد[27]
Kata yang bercetak tebal dan bergaris bawah adalah bukan berasal dari hadis Nabi, akan tetapi adalalah perkataan ibn. Mas`ud[28].
2. Idhtirab
Idhtirab adalah hadis yang diriwayatkan melalui jalur yang berbeda yang saling berdekatan dengan adanya kesamaan dari kedua riwayat dan tidak mungkin adanya tarjih diantara kedua hadis tersebut. Karena jika dimungkin adanya tarjih diantara keduanya maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan mudhtarib[29].
حدثني يحيى عن مالك عن أبي حازم بن دينار عن سهل بن سعد الساعدي ان رسول الله صلى الله عليه وسلم جاءته امرأة فقالت يا رسول الله اني قد وهبت نفسي لك فقامت قياما طويلا فقام رجل فقال يا رسول الله زوجنيها ان لم تكن لك بها حاجة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها إياه فقال ما عندي الا إزاري هذا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان أعطيتها إياه جلست لا إزار لك فالتمس شيئا فقال ما أجد شيئا قال التمس ولو خاتما من حديد فالتمس فلم يجد شيئا فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم هل معك من القرآن شيء فقال نعم معي سورة كذا وسورة كذا لسور سماها فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم قد انكحتكها بما معك من القرآن[30]
3. Al-Qalb
Qalb secara bahasa berarti menggeser sesuatu dari tempatnya. Sedangkan memurut istilah adalah menganti suatu lafaz dengan yang lainnya dalam sanad atau matan hadis dengan mendahulukan atau menakhirkan lafad tersebut[31].
Untuk mengetahui terjadinya al-Qalb dalam hadis tidak cukup dengan hanya mengatakan hadis ini maqlub kerna bertentangan dengan riwauyat yang lain, akan tetapi harus disertai dengan petunjuk-petunjuk dari perincian kemaqlubannya secara mendetail[32].
Al-Qalb terjadi dalam hadis dapat dilihat pada hadis sahih yang diriwayatkan oleh imam Muslim melalui jalur Abu Hurairah tentang hadis yang bersubtansi pada tujuh orang yang mendapatkan naungan, yaitu:
حدثني زهير بن حرب ومحمد بن المثنى جميعا عن يحيى القطان قال زهير حدثنا يحيى بن سعيد عن عبيد الله أخبرني خبيب بن عبد الرحمن عن حفص بن عاصم عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله الإمام العادل وشاب نشأ بعبادة الله ورجل قلبه معلق في المساجد ورجلان تحابا في الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال فقال إني أخاف الله ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه[33]
Hadis diatas juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam tema yang sama. Hanya saja riwayat al-Bukhari lebih sahih dibandingkan riwayat Imam Muslim[34].
4. Tashif dan Tahrif.
Para kritikus pada awalnya tidak membedakan antara tashif(salah ucap karena pengubahan huruf) dan tahrifa( salah ucap karena perbedaan harakat). Keduanya adalah merupakan bentuk kesalahan kutip dari sebuah kitab hadis. Selain itu, keduanya adalah hasil penukilan bukan hasil dari periwayatan (pendengaran)langsung.
Tashif menurut bahasa adalah mengubah redaksi suatu kalimat sehingga makna yang dikehendaki semula menjadi berubah. Menurut istilah--0sebagaimana dikemukan oleh ibn. Hajar--adalah hadis yang menngalami perubahan tanda baca. Sedangkan tahrif adalah hadis yang terdapat perubahan syakal dan hurufnya masih asli[35].
Untuk mengetahui terjadinya Tashif dan Tahrif dalam hadis tidak cukup dengan hanya mengatakan hadis ini maqlub kerna bertentangan dengan riwauyat yang lain, akan tetapi harus disertai dengan penguasaan bahasa Arab secara mendetail dan Aplikatif
وقد انا ابو الحسن محمد بن عبد الواحد قال انا ابو الحسن الدارقطني ان ابا موسى محمد بن المثنى العنزي يحدث بحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يأتي احدكم يوم القيامة ببقرة لها خوار فقال او شاة تنعر[36]
Dalam hadis diatas, salah satu perawi mengalami tashif, yang benar dari redaksi diatas adalah او شاة تيعر , yaitu dengan huruf ya` yang semakna dengan lafal تثغو .Hadis ini tidak dapat diketahui kebenarannya kecuali pakar ilmu bahasa dan paham betul terhadap hadis-hadis yang garib.
5. Ziyadah Tsiqah.
Ziyadah Siqah adalah penyendirian seorang yang siqah dalam periwayatan hadis dari segi lafad, jumlah sanad atau matan. Menurut Mahmud Tahhan bahwa yang dimaksud dengan ziyadah Siqah adalah lafad-lafad tambahan yang dilakukan oleh seorang rawi, akan tetapi riwayat yang lain tidak menyebutkan tambahan tersebut[37].
Ibn. Salah membagi ziyadah as-Siqah menjadi tiga bagian pokok yang terangkum dalam:
1. Jika menafikan apa yang diriwayatkan oleh rawi-rawi siqah lainnya, hukumnya adalah tertolak[38].
حدثنا وكيع حدثنا موسى بن علي عن أبيه قال سمعت عقبة بن عامر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهي أيام أكل وشرب[39]
Hadis tersebut dalam seluruh jalurnya tanpa mengunakan يوم عرفة dan hanya datang dari jalur Musa ibn `Ali ibn Rabbah dari ayahnya dari `Uqbah ibn `Amir dan hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi,Abu Dawud Sunan al-Baihaqi al-Kubra.
2. Jika riwayat tidak menyalahi dari perawi yang lain. Sekelompok perawi yang siqah tidak bertentangan dengan periwayat yang lainnya, periwayatan seperti ini dapat diterima.
وحدثني علي بن حجر السعدي حدثنا علي بن مسهر أخبرنا الأعمش عن أبي رزين وأبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرار وحدثني محمد بن الصباح حدثنا إسماعيل بن زكريا عن الأعمش بهذ[40]ا الإسناد مثله ولم يقل فليرقه
Ziyadah as- Siqah dalam hadis diatas adalah kata فليرقه . Lafad ini tidak diriwayatkan oleh murid-murid al-A`mash yang lain, sedangkan `Ali ibn Mashar adalah orang yang siqah sehingga ziyadah ini dapat diterima.
3. Jika terjadi penambahan lafad pada suatu hadis yang tidak disebutkan oleh periwayat yang lain, maka hukumnya adalah `am dan makhsus[41].

خبرنا خالد بن مخلد ثنا مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضان صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر وعبد ذكر أو أنثى من المسلمين قيل لأبي محمد تقول به قال مالك كان يقول به[42]
Abu `Isa at-Turmuzi mengatakan bahwa hanya Malik yang telah meriwayatkan diantara para siqah tentang tambahan من المسلمين . `Abdullah ibn `Umar dan Ayyub serta yang lainnya telah meriwayatkan hadis dari Nafi` dari Ibn. `Umar tanpa penambahan ini[43].
F. Sebauah Catatan tentang Syadz
Sebenarnya untuk mendeteksi langkah mandiri dalam menelusuri syadz adalah suatu hal yang sulit bagi civitas akademik. Artinya bahwa seorang peneliti yang notebenenya bukan muhadis, al-hafidz atau lebel-lebel lain yang melekat pada ahli hadis, meneliti Syadz sesuatu yang mustahil(untuk mengatakan sangat jarang). Hal ini dikarenakan adanya sistem perbandingan dan hafalan yang kuat terhadap sanad dan matan hadis. Yang hanya bisa dilakukan oleh civitas akademika adalah langkah metodologis dari hadis-hadis yang telah ditentukan oleh para muhadissin bahwa hadis ini mengalami syadz.
Ulama-ulama yang mengarang tentang hadis dalam lembaran-lembaran karyanya secara berulang-ulang memberikan contoh sebagaimana contoh-contoh yang diberikan oleh para muhaddisin. Yang bisa mereka lakukan adalah hanya menjelaskan langkah metodologi tentang cara pendeteksian matan hadis yang mengandung Syadz.
Akhirnya, tulisan ini hanyalah bersifat pelengkap dari tulisan-tulisan yang ada. Kritik saran yang sifat memberikan wawasan dan perbaikan sangat diharapkan dan dinantikan.























DAFTAR KEPUSTAKAAN


‘Idlibī, S{alâhuddīn ibn Ah{mad al-‘Idlibī, Manhaj Naqd al-Matn. Bairut: Dâr al-afaq al-Jadîdah, 1983.

Asqalanī, Al-Imam al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalanī, Bulugul Maram min Adillah al-Ahkam. Surabaya: Syirkah Maktabah Ahmad ibn Sa`ad ibn Nabhan wa auladih,[t.th].

Bagdady, Al-Khatīb, Kitab al-Jami lil akhlaq rawi wa al-`Adab as-Sami`(CD: maktabah alfiyah), Juz I, hlm. 295.

Hakim, Imam Abī Abdillah Muhammad ibn `Abdillah al-Hafidz an-Naisabury, Kitab ma`rifah ulum al-Hadis. Kairo: Maktabah al-Mutanabi,[t.th].

Hasjim Abbas, Kritik matan versi Muhaddisin dan Fuqaha. Yogyakarta: Teras, 2004.

Ibn. Khuzaimah, Sahih Ibn Khuzaimah. CD: Maktabah Alfiyah. Juz.II..

Imam ad-Darimī, Sunan ad-Darimī CD: Maktabah alfiyah Li sunnah an-Nabawiyyah. Juz.1.

Imam al-Baehaqī, Sunan al-Baehaqī al-Kubra. CD: Maktabah alfiyah juz. IV..

Imam Malik, Muatho` Imam Malik. CD: Maktabah alfiyah., Juz.II.

Imam Muslim, Sahih Muslim. CD: Maktabah alfiah.

Jawa>bi>, Muh}ammad T}a>hir, Juhu>d Al-Muh}adissi>n fi> naqd h}adi>s Naba>wi> as-Syari>f. Mesir: Da>r Al-Mansyurat, 1999..

Khat}I>b, Muh}ammad ‘Ajja>j, ‘Us}ulah}uh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989..

Musfar `Azamillah, Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah . Riyad: [t.p], 1984.

Nawwī, Abû Zakariya Yah}ya ibn Syara>f, al-Taqrîb an-Nawâwî Fann Us}ûl al-h}adîs .Kairo: Abd. Ar-Rah}mân Muh}ammad, [t.th.]., hlm. 2.

Salafī, Muammad Luqman as-Salafi, Ihtimam al-Muhadissin fi naqd al-Hadis. [t.tp]: Maktabah as-Salafi, 1408H.

Sibâ’î, Mus}t}afâ, As-Sunnah wa makânatuh fî Tasyrî’ al-Islâmî. [t.tp.], Dâr al- Qawwîyah, 1966.

Suyût}î, Jala>luddîn Abd. Ar- Rah}mân ibn Abî Bakr, Tadrîb ar-Râwî Syarh} Taqrîb an-Nawâwî. Beirut: Dâr al-Ah}yâ’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979. Juz. II.

Syuhud, M. Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

---------, Hadis Nabi Menurut Pembela dan pengingkarnya.. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Syuhudi, M. Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Tahhan, Mahmud, Taisir Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr, 1991..

Tirmizî, Al-Imâm al-hâfiz Abî ‘Îsâ Muhammad ibn ‘Îsâ ibn Saurah, Sunan at-Tirmizî al-Jâmi’ as-sahîh.Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Juz. I

Warson, Ahmad Munawir, kamus al- Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

[1] Muhhammad ‘Ajjaaj al-Khattib, ‘Usuul al-hadîs ‘Ulûmuh wa Mustalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 27.

[2] Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada tingkatan sanadnya, yang menurut tradisi, mustahil mereka sepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sebagian ulama ada yang menambahkan unsur penyaksian panca indera sebagai salah satu persyaratan hadis mutawatir tersebut. Lebih lanjut lihat, Jala>luddîn Abd. Ar- Rah}mân ibn Abî Bakr as-Suyût}î, Tadrîb ar-Râwî Syarh Taqrîb an-Nawâwî ( Beirut: Dâr al-Ahyâ’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979), Juz. II, hlm. 176.
[3] Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak mencapai derajat hadis mutawatir. Lihat, Mustafâ as-Sibâ’î, As-Sunnah wa makânatuh fî Tasyrî’ al-Islâmî ([t.tp.], Dâr al- Qawwîyah, 1966), hlm. 150.

[4] Salâhuddîn ibn Ahmad al-‘Idlibî, Manhaj Naqd al-Matn ( Bairut: Dâr al-afaq al-Jadîdah, 1983), hlm. 239-240.
[5] Ibid.

[6] Muhammad Tahir Al-Jawabi, Juhud Al-Muh}adissin fii naqd hadis Nabawi as-Syarif(Mesir: Dar Al-Mansyurat, 1999), hlm. 345-376.
[7] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Sejarah ( Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm.111. Ia selain memberikan kaedah mayor (lima kriteria diatas), ia juga memberiakn kaedah minor bagi masing-masing kriteria itu. Lima Syarat dari kaedah mayor terbagi menjadi; tiga syarat yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad saja, dan dua macam syarat yang disebutkan terakhir, selain berkenaan dengan sanad juga berkaitan dengan matn. Lihat Abû Zakariya Yah}yâ ibn Syaraf an-Nawâwî, al-Taqrîb an-Nawâwî Fann Us}ûl al-h}adîs(Kairo: Abd. Ar-Rahmân Muhammad, [t.th.]), hlm. 2.

[8] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela dan pengingkarnya(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 78-80.

[9] Ahmad Warson Munawir, kamus al- Munawir(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 704.
[10] Muhammad Luqman as-Salafi, Ihtimam al-Muhadissin fi naqd al-Hadis([t.tp]: Maktabah as-Salafi, 1408H), hlm. 294.
[11] Ibid. 370.
[12] Ibid.,. Mengenai istilah-istilah ini dapat dilihat secara lengkap dalan buku yang sama, dari hlm. 370-390. Namun dalam pembahasan ini, juga disingggung meskipun tidak banyak.
[13] Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad ibn `Abdillah al-Hafidz an-Naisabury, Kitab ma`rifah ulum al-Hadis(Kairo: Maktabah al-Mutanabi,[t.th]), hlm.119.
[14] Salah al-Din ibn Ahmad al-Idliby, Manhaj Naqd al-Matn `ind `Ulum al-Hadis al-Nawawi(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 192.
[15] Ibn Sholah menolak definisi yang kedua dan ketiga. Beliau memberikan definisi yang semakna dengan pengertian yang diberikan oleh Imam Syafi`I yang juga dipakai oleh Luqman as-Salafi, yaitu perbedaan yang terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang lebih tinggi dikarena banyak jumlahnya atau karena adanya kelebihan daya hafal.. Lihat, Ibid., Luqman…, hlm. 295.
[16] Hadis ini diriwayatkan oeleh Imam Tirmizi, An-Nasa`iy dan ibn Majah dengan sanad yang sama.
[17] Imam Tirmizi, Sunan at-Tirmizi(CD: Maktabah alfiyah), Juz. IV. hlm.422.
[18] Derajat beliau dari segi jarh wa ta`dil tidak masyhur. Hal ini sebagaimana yang sampaikan para kritikus hadis, seperti ar-Razy, an-Nasa`I. Sedangkan Abu Zur`ah ar-Razi memberikan status tsiqah. Lihat Tuhfatul Ahwady(CD: Mausu`ah al-Hadis as-Syarif II, 1991).
[19] M. Syuhudi Ismail, Kaedah kesahihan sanad Hadis(Jakarta: Bulan Bintang,1995), hlm. 142. Yang menjadi inti masalah ke-syadz-an sanad hadis diatas adalah status kesahabatan Awsajah diragukan dikalangan Muhadissin, namun jika status kesahabatannya disepakati , maka hadis ini tidak dipersoalkan, karena pada akhirnya sampai kepada Nabi.
[20] Ibn. Khuzaimah, Sahih Ibn Khuzaimah(CD: Maktabah Alfiyah) Juz.II, hlm.167.
[21] Menurut Kitab tadrib ad-Rawi karya as-Suyuti hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi, Abu Dawud melalui jalur Abdul Waahid ibn Ziyad dari al-`A`mash dari Abi Salih dai Abu Hurairah yang berbunyi: jika Salh seorang dari kamu hendak melakukan sholat….adalah marfu`. Akan Tetapi Imam al-Baihaqi mengatakan bahwa Abdul Waahid menyalahi dari kebanyakan rawi dalam hadis ini.Hampir semuanya meriwayatkan dengan meriwayatkan hadis tersebut berdasarkan pada perbuatan Nabi, bukan pada perkataan Nabi. Abdul Waahid menyalahi terhadap seluruh murid al-`A`mash pada lafal hadis ini., Bahkan secara eksplisit al-Baihaqi mempertayakan apakah Abdul Wahid seoarang rawi yang hafidz dan siqah . Kalau ia seoarang siqah dan tidak orang yang meriwayatkan hadis tersebut, maka penyendiriaannya dapat diterima dan sahih. Ibid. juzI, hlm 235.


[22] Al-Imam al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulugul Maram min Adillah al-Ahkam (Surabaya: Syirkah Maktabah Ahmad ibn Sa`ad ibn Nabhan wa auladih,[t.th]), hlm.87.

[23] Upaya uji redaksional ini dilatar belakangi oleh adanya data dukementasi hadis secara lisan dan dilakukan untuk memperoleh kepastian akan kebenaran dan keutuhan lafal dalam komposisi kalimat, uju kebenran teks matan juga termasuk uji historis kejadian yang didiksipsikan oleh periwayat selaku saksi primer atu saksi sekunder dan juga penelusuran nisbah matan hadis kepada riwayatnya sehingga diketahui hadis tersebut marfu` atau munqati`. Hasjim Abbas, Kritik matan versi Muhaddisin dan Fuqaha(Yogyakarta: Teras, 2004), hlm.85-86.
[24] Musfar `Azamillah, Maqayis Naqd Mutun as-Sunnah(Riyad: [t.p], 1984), hlm.135. Ada pendapt yang lain yang mengatkan bahwa mudraj adalah ibarat atau sisipan yang dimasukkan didalam hadis baik dalam perkataan sendiri atau dari perkataan orang lain. Definisi yang lain mengatakan bahwa sesuatu yang disebutkan secara mutassil dalam hadis tanpa terpisah, namun tidak termasuk dalam bagian hadis tersebut. Muhammd Luqman Salafi, Ibid., hlm. 320. Lihat juga Nuruddin `itr, Manhaj …, hlm. 439.
[25] Idraj adakalanya berada diawal, ditengah dan diakhir matan. Idraj diakhir matan adalah yang paling dominan terjadi. Tidak jarang idraj merupakan hasil istimbat seorang rawi atas hukum syara` dari teks-teks kenabian. Pada kasus ini seorang rawi rawi menyebutkan hasil istimbatnya kedalam teks (matan) hadis tanpa menjelaskan bahwa sebagaian matannya adalah hasil istimbat, sehingga rawi-rawi yang lain juga meriwayatakannya bahkan disandarkan kepada Nabi. Ibid., hlm. 136.
[26] Idraj dapat diketahui dengan berpedoman pada; 1) adanya riwayat yang memisahkan lafal yang mudraj dari pokok hadis;2)Adanya penegasan dari rawi yang bersangkutan atau dari imam hadis yang luas wawasannya dan; 3) susunan lahiriyyah dari matan hadis. Nuruddin `Itr, Ibid., hlm. 439-440. Musfar Azamillah menyebutkan bahwa untuk mengetahui idraj selain memperbandingkan, ada satu cara yang lain yaitu dengan melihat redaksi dari matan hadis tersebut, apakah itu datang dari rasul atau mustahil kemunculan lafal ini dari rasulullah. Metode ini hanya dapat diketahui dengan Analogi independen an-sich dari matan hadis. ibid., hlm. 139.
[27]Al-Fasl lil wasli al-Mudraj(CD: Maktabah alfiyah), Juz.I hlm.102-103.
[28] Hal ini dapat dilhat dari riwayat hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sulaiman ibn Dawud at-Tayalisi dari Abi Khaitsamah Zuhair ibn Muawiyyah al-Ju`fi tidak mengunakan tambahan matan hadis yang diriwayatkan oleh Ibn.Mas`ud. Demikian juga Musa ibn. Abi Dawud at-Dhi`biy, Abu an-Nadhir Hasyim al-Kanaaniy, Yahya ibn Abi Bakar al-Karamaaniy, Abu Gassaan Malik ibn `Ismail an-Nahdiy, Ahmad ibn Abi `Abdillah ibn. Yunus al-Yarbuu`iy, Yahya ibn Yahya an-Naisabuury, `Ali ibn al-Ja`di al-Bagdady meririwayatkannya dari Abi Khaitsamah Zuhair ibn Muawiyyah al-Ju`fi sebagimana riwayat Abu Dawud. Ibid.
[29] Dalam mudhdarib ada dua syarat yang harus dipenuhi,yaitu; 1) antara hadis tersebut seimbang kualitasnya sehingga tidak dapat diunggulkan salah satunya . Bila ada diantara keduanya dapat diinggulkan, maka menjadi hadis yang ma`ruf, bukan mudhtarib lagi; 2) antara kedua riwayat tidak dapat dikompromikan, kerena bila perbedaannya dapat dihilangkan dengan cara yang benar , status kemudhtaribannya hilang. Ibn. Sholah mengatakan bahwa Idhtirab mengharuskan kedaifan sebuah hadis dengan alasan tidak adanya kedbitan seoarang rawi. Demikian juga as-Sakhawi mengatakan bahwa Idhtirab yang terjadi pada sanad atau matan mengharuskan bgi kedaifan sebauh hadis dengan alasan tidak adanya kedabitan perawi dan riwayatnya. Lihat Muqadimah Ibn Sholah, hlm. 205. Lihat juga as-Sakhawi, fath al-Mugis, juz. 1, hlm. 225.
[30]Imam Malik, Muatho` Imam Malik(CD: Maktabah alfiyah), Juz.II, hlm.526. Sebagai bandingannya adalah; 1) حدثنا أحمد بن المقدام حدثنا فضيل بن سليمان حدثنا أبو حازم حدثنا سهل بن سعد كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم جلوسا فجاءته امرأة تعرض نفسها عليه فخفض فيها النظر ورفعه فلم يردها فقال رجل من أصحابه زوجنيها يا رسول الله قال أعندك من شيء قال ما عندي من شيء قال ولا خاتما من حديد قال ولا خاتما من حديد ولكن أشق بردتي هذه فأعطيها النصف وآخذ النصف قال لا هل معك من القرآن شيء قال نعم قال اذهب فقد زوجتكها بما معك من القرآنdan 2). حدثنا قتيبة حدثنا عبد العزيز بن أبي حازم عن أبيه عن سهل بن سعد الساعدي قال جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله جئت أهب لك نفسي قال فنظر إليها رسول الله صلى الله عليه وسلم فصعد النظر فيها وصوبه ثم طأطأ رسول الله صلى الله عليه وسلم رأسه فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئا جلست فقام رجل من أصحابه فقال يا رسول الله إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها فقال وهل عندك من شيء قال لا والله يا رسول الله فقال اذهب إلى أهلك فانظر هل تجد شيئا فذهب ثم رجع فقال لا والله ما وجدت شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم انظر ولو خاتما من حديد فذهب ثم رجع فقال لا والله يا رسول الله ولا خاتما من حديد ولكن هذا إزاري قال سهل ما له رداء فلها نصفه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تصنع بإزارك إن لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك شيء فجلس الرجل حتى إذا طال مجلسه قام فرآه رسول الله صلى الله عليه وسلم موليا فأمر به فدعي فلما جاء قال ماذا معك من القرآن قال معي سورة كذا وسورة كذا عددها فقال تقرؤهن عن ظهر قلبك قال نعم قال اذهب فقد ملكتكها بما معك من القرآن(sahih Bukhari, Ibid, Juz. V, hlm.1956)serta; 3) أبي أمامة زوج النبي صلى الله عليه وسلم رجلا من أصحابه امرأة على سورة من المفصل جعلها مهرها وأدخلها عليه وقال علمها وفي حديث أبي هريرة المذكور فعلمها عشرين آية وهي امرأتك وفي حديث بن عباس ازوجها منك على أن تعلمها أربع أو خمس سور من كتاب الله وفي مرسل أبي النعمان الأزدي عند سعيد بن منصور زوج رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة على سورة من القرآن وفي حديث بن عباس وجابر هل تقرأ من القرآن شيئا قال نعم أنا أعطيناك الكوثر قال اصدقها إياها ويجمع بين هذه الألفاظ بان بعض الرواة حفظ ما لم يحفظ بعض أو أن القصص متعددة قوله أذهب فقد أنكحتكها بما معك من القرآن في رواية زائدة مثله لكن قال في آخره فعلمها من القرآن وفي رواية مالك قال له قد زوجتكها بما معك من القرآ ومثله في رواية الدراوردي عند إسحاق بن راهويه وكذا في رواية فضيل بن سليمان ومبشر وفي رواية الثوري عند بن ماجة قد زوجتكها على ما معك من القرآن ومثله في رواية هشام بن سعد وفي رواية الثوري عند الإسماعيل أنكحتكها بما معك من القرآن وفي رواية الثوري ومعمر عند الطبراني قد ملكتكها بما معك من القرآن وكذا في رواية يعقوب وابن أبي حازم وابن جريج وحماد بن زيد في إحدى الروايتين عنه وفي رواية معمر عند أحمد قد املكتكها والباقي مثله وقال في أخرى فرأيته يمضي وهي تتبعه وفي رواية أبي غسان امكناكها والباقي مثله وفي حديث أبي مسعود قد أنكحتكها على أن تقرئها وتعلمها وإذا رزقك الله عوضتها فتزوجها الرجل على ذلك . Imam Syuyuti mengatakan lafal-lafal yang bergaris miring diatas, tidak memungkinkan untuk diambil argumentasi salah satu dari semuanya, sehingga andaikata Imam Hanafi—misalnya—mengunakan lafal nikah maka bukanlah semata-mata mewakili dari pengunaan kata yang paling benar.Imam Syuyuti, Tadrib ar-Rawi(Beirut: Dar al-Fikr, 1987), Juz.1, hlm. 267.
[31] Mahmud Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis(Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 106.
[32] Musfar Azamillah menjelaskan tentang cara mengetahui qalb, yaitu; 1) dengan mengumpulkan semua riwayat tentang hadis semisal den membandingkannya ; 2) Pada hadis yanb berupa perbuatan(qalban fi`lan), dapat diketahui dengan melihat kesesuaiannya dengan kebiasaan yang ada yang telah diketahui dan disepakati juga hukum-hukum yang berlaku dan; 3) dengan melihat kesesuaian isi hadis tersebut dengan pengamatan ataupun dengan akal sehat.. Ibid., hlm. 145-147.
[33]Imam Muslim, Sahih Muslim, Ibid., Juz.II,715.
[34] حدثنا محمد بن سلام أخبرنا عبد الله عن عبيد الله بن عمر عن خبيب بن عبد الرحمن عن حفص بن عاصم عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال سبعة يظلهم الله يوم القيامة في ظله يوم لا ظل إلا ظله إمام عادل وشاب نشأ في عبادة الله ورجل ذكر الله في خلاء ففاضت عيناه ورجل قلبه معلق في المسجد ورجلان تحابا في الله ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال إلى نفسها قال إني أخاف الله ورجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم شماله ما صنعت يمينهHadis yang benar adalah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dengan lafal yang bercetak miring Alasanya adalah bahwa kebiasaan yang diketahui memberi adalah tangan kanan. Sehingga hadis yang diriwayatkan imam Muslim menunjukkan adanya keterbalikan(al-Qalb), Imam Bukhari, Sahih Bukhari(CD: Maktabah alfiyah), Juz.IV, hlm. 2496.
[35] Ajja al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuh wa mustalahuh(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 373-374. Kebanyakan para muhadis mendapatkan kesalahan ini disebabkan adanya pengutipan mereka terhadap kitab-kitab hadis, bukan langsung pada perkataan guru-guru mereka. Pendengaran yang langsung membawa pengaruh pada terjaganya lafal-lafal yang garib, sehingga tahrif dan tashif dapat terhindari. Nuruddin `Itr, Ibid., hlm. 253.
[36] Al-Khatib al-Bagdady, Kitab al-Jami lil akhlaq rawi wa al-`Adab as-Sami`(CD: maktabah alfiyah), Juz I, hlm. 295.
[37] Mahmud Tahhan, Ibid,. hlm. 146. Sedamgkan definisi yang senada juga diberikan oleh musfar Azamillah yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ziyadah siqah adalah tambahan nama sanad tau matan hadis, yang tambahan itu tidak disebutkan oleh perawi –perawi siqah lainya. Ibid., hlm. 154.
[38] Ibn. Hajar memberikan gambaran yang masuk pada kelompok ini, adalah ketika seorang rawi menafikan perawi yang siqah lainya yan g berefek pada tertolak dan diterima, maka konsekwensinya adalah tarjih. Sehingga nantinya bisa diterima yang rajih dan ditolak yang marjuh.Tarjih ini bisa dilakukan dengan adanya Ziyadah ad-Dabt(tambahan daya intelektual) atau dengan kasrah al-`Adad(penambahan jumlah perawi yang siqah).Ibid., hlm. 158.
[39] Imam Tirmizi, Sunan Tirmizi(CD Maktabah alfiah),Juz.III, hlm.143.
[40] Imam Muslim, Sahih Muslim(CD: Maktabah alfiah), Juz.1 hlm.234.
[41] Ibn Salah mengatakan bahwa kasus seperti ini adalah ihtimal. Artinya bila ternyata condong pada ketegori yang pertama maka ia tertolak, dan bila lebih mendekati pada yang kedua maka diterima.
[42]Imam ad-Darimi, Sunan ad-Darimi(CD: Maktabah alfiyah Li sunnah an-Nabawiyyah), Juz.1 hlm. 480.
[43] أخبرنا أبو ذر محمد بن أبي الحسين بن أبي القاسم المذكر ثنا أبو عبد الله محمد بن يعقوب الشيباني ثنا إبراهيم بن عبد الله السعدي ثنا محمد بن عبيد ثنا عبيد الله عن نافع عن بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر صاعا من تمرا وصاعا من شعير على كل حر وعبد صغير أو كبير أخرجه البخاري ومسلم في الصحيح من حديث عبيد الله بن عمر وأما الذي روي عن قيس بن سعد في ذلك, Imam al-Baehaqi, Sunan al-Baehaqy al-Kubra(CD: Maktabah alfiyah) juz. 4, hlm.159.